Minggu, 31 Maret 2013

Senandung April

Keheningan adalah kelu. Ia tak bisa menyetubuhi suara-suara meow yang kudengar di warteg-warteg Ibu Kota.

Jarum jam luruh, berdetak, berdenyut menemani bising knalpot. Dada, kian sengal tak ada lagi kaku dan parau angin yang lindap. Namun, panas menggerus keringat; menetes di keningku.

Baru saja kuarungi waktu. Berdiam sejenak mencecap kata, senyum yang mengembang, hari yang letih dan rindu yang jauh.

Surat-surat yang urung kutulis adalah tasbih malam. Seperti rakaat-rakaat yang luput kuhidupkan.

Esok adalah awal dalam pertaruhan langkah: ia datang, meninju waktu, menyelami matahari. Dan aku tetap akan tergesa. April, kau dekat namun jauh.



Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 30 Maret 2013

Unlucky Saturday

KONDISI keuangan per 30 Maret 2013 hanya menyisakan recehan. Sabtu, pagi tadi adalah tugas yang cukup membuat amuk rasa dalam dadaku.

Betapa tidak, sebelumnya aku dan seorang rekanku ditugaskan pihak kantor untuk meliput diskusi mingguan yang biasa diadakan di Warung Daun, tepat depan Taman Ismail Marzuki. Namun setelah sampai di lokasi, acara libur.

Sesak nafas. Hujan badai. Panas berkecamuk. Itulah yang tergambarkan pagi tadi. Aku dan Peni sebelumnya mati-matian sesegera mungkin datang ke lokasi acara tepat waktu. Tapi apa mau dikata, mereka yang punya otoritas. Mereka yang berhak meliburkan diri.

"Ini kok sepi ya pak?" Tanya Peni kepada salah satu Satpam Warung Daun. "Libur mbak," ucapnya slow, innocent, datar.

Gubrak! Peni menatap mataku. Langsung segera kubalas tatapannya. Perasaan dia seakan runtuh. Gundah gulana menerpa seluruh dadanya.

"Yo wis, kita makan dulu aja Kang Miko," cetusnya sambil pamit kepada Satpam.

BUBUR ayam yang mangkal di depan TIM segera menjadi destinasi berikutnya. Aku dan Peni lekas mencarai posisi duduk untuk menyantap sarapan pagi ini. Dua mangkuk sudah tersedia. Kulahap sesuka hati. Peni, dengan lincahnya menambahkan sambal dan semacam daging penyempurna rasa.

Sabtu ini, bukan hari yang beruntung aku pikir. Di tengah perjalanan ke Warung Daun, sebelumnya aku dan Peni naik angkot menuju halte Busway Karet. Ada insiden menegangkan. Sebuah motor menyalip angkot yang kami lalui.

Sang sopir menekan klakson sekeras mungkin. Si pengendara motor tak terima. Dia turun dan berdebat dengan sang sopir. Aku yang duduk di sampingnya hanya bisa melihat adegan debat itu. Cekcok dan adu mulut memecah jalanan Karet Jakarta. Hilir mudik kendaraan hanya bisa terlihat. Mereka tak berani melerai. Hingga akhirnya, si pengendara motor mengaku salah.

"Saya bilang juga apa, saya tidak salah. Dia yang nyalip kok. Saya ini tidak takut," katanya seolah-olah berbicara kepada semua penumpang. Aku hanya diam mendengarkan.

TAMAN Ismail Marzuki, akhirnya menjadi tempat yang aku datangi. Semoga ada acara yang bisa aku dan Peni liput untuk mengganti tugas yang tak terduga itu.

Sebetulnya, semalam aku sempat menonton pertunjukan film dokumenter Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip). Membicarakan tentang seorang sutradara dan pelaku film ternama, Misbach: suami Nanny Wijaya. Aku nonton Jumat malam bareng Wike dan Restu, teman saya dari Bandung.

Siang tadi, ternyata ada pameran lukisan di Galeri II, aku dan Peni menyempatkan untuk datang berusaha menulis apa yang didapat. Meskipun pameran berlangsung sejak tanggal 19 Maret. Artinya, hari tadi merupakan waktu terakhir pameran. Akhirnya, pengunjung cukup sepi, hanya terlihat beberapa yang hadir.

Untungnya, untuk mengganti liputan penugasan Sabtu, aku masih punya stok berita Riri Riza dan Connie Sutedja. Berita artis dan perkembangan perfilman berbasis komunitas. Fiuhhhhh...




Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 29 Maret 2013

Jumat Sore yang Ingin Kusampaikan Padamu

Selamat sore Nabilla! Ada hal yang lekas aku ingin ucapkan pada Jumat yang diam. Hari di mana aku saat ini mencecap ruang gerak yang dimobilisasi keadaan.

Semestinya, dan sepertinya kau tengah menggenggam senyum yang kau racik sendiri dalam sederet kebahagiaan sisa kegundahan kemarin. Tes ujian yang kau taklukan seiring berjalannya waktu tugas akademismu selaku pelajar tingkat tinggi, di sebuah perguruan.

Aku bahagia seketika saat kau dengan semangatnya memberi pesan: "masa katanya aku kompre dpt nilai A.. hehehe, luph.." Katamu dalam celah-celah kesibukanku.

Senang dan riang aku membacanya. Itu menandakan bahwa kau bisa dan aku sebelumnya mempercayainya. Apa pun yang kau lakukan, yang terbaiklah akan kau pikul. Itu pun aku paham, dalam dirimu ada sesuatu yang tak aku dugai.

With love... Aku ingin menyampaikannya. Dalam udara Jakarta yang panas. Aku akan terus mengingat namamu. Dalam segala gerak. Dalam segala nafas. Bahkan saat diam sekali pun.

*ditunggu makan-makannya* :p


Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 28 Maret 2013

Memburu Teh Gelas

Tenggorokanku seperti terkuras setiap waktu. Dahaga seakan tak habis-habisnya melingkari kerongkongan. Ada baiknya aku segera mengambil tindakan yang bisa memperbaiki keadaan.

Satu hal yang tak pernah aku lupa untuk melangkah lebih cepat yaitu pergi ke warung dan membeli Teh Gelas secukupnya. Sebetulnya dengan hanya satu kemasan juga Teh Gelas sudah bisa membuat keadaan membaik dari sebelumnya.

Entah kenapa, minuman kemasan yang satu ini membuat aku jatuh cinta dengan rasa dan aromanya. Ia terus berkelebat di ufuk ingatanku.

Bentuk kemasannya padahal cukup sederhana tapi unik. Dilatar belakangi dengan warna kuning dan corak dedaunan alam hijau, Teh Gelas diproduksi oleh Orang Tua. Jargon marketnya cukup menggigit: Seduhan Daun Teh Berkualitas.

Komposisi Teh Gelas sebetulnya juga simple. Setelah aku baca keterangannya antara lain seperti terbuat dari air, gula dan daun teh meskipun dibubuhi dengan pengawet makanan natrium benzoat dan kalium sorbat. Dan diproduksi oleh PT CS2 Pola Sehat di Tangerang.

Aku pun tak bisa mengingat berapa kemasan Teh Gelas yang telah aku habiskan selama aku mengenyam hidup di Jakarta, meskipun sejak di Bandung, aku selalu kepikiran Teh Gelas. Bahkan banyak pedagang yang diuntungkan karena aku banyak mengonsumsi minuman segar tersebut.

Malam ini misalnya, setelah aku pulang dari kosan teman. Ngerumpi, bercanda sambil ngobrol ngalor ngidul dengan sejumlah calon reporter seangkatanku, Teh Gelas selalu hadir dalam genggaman.

Aku beli di warung yang lokasinya tak jauh dari kosanku. Namun, setiap aku beli Teh Gelas di warung itu, sama sekali persis si penjaga warung tak pernah memberikan aku kantong kresek. Padahal, sebagai pembeli aku berhak mendapatkannya.

"Bu, ada kantong kreseknya," tanyaku. Barulah dia sibuk untuk mencari dan segera memberikannya padaku.

Memang, sepertinya kultur penjual di Jakarta seperti itu kali ya. Kok setiap aku membeli sesuatu di warung, mereka jarang sekali inisiatif memberikan kantong kresek untuk mewadahi barang yang dibeli konsumen. Memangnya semua konsumen bersedia menenteng barang belanjaannya tanpa kresek?

Tapi biarlah, yang penting, malam ini, di tengah kegerahanku yang mengundang banyak keringat, cukup terbayar dengan menyeruput satu kemasan Teh Gelas. Lain kali, aku akan bercita-cita untuk membuat usaha minuman kemasan seperti Teh Gelas ini. Wallohu a'lam bissawab.




Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jakarta Terbuat dari Matahari

Aku sepertinya masih terus dihantui udara Jakarta yang panas dan belum bisa beradaftasi. Belum bisa menyesuaikan diri.

Kadang aku berfikir mengapa Tuhan menciptakan udara berbeda dengan apa yang aku rasakan di Bandung.

Menjelang tidur misalnya, aku harus mengambil posisi yang benar-benar nyaman. Bagaimana menciptakan enak agar bisa benar-benar nyenyak. Tapi tetap saja, cuma bisa tidur denga larut. Itu pun mesti aku buka segala perlengkapan pakaianku. Terkadang hanya menyisakan celana pendek saja.

Aku sepertinya harus segera memiliki kipas angin. Memasangnya di pojok kamar dan mulai menekan tombol on. Itu jalan terakhir.






Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 27 Maret 2013

Seperti Duduk Sendiri

Hampir satu jam aku masih duduk di kursi taman. Menyendiri membuka catatan orang dalam sebuah genggaman iPad milik teman.

Aku sengaja tak mengeluarkan kata-kata. Menjauh beberapa meter dan memfokuskan diri mencari apa yang ingin aku baca.

Langit, Jakarta tumben tidak secerah hari kemarin atau sebelumnya. Ia diselimuti awan hitam yang aku curigai akan menggelontorkan hujan sore ini. Perkiraanku salah. Meleset.

Adzan maghrib pun berdengung. Lambat laun cahaya lampu kota saling berlomba menghiasi gedung-gedung menjulang.

Satu persatu, pegawai kantoran memposisikan diri menghirup udara. Tak sedikit mereka membakar rokok dan duduk tak jauh di sampingku.

Bukannya aku tak mau menyapa. Mereka juga seperti ingin menjauhi komunikasi atau tak tertarik dengan basa-basi semacam say hi 'mas' atau kata-kata lainnya yang mereka biasa ucapkan.

Aku duduk di taman, sebelah kantor Bisnis Indonesia menunggu waktu jadwal pemutaran film tentang jurnalistik yang diperankan Johhny Depp. Judulnya aku lupa. Dijadwalkan, teman seangkatanku bakal nonton ramai-ramai di lantai 7 ruang rapat redaksi. Pukul 19.00 film akan diputar.




Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Yang Tak Bisa Terpejam

Perempuan, malam ini mataku belum terpejam saat sejenak aku duduk di sofa sambil membakar tembakau yang biasa kau enyahkan dari wajahmu yang risau. 

Aku tahu, kau yang selalu membisu memikirkanku yang tak lekas segera sadar dan mengerti apa yang dimau. Aku yang kadang egois menghabiskan waktu sendiri tanpa memikirkanmu yang setiap hari sembunyi-sembunyi mengeluh dan meringis. 

Ya, ini aku, aku yang beberapa bulan terakhir memiliki kesibukan sendiri, bekerja sendiri, menikmati hidup sendiri tanpa membagi jatah waktu untukmu walau sehari. 

Perempuan, kata orang, duniaku, dunia yang tengah aku lakoni terkadang banyak orang menyebutnya sebagai pekerjaan penggali kubur. Aku bisa mengukur berapa jarak tempur yang setiap hari aku susur meski terkadang aku sendiri yang malah jatuh tersungkur. 

Setiap hari aku mencatat peristiwa yang terkadang hebat namun setelah aku telaah ulang, itu hanya secuil kata yang menurutku tak ada manfaat. Aku sadar, dunia ini, dunia yang aku sedang hadapi ini seperti sebuah kiamat yang sebentar lagi mampir lewat. Dan aku harus mengerti, dalam hidup ini, setidaknya aku harus berdiri tengadah melewati cobaan terjal dan perihnya luka diri.

 Perempuan, malam ini aku masih belum bisa memejamkan mata. Mata yang biasa aku tatapkan ke setiap persitiwa di mana kata-kata harus kurangkai sedemikian rupa. Orang bilang, akulah si pemburu berita yang bisa dibaca banyak orang di sela-sela mereka leha. Tapi aku tak tahu, apa mereka lupa bahwa aku yang mencatat beberapa itu semua? 

Tidak perempuanku, di sini, malam ini, aku hanya ingin sejenak mengingat namamu. Setiap ucap yang biasa kau rapatkan ke daun telingaku semoga menjadi doa yang kekal. 

Aku berpikir, suatu saat nanti, jika semuanya berjalan sesuai takdir, akan aku sempatkan waktuku untuk hadir menemuimu yang aku harap rasa di antara kita takkan pernah berakhir seperti butir pasir yang tak pernah takut dihantam desir. 

Cibiru, 13-01-2013




Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Cantik Tak Selalu Menarik

Sedang di taman. Beberapa meter dari kantor Bisnis Indonesia. Ada beberapa pohon, bunga dan kursi mirip seperti yang biasa digunakan untuk bus angkutan kota. (Damri?)

Ada Peni, Inda dan Amri. Kami sekadar melepas lelah sambil menunggu kelas selanjutnya. Mereka itu teman seangkatanku, calon reporter Bisnis Indonesia.

Amri sibuk memainkan iPad milik Peni. Inda terus bercuap-cuap tentang kamar kosannya. Dia sudah bayar DP kosan di tempatnya Wike. Tapi ada kejanggalan. Kamar Inda tak ada sama sekali ruang pentilasi.

Kata Inda, kamar kosannya baru dibayar Rp200.000. Totalnya Rp600.000 per bulan. Yang jadi masalah, orang punya kosan belum memfasilitasi kasur. Inda sepertinya urung ngambil kosan di situ.

"Ya mau gak mau aku tidur dulu di tempat kosku," katanya.

Padahal, Peni sudah menawarkan kalau Inda bisa sementara tidur di kosannya. Kamar Peni sebetulnya tidak jauh dari lokasi kosan Inda. Ada AC nya juga. Tapi, Inda tidak suka kamar yang ada AC-nya. "Dingin," katanya.

Oh, hari ini kami baru saja selesai pelatihan dan pengenalan materi life style. Yang ngasih materi Andhina Wulandari dan Mas Eris Adlin, kakak kandungnya Abdel si stand up comedian.

Andhina orangnya cukup menarik. Seksi dan ramah menebar senyum. Saat pelatihan, sayangnya cara berkomunikasi dia kurang cair. Sehingga jadwal harus berhenti terlalu cepat.

Rambut Andhina terurai sampai bahu. Dia mengenakan blazer berbalut blouse. Tak lupa dia kenakan rok pendek dan high heels. Saat pelatihan. Suaranya agak pelan. Perempuan yang bertugas sebagai editor Kabar24.com ini berperawakan tinggi. Artikel-artikel yang ditulisnya cukup menarik pembaca. Termasuk aku.




Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 26 Maret 2013

Ditraktir Eris Adlin

Hari ini cukup seru juga. Bisa ditraktir sama Eris Adlin, salah satu bos besar Kabar24.com, anak usahanya Bisnis Indonesia yang lebih lekat banget sama berita life style.

Usai pelatihan sama Mas Tomy, redaktur pengelola halaman regional, Mas Eris ngajak anak-anak carep (calon reporter) makan malam. Dia yang traktir. Aku, Giras, Amri, Taufiq, Alty, Inda, Peni sama Wike tak menolak ajakannya.

Mas Eris orangnya cukup kocak dan lucu. Secara, dia sering ikutan stand up comedy di Metro TV. Kebetulan juga, wartawan senior ini kakak kandungnya Abdel, sang komedian masa kini.

Kami semua makan di salah satu rumah makan sate di kawasan Bendungan Hilir Jakarta Pusat. Kami menuju ke sana tak memakan waktu 20 menit. Kebetulan lokasinya tak jauh dari kantor. Meluncurlah dua Avanza ke sana.

Aku sendiri lebih memilih makan Tongseng, sementara yang lain memesan sate kambing. Dua orang lagi, anak buahnya mas Eris juga memilih tongseng.

Kultur kekeluargaan di Bisnis Indonesia memang cukup solid. Dari atasan sampai bawahan tak ada yang mengenal kelas atau derajat. Kami memamndangnya sama dengan yang lain. Tak ada yang sok senior dan junior.

Usai makan, Mas Eris bercerita banyak tentang pengalaman hidupnya selama jadi wartawan Bisnis. Alur hidupnya cukup berbeda dengan wartawan lainnya di Bisnis. "Kalau saya sama Tomy bisa dibilang wartawan Bisnis yang 'nakal'," katanya.

Mas Eris terus saja memberikan masukan dan nasihat kepada kami selaku orang baru. Sesekali ia menyelinginya dengan joke-joke kocak yang ada di kepalanya. Intinya dengan kehadiran kami di Bisnis, nuansa dan semangat kejurnalistikan lebih terus diasah dan berkembang.

Seusai makan, kami langsung kembali ke lobi kantor. Mas Eris mulai bercerita lucunya tentang pengalaman yang lainnya. Satu persatu orang-orang kantor pun keluar. Biasanya mereka langsung tancap gas. Tapi, karena ada Mas Eris di lobi, mereka semua jadi ikutan nongkrong bareng kami.

Kantor Bisnis Indonesia malam ini pecaha seketika dengan suara tawa dan senyuman hangat. Hal ini sangat jarang sekali terjadi. Aku sama teman-teman ngakak bukan main melihat tingkah lakunya. Jam ternyata sudah menunjukan pukul 23.30. Satu per satu mereka pergi. Mas Eris pun pamit. "Oh ya, besok kita lanjutin lagi ya di kelas pelatihan," katanya. Kami semua serempak menkawab "Iya pak, siap."
Best Regards,

Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 25 Maret 2013

Sebelum Tidur, Aku Sedikit Bercerita

Masih tak habis pikir, mengapa tiba-tiba aku jadi berpikiran hal-hal yang seharusnya aku pikirkan. Inikah yang namanya pikiran manusia?

Ya, setidaknya selama aku di Jakarta banyak pengalaman baru meskipun hanya beberapa hari aku menetap di sini.

Tanggal 15 Maret 2013, aku resmi mengabdi di Bisnis Indonesia sebagai calon reporter. Anehnya, aku saja satu-satunya orang Sunda untuk wartawan seangkatanku. Lainnya, kebanyakan Jawa semua.

Tapi aku merasa tak ada yang harus dicurigakan, mulai dari pimpinan redaksi hingga marketing di sini kebanyak orang Jawa. Aku sendiri merasa bangga dengan diterimanya aku di Bisnis Indonesia.

Sempat wakil pemred bilang, seharusnya harian ini bukan Bisnis Indonesia tapi Bisnis Jawa, karena notabene yang bekerja di sini berasal dari suku Jawa. Itu mungkin sebuah guyonan belaka. Tapi aku menangkapkapnya lain. Jangan-jangan karakter orang Sunda yang pemalas tak berlaku di Bisnis.

Suatu hari pak Wapemred memanggil satu persatu calon reporter seangkatanku. Dia bertanya tentang kondisi kami berada di Jakarta. Tak lupa dia memperlihatkan hasil psikotes semua calon reporter.

"Kamu kurang detail, kurang apik dan cenderung ceroboh," katanya saat gikiranku dipanggil di ruang kerjanya. "Kamu harus buktikan bahwa kamu bisa!" Ungkapnya bijak.

"Iya pak, saya akan mencoba membuktikan apa yang ingin saya tunjukan," jawab saya sambil mengangguk.

Wapemred saya, Bayu Widagdo orangnya nyantai, kalem dan bijaksana. Nada bicaranya lembut dan sopan. Kata orang dia punya indra keenam. Dia yang memutuskan berita siapa yang layak naik jadi HL.

Perlu diakui, sistem kekeluargaan di Bisnis Indonesia sangat kuat. Satu sama lain, antara redaktur dan wartawan saling merangkul dan support. Aku suka nuansa di sini.

Terlebih, teman-teman seangkatanku yang berasal dari Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Makasar cukup kompak. Kami selalu jalan bersama, diskusi bersama dan terkadang hang out bersama.

Dari 15 Maret hingga 5 April 2013, kami mengikuti pelatihan untuk menyerap dan beradaptasi terhadap pola kerja di Bisnis. Dari 8 gedung di Wisma Bisnis Indonesia itu, kami sudah menyatroninya dan saling berkenalan dengan karyawan lainnya.

Tapi ada hal yang cukup unik juga jika suatu saat usai pelatihan, kami selalu nongkrong bersama kantor. Sekadara mengobrol, merokok sampai ngelantur ke mana-mana. Di luar itu, kami habiskan waktu di kosan masing-masing.

Hal lain yang mungkin aku harus ceritakan yakni, teman-teman di Bandung sendiri. Aku merasa kekompakan mereka kurang solid dan kuat. Aku pikir mereka terlalu berada di atas seolah-olah aku ini orang baru di Jakarta. Padahal, selama di Bandung sebagian dari mereka merupakan teman-teman seangkatanku.

Tapi aku tidak menyikapinya dengan serius, toh aku punya cara bereksistensiku di Ibu Kota ini. Aku ingin buktikan bahwa aku pun bisa seperti mereka. Dan harus lebih baik dari mereka. Demikian catatan sebelum tidur yang cukup ngelantur ini. Dadah... Bye!!!

Powered by Telkomsel BlackBerry®