Sabtu, 04 Desember 2010

Ospek

Oleh: Miko Alonso *)

Hujan baru saja reda. Seorang dosen keluar dari sebuah kelas perkuliahan, jam sebentar lagi mendekati angka 12. Suasana di kelas tiba-tiba ribut. Kondisi para mahasiswa tak ubahnya anak ayam kehilangan induk. Saatnya jam istirahat dan makan siang. Namun, tiba-tiba serombongan mahasiswa lain menyerobot masuk ke kelas. Mereka adalah para senior, berniat mengumumkan tentang ospek jurusan.

“Selamat siang adik-adik. Maaf mengganggu waktunya sebentar,” kata salah seorang kakak senior.
Para mahasiswa baru itu mendadak terdiam. Mereka yang tadinya sudah siap meninggalkan kelas, terpaksa duduk kembali mendengarkan sang senior.
“Siaaaaaaaaang,” para mahasiswa baru menjawab.
“Begini adik-adik, tiga hari lagi acara ospek jurusan kita digelar. Jadi, kalian semua harus segera melunasi pembayarannya.”

Wajah para mahasiswa baru itu mendadak lesu. Tapi sebagian terlihat penasaran perihal jumlah uang yang harus dibayarnya. Para kakak senior yang lain beridiri di setiap pojok. Seperti pengawas ujian, yang melipat kedua tangannya di perut. Maklum, mereka kan sudah senior. Mereka harus menjaga wibawanya agar terlihat benar-benar senior.

“Emang berapa sih bayarnya, Kak?” kata Mia, salah satu mahasiswa baru yang duduk paling depan.
Si kakak senior yang sekaligus ketua Organizing Commitee (OC) itu melirik kepada kakak senior yang lainnya. Rupanya siang itu seluruh kakak senior yang hadir adalah orang-orang penting di kepanitiaan ospek. Kakak senior yang lain, yang tadinya berdiri tegap di sudut mendadak maju ke depan. Ternyata kakak senior ini adalah sekretaris acara. Ia langsung membuka tasnya. Membuka lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan seluruh kebutuhan untuk acara.

“Jadi begini adik-adik, untuk ospek jurusan kita yang akan di gelar nanti, cukup seratus ribu aja. Pembayaran terakhirnya besok. Kalau nggak bayar, kalian akan dilaporkan ke pihak jurusan,” kata kakak senior sekretaris acara itu.

Raut muka para mahasiswa baru mendadak aneh. Ada yang kaget, ada yang heran, dan ada pula yang tak percaya. Namun, ada juga yang biasa-biasa saja. Sambil memainkan keypad hapenya, mereka tak menunjukkan kepedulian. Bagi mereka, uang seratus ribu adalah jumlah yang cukup besar. Maklum, kampus ini terkenal khusus untuk mahasiswa kurang mampu. Mendengar penjelasan itu, Tedi, yang duduk paling belakang langsung berdiri.

“Yang bener aja, kok seratus ribu? Jurusan lain juga semuanya lima puluh ribu. Kok mahal amat? Gila, mending pake makan buat seminggu aja,” kata Tedi, sedikit marah dan duduk kembali.

Jarum panjang jam kini sudah melewati angka 12. Matahari sudah kembali terang. Kelas-kelas yang lain sudah betul-betul kosong. Hanya para mahasiswa baru di kelas ini saja yang masih ada. Mereka cemas. Perutnya mulai keroncongan. Namun mereka tak bisa keluar untuk sementara, karena harus mendengarkan info yang sangat penting tentang ospek jurusan yang akan digelar beberapa hari lagi.

Para kakak senior masih menyimpan kedua tangannya di perutnya. Sepertinya masih ingin dibilang berwibawa dan kelihatan senior. Para mahasiswa baru sudah tidak enak duduk. Mereka mulai memainkan barang yang ada di tasnya. Mendengarkan mp3, cek sms dan login facebook di hapenya. Suasana sudah mulai tidak kondusif. Si kakak senior berusaha menjelaskan lebih detil perihal uang pembayaran ospek.

“Oke adik-adik, saya akan bagikan selebaran ini pada kalian, biar semuanya tahu rincian kebutuhan dari uang seratus ribu itu. Gus, tolong bagikan ini,” si kakak mencoba mententramkan.

Agus, kakak senior seksi publikasi membagikan selebaran itu. Semua rincian sudah tertulis di selebaran. Rincian uang makan, uang tempat, uang kaos, uang sertifikat, uang transportasi dan lain-lainnya semua sudah tertera. Tak ada yang terlewatkan. Semua sudah sempurna. Ini betul-betul info yang sangat penting untuk mahasiswa baru.

“Sorry… sorry… sorry…, emang dari semua jumlah uang yang tertera di sini nggak bisa diubah lagi? Ini kan terlalu besar, Bos!” Tedi mengacungkan tangan. Mahasiswa baru lain terlihat manggut-manggut.

“Ia betul. Secara gitu, seratus ribu kan bukan uang yang sedikit. Aku aja dikasih sama orang tua dua ratus ribu sebulan. Nanti biaya sehari-hari abis dong!” kata mahasiswa baru yang lain.
“Betul… betul…. Mending nggak usah ada ospek aja deh. Pasti gitu-gitu aja. Nggak jauh beda. Nggak ada yang aneh,” mahasiswa lain juga mulai bicara.

Wajah para kakak senior mulai memerah. Semuanya mulai maju ke depan, mengawasi para mahasiswa baru yang berbicara terlalu tinggi. Para kakak senior yang lain, yang kebagian tugas sebagai seksi keamanan memasang mata pada mahasiswa yang banyak bicara.

“Hey, jaga mulutmu. Jangan seenaknya aja kamu ngomong,” kata seksi keamanan sambil tangannya menunjuk muka.
“Emang kenapa? Emang gitu kan? Ospek itu nggak ada yang aneh.”
“Betul… betul….”
“Jangan kurang ajar, kamu itu mahasiswa baru. Jangan belagu, kita ini senior. Hormat sedikit, jangan cari gara-gara kamu!”
“Tenang dulu dong. Jangan maen tunjuk gitu, saya tau kami mahasiswa baru. Tapi apa salahnya kami minta penjelasan tentang pembiayaan ini?”
“Betul… betul….”
“Diam semua!”

Para mahasiswa baru tersentak. Mereka mendadak diam. Serentak, mereka berhenti memainkan hapenya. Duduknya terpaksa tegak. Mereka tampak takut dengan tampang kakak-kakak senior yang memasang wajah dingin. Seolah mereka disegani, tak ada senyuman dari mereka. Maklum, mereka sudah senior. Maklum, mereka memang sok kuasa. Jadi harus menjaga imej, agar mereka dihormati.

Seorang senior kembali bicara, ia mengatur nafasnya. Ia mencoba menyusun kata-kata yang tepat pada para adik kelasnya. Ia adalah sang presiden mahasiswa jurusan, jadi harus benar-benar berwibawa. Harus berwibawa, supaya tahun depan ia bisa dipilih jadi ketua lagi. Maklum, semua kekuasaan yang ada di jurusannya pasti ia sabet, termasuk presiden mahasiswa.

“Maaf ya adik-adikku. Keputusan ini sudah bulat. Sudah dirapatkan sama seluruh panitia. Sama ketua jurusan juga, bahkan sama dekan. Jadi, biaya ospek tahun ini, yaitu seratus ribu, tidak bisa diganggu gugat. Kalau ada yang mau protes, silakan datangi aja ketua jurusan sama dekan. Iya kan teman-teman?” kata sang presma. Para kakak senior lain manggut-manggut.

Para mahasiswa baru hanya bisa menghela nafas. mau tidak mau harus setuju, daripada berurusan sama kakak senior, apalagi berurusan dengan jurusan. Maklum, mereka kan mahasiswa baru. Mereka kan junior yang terpaksa harus menerima penindasan.

Kali ini mereka tak ada yang protes. Rupanya omongan sang presiden mahasiswa itu sudah menghipnotis para mahasiswa baru. Sang presiden pun senang. Ia merasa berhasil mendoktrin para adik kelasnya.
Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Waktu istirahat sudah habis. Mata kuliah berikutnya sudah menanti. Untuk kali ini, para mahasiswa baru harus rela menahan lapar. Jam makan siang mereka ditelan oleh pengumuman penting itu. Para kakak senior harus tahu diri. Mereka harus segera meninggalkan kelas, karena sang dosen sudah menunggu di pintu.

“Baiklah adik-adik. Untuk sementara pengumuman sampai disini aja. Jangan lupa besok terakhir pembayaran. Sekarang kami dari panitia pamit dulu. Terimakasih atas perhatiaanya. Untuk pengumuman selanjutnya, kami akan beritahukan pada kosma masing-masing. Assalamualikum warrohmatullohi wabarokatuh.”

Begitu sang presiden mahasiswa mengakhiri, tak ada jawaban dari para mahasiswa baru. Justru celotehan-celotah kecil yang bernada protes terlontar. Sayangnya, tak terdengar oleh para kakak senior.

Di luar kelas, para kakak senior tersenyum girang. Mereka langsung pergi ke kantin untuk makan siang sambil membicarakan tentang uang pembayaran para mahasiswa baru. Sang presiden mahasiswa sibuk menghitung jumlah mahasiswa baru. Angkatan sekarang ada lima kelas, dan masing-masing kelas terdapat lima puluh orang.

Sambil menghitung, para kakak senior yang termasuk orang-orang penting di kepanitiaan memesan menu makan siang di kantin kampus. Sang presiden sudah selesai menghitung seluruh pembiayaan yang akan masuk nanti. Perkiraan uang yang akan masuk terhitung sekitar 25 juta, dan untuk kebutuhan ospek yang telah dirapatkan hanya 15 juta. Para panitia akan mendapat untung besar.

Sang presiden menghisap rokoknya dalam-dalam. Matanya menerawang sambil tersenyum. Entah apa yang ia pikirkan. Para kakak senior yang lain juga ikut mengepulkan asap rokok sambil tersenyum. Entah apa yang mereka pikirkan.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda