Minggu, 28 November 2010

Magnum (prosa mini)

Duduk bersama dua orang kawan lama, Ekos dan Fia, di kantin kampus yang sama-sama kita naungi. Hujan tipis menemani. Beberapa mahasiswa duduk-duduk pula sambil kongkow bareng teman-temannya sekedar menikmati menu ala pemilik kantin. Ada roti kukus, batagor, mie ayam dan banyak lagi. Saya berdiri sejenak, melangkah ke arah si teteh penjaga, sepertinya ia cashier.

“teh, kopi item dua,” kata saya.

Saya kembali lagi dong kepada kegiatan awal saya yakni duduk lagi. Tema pembicaraan dimulai. Banyak kok, dari seputar mengenang masa lalu di Suaka sampai ngomentarin keadaan suasana kampus sekarang. Saya cuma jadi pendengar aja, biar Ekos dan Fia yang ngomong sini sana. Saya sedikit menanggapi sesekali menambahkan sepatah dua patah kata.

Air menetes ke punggung saya. Rupanya atap kantin Kopma bocor, tapi saya biarkan dia menetes, toh cuma air ini. Meja yang lain juga sama kok ada yang bocor juga atapnya. Dan, eh, tiba-tiba air kopi yang tadi saya pesan datang, tepat sekali sesuai pesanan, dua gelas. Tapi Fia memesan semangkuk bakso.

Suasana kampus khususnya sekitar student center (SC) dan Kopma sangat asik dan ramai sekali. Kebetulan di aula SC lagi ngadain acara pelatihan jurnalistik, saya dan EKos juga Fia menyempatkan datang di acara itu.

Saya mulai membakar rokok, juga Ekos. Enak sekali rasanya merokok sambil ngopi dalam keadaan hujan. Fia mulai mengaduk baksonya. Mungkin agar bumbunya meresap dan rata. Antara saus dan kecapnya dipaksa merasuk ke dalam kumpulan mie dan baksonya.

Ekos mulai membuka obrolan tentang acara yang sedang dilaksanakan Suaka. Membuka catatan memori lama seperti halnya sewaktu ia terjun dalam acara yang sama. Fia juga menambahkan tentang obrolan tersebut, pun saya sedikit menambahkan juga.

“ini PJMTD buat siapa?” Ekos berucap.
“buat siapa apa maksudnya?” Tanya saya.
“ini yang ikut pelatihan khusus buat calon anggota Suaka?”
“iya!” jawab saya.

Memang sih, waktu angkatan Ekos, kalo ngadain acara pelatihan jurnalistik (PJMTD) agak berbeda sama angkatan sekarang. Kalo dulu sistemnya, Suaka ngadain acara PJMTD untuk umum, dan dari hasil itu si peserta bisa menjadi anggota Suaka dengan beberapa tahap selanjutnya.

Namun untuk sekarang ini Suaka khusus ngadain acara PJMTD untuk calon-calon anggota. Dan itu pun mesti melewati beberapa tahap selanjutnya pula.

Tak terasa, kopi sudah habis setengah. Fia masih mengaduk- aduk air sisa bakso yang kental kehitam-hitaman. Para mahasiswa masih recok sama teman-temannya. Hujan belum betul-betul reda, membuat saya tak ingin berhenti menghisap rokok.

Namun, suasana mulai repot setelah datangnya sebuah mobil box merah bergambar es krim masuk kampus. Mendadak, para mahasiswa yang berada di kantin mulai histeris sambil berteriak. Para mahasiswa lain terkaget dengan teriakan itu.

“magnuuuuuuum,”
“iya, itu mobil magnum.”
“mana?”
“itu!”
“o iya, magnum.”

Serentak, semua mata tertuju pada mobil box itu. Sebuah mobil yang berisi es krim itu, sepertinya akan mendatangi Mini Market Kopma. Dan mungkin semua orang yang berada di kantin beralih pembicaraan kepada si Magnum itu sendiri. Lalu menyerbunya ke Kopma? Entahlah.

Dua perempuan yang duduk di samping saya juga seperti itu. Mereka mendadak ngobrolin tentang es krim yang konon lezat dan ngegemesin itu. Konon, konon, konon, dan konon.

“emang kenapa sih, apa istimewanya sih magnum, kok ampe ngalahin isu Gayus, dimana-mana ngomongin magnum…magnum…magnum?” kata saya.
“itu iklannya sih yang bikin greget,” jawab Fia.
“iklan yang cewek itu?” tambah saya.
“iya” kata Fia
“iklan kan dibuat khusus untuk membuat pembeli penasaran,” Ekos menimpali.

Betul sekali, iklan itu dibuat untuk menarik perhatian konsumen. Sebuah Iklan harus berpromosi mati-matian agar para pembeli menjadi pelanggan sejati plus mencintai pada sebuah produk tersebut.

Meskipun hujan semakin tipis, kami bertiga harus mengakhiri obrolan tersebut, karena seseorang dari panitia sudah memanggil saya untuk mementor para peserta PJMTD. Ekos juga kebagian ikut mementor, tapi Fia tidak karena dia harus pulang.

Kami beranjak dari kursi kantin. Sambil berjalan kaki ke SC, saya berfikir dan tiba-tiba teringat kenapa rektor di kampus saya seolah tidak disegani dan tidak di hargai oleh mahasiswanya. Ah, mungkin pak rektor dulunya kurang promosi mati-matian, jadinya ia tidak di cintai. Contohnya ketika para mahasiswa melihat pak rektor sedang berjalan di kampus, gak ada tuh yang berteriak histeris:

“Nanaaaaaaaat,”
“iya, itu pak Nanat, rektor kita.”
“mana?”
“itu!”
“o iya, Nanat.”

Entahlah yang jelas pak rektor bukan magnum. Tul kan?

Kampus, 26 November 2010

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda