Minggu, 14 Juni 2009

Where I Lived And What I Live For : Pencarian Jati Diri HD Thoreau

gambaran rumah Thoreau.

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Saya coba buka kembali catatan catatan kuliah. Moga saja ada beberapa hal yang penting yang saya tulis dalam buku harian. Ada beberapa kutipan yang tertera selama sang dosen ceramah. Memang, saya suka iseng menuliskan kata kata dosen yang mungkin mahasiswa lain tidak sempat menuliskannya. Dan ini sangat berguna sekali untuk seorang mahasiswa seperti saya.

“I am monacrh of all I survey,
My right there is none to dispute.”
Ini adalah sebuah kutipan dari Thoreau. Secara kasarnya saya terjemahkan seperti ini: “saya adalah raja di raja tidak ada yang bisa mengganggu saya.”

Mungkin seperti itu apa yang dikatakan Thoreau. Walden: Where I live and what I live for. Sebuah karya nonfiksi yang sempat menggemparkan kancah kesusastraan di dunia. Sebuah karya yang di tulis sebagai gugatan sekaligus deklarasi kemerdekaan pribadi, percobaan sosial, perjalanan mencari rohani dan jati diri.

Karya ini di terbitkan pada 1854 sebagai gugatan terhadap pemerintah dan hasil renungannya selama hidup di hutan. Thoreau tinggal di tengah hutan dekat Walden Pond. Disana ia hidup menyendiri mencari kehidupan yang sesungguhnya. Karena selama ia berada di urban kota yang begitu tidak sehati dengannya, akhirnya ia memutuskan untuk menyendiri.

Saya jadi teringat pada Soe Hok Gie. Di pernah berkata “lebih baik aku diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan.” Mungkin ini tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan Thoreau. Gie menganggap sebuah pemerintahan yang waktu zamannya tidak sama sekali berada dalam kemakmuran, atau banyak sekali kekacauan pada waktu itu. Idealisme Gie melawan pemerintah yang otoriter sempat mengalami pergulatan. Dalam bukunya, catatan sang demonstran dan dalam filmnya ‘Gie’ terlihat sekali pemberontakan yang dilakukan dia dan teman-temannya sesama mahasiswa, sampai sampai ia harus terbunuh di sebuah ketinggian di gunung Semeru.

Hal ini tak jauh beda. Seorang sastrawan, sejarawan sekaligus filsuf, HD Thoreau lebih rela mengasingkan diri dari kejauhan metropolis. Idealismenya berbeda dengan sastrawan-sastrawan lain yang cenderung ugalan-ugalan dan cuek. Namun Thoerau berani mengatakan bahwa dirinya tidak ingin mendekati sebuah kesalahan dan ketidak manfaatan. Ia mesti bersikukuh untuk tidak membayar pajak. Tidak ikut pemilu. Tidak pergi ke gereja, dan mungkin tembakau menurutnya tidak bermanfaat. Dan satu hal lagi, ia tidak memakan daging. Pokoknya yang dia anggap salah dia menentangnya.

Dengan prinsip seperti itu, kota, menurutnya tidak memberikan kehidupan yang sebenarnya. Ia pergi ke hutan, mencari jati diri. Dengan segala imajinasinya, hutan seolah olah menjadi tempat yang membuatnya nyaman. Ia menyebut dirinya raja.

Tak puas dengan keadaan alam yang seperi itu, Thoreau pindah ke tempat yang terdapat danau. Menurutnya danau adalah kehidupan yang sebenarnya. Ada air yang mengalir bagai mengalirnya kehidupan manusia. Namun hal itu tak berlangsung lama, rupanya danau juga tidak memberikan kehidupan pula.

Thoreau pergi ke tempat yang lebih tinggi. Ia menemukan matahari, ia merasa matahari adalah kehidupan. Tetapi itu juga tak berlangsung lama. Matahri pun terbenam, Thoreau mencari kembali kehidupan yang lain.

Begitu menikmatinya Thoreau dengan kesendiriannya itu. Pada awal ia memasuki dunia alam, setidaknya ia berargumen “back to nature.” Ia membayangkan tinggal di sebuah rumah, memandang luas alam sekitar di balik jendela rumahnya. Kesejukan dan ketentraman iadapatkan di sana.

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil darinya. Simplicity, simplicity, simplicity! Katanya. Sebuah kata yang bisa memacu kita. Mengajarkan kita hidup sederhana, dialam terbuka.
Sebenarnya prinsipnya sederhana saja. Ia menginginkan hidup yang mandiri. Hal ini tercipta karena filosofi transcendentalist. Ia juga sempat menerima tamu saat ia tinggal di hutan. Ia berharap dapat mengisolasi diri dari masyarakat dalam rangka mendapatkan pemahaman hidup yang lebih objektif.

Sekitar dua tahun dua bulan ia hidup di alam. Selain belajar mandiri, ia juga mencari sisi rohani dan belajar ekonomis. Ada empat hal penting yang dapat kita pelajari darinya: makanan, tempat tinggal, pakaian dan bahan bakar. Ia mengkalkulasikan apa apa yang dia alami, samapai ia benar benar merasa nyaman hidup secara ekonomis dan praktis di alam terbuka.

Sekali lagi, where i lived and what i lived for adalah pencarian jati diri. Dia merasa sepi tinggal di kota. Dan justru sebaliknya, ia merasa hangat dan bebas berada di alam. Mungkin ini sangat ironis sekali dengan kehidupan mayoritas manusia di bumi ini. Sederhananya pendapat itu berarti “dimana saya berpijak disitu saya menemukan kehidupan.” Di sini konteksnya hidup di alam terbuka.

Ada tiga gagasan pokok kenapa Thoreau berdiam di alam. Pertama, ia menggugat gaya Revolusi Industri dan hidup agraris. Ia juga menekankan hal ini tidak mutlak dilakukannya, ia hanya menentang apa yang pemerintah lakukan. Ia juga menekankan pada pembaca bahwa tulisannya tidak diharapkan untuk di ikuti.

Kedua, ia menyederhanakan hidupnya dengan mengurangi pengeluaran dalam sehari hari dan mengisi waktu senggang dengan menulis. Dan untuk belajar apa itu arti hidup, secara sederhana ia mengatakan hiduplah! Ketiga, ia mencari kehidupan secara duniawi dan rohani. Dan ia hampir menemukannya ditandai dengan pengalaman pengalamannya.

Tanggapan Penulis
Kalau secara akal sehat, saya tidak bisa membayangkan bagaimana Thoreau itu bisa bisanya hidup menyendiri di hutan. Saya sebagai manusia biasa sempat membayangkan sejenak ketika membaca tulisannya itu. Meskipun rada sulit juga memamahaminya. Dan Thoreau benar-benar melakukannya.

Kisah ini sebenarnya mirip sekali dengan Nabi Ibrahim. Dimana sang nabi tersebut begitu laparnya mencari sosok yang bernama Alloh. Dari mulai siang, matahari, sampai bulan, ia pernah menganggapnya sebagai tuhan. Tapi itu juga tak berlangsung lama, karena kemudia sebuah mukjizat datang memberitahukannya. Bahwa Alloh lah tuhannya itu.

Di sini Thoreau juga melakukannya. Berawal dari kegundahan akan kehidupan asalnya, ia membangkang pada pemerintah saat itu dan mencoba mencari kehidupan lain. Hidup di alam. Bagi saya pribadi hal ini adalah suatu hal yang pengecut dan banci. Thoreau begitu pasrah dan lari dari kenyataan. Meninggalkan kehidupan yang sesungguhnya adalah suatu tantangan. Apalagi bagi seorang yang bernama Thoreau, seharusnya ia bisa menghadapi ganasnya kehidupan kota seperti yang ia alami sebelum pindah ke alam. Apalagi kita tahu seperti apa Thoreau ini. Dia termasuk tokoh Amerika yang masuk kedalam tiga orang berpengaruh di eranya selain Emerson dan Whathrone.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda