Sabtu, 25 Desember 2010

Hujan Desember

Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember. Seperti pelangi setia menunggu hujan reda. (Efek Rumah Kaca – Desember). Lagu ini aku persembahkan untuk kawan-kawanku di atap kata-kata, rumah pena atau gudang masalah. Memang, aku menyebutnya seperti itu. Rumah keduaku yang sudah lama aku huni, yang selalu mengajariku arti rumitnya hidup dengan segala permasalahan yang hadir ataupun dihadirkan.

Rumahku sayang, aku tahu kau selalu diam membisu tak pernah bergerak dan tak mungkin hanyut menyusut. Tapi aku tahu seluruh penghunimu akan selalu senantiasa menjadikanmu sebuah pijakan sekalipun cuma tempat berteduh. Aku tahu kau takkan marah takkan pula menggeram ketika kau dibubuhi pedihnya garam. Karena kau bukan apa-apa, karena kau bukan siapa-siapa.

Rumahku sayang, aku pernah menciut suatu waktu lalu terbersit untuk meninggalkanmu. Membencimu dalam kesadaran yang kalut, menyimpan dendam dalam waktu yang tak terelakan. Tapi aku urungkan niat itu karena kealfaan ada pada diriku. Aku merasa kerdil jika hanya menyerah dalam masalah yang terlalu rendah. Akupun kembali lagi padamu walaupun sekedar ikut berbaring dan menutup mata.

Rumahku sayang, lihatlah keluar, bulan Desember ini hujan turun lagi. Aku melihatnya dari balik jendela. Gemercik air melempariku sebuah senyuman. Sepertinya ia sedang memberi isyarat padaku bahwa para penghunimu sedang sakit. Mungkin ia ingin membasuhmu dan memberikan kesejukan padamu.

Rumahku sayang, aku memang suka hujan. Aku iri padanya. Ia selalu memercikan apa yang ia punya untuk seluruh alam. Ia memberikan kehidupan pada yang lain. Tapi ia tak mau keihlasannya dibayar apapun.

Rumahku sayang, aku benar-benar rindu pelangi yang setia menunggu hujan reda. Aku sudah lama tak bercengkrama dengan mereka. Yang biasanya selalu mengajakku berbicara tentang apa yang telah mereka lakukan dalam keseharian. Aku rindu saat-saat berada dengan mereka. Membunuh lelah saling bercengkrama membuang muak menghapus penat.

Rumahku sayang, ada apa dengan dirimu? Kenapa mereka seolah menyita waktu seakan dinding dan lantaimu tak pernah mereka pijak. Waktu adalah masalah. Begitupun masalah adalah waktu. Masalah adalah rasa sakit yang akan sembuh oleh titik yang menyatu. Saling rembuk tak berarti tunduk. Resepnya tegas tak berarti keras. Seperti hujan yang sesekali mendinginkan aspal kala mentari marah di hari tengah.

Rumahku sayang, seluruh organ vitalmu sedang terluka. Aku tak ingin beton yang mereka bangun hancur begitu saja. Luka bisa diobati dengan kata-kata. Aku ingin sekali dengan datangnya hujan ini bisa menetes dan memulihkan luka disetiap ruangmu.

Rumahku sayang, aku rindu pelangi. Aku kehilangan senyummu. Aku menunggu hujan yang bernyanyi melantunkan harmonisasi nada-nada kerikil tajam yang menggeram. Meskipun ku tahu kau lelah. Tapi kumohon kau jangan menyerah. Rumahku, teman-temanku sayang, mari kita rajut benang kusut yang cukup akut ini.

Rumahku sayang, mari kita bersatu dalam tuju. bersenggama dengan waktu dan haru.
Rumahku sayang, kembalilah, biarkan segala resah dan amarah hilang ditelan arah.

21 Desember 2010

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda