Senin, 22 Oktober 2012

Monolog Nyai Ontosoroh di Itenas Bandung


Kisah Nyai Ontosoroh yang ditulis sastrawan kawakan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia merupakan bagian dari tetraloginya Pulau Buru.

Buku tersebut ditulis Pram saat ia berada di balik jeruji besi karena dianggap sebagai penulis ‘kiri’ oleh rezim Orde Baru pada waktu itu.

Sungguh menjadi pengalaman yang menarik ketika kisah Nyai Ontosoroh tersebut ditarik ke dalam sebuah pementasan monolog yang mampu menghadirkan suasana berbeda.

Dalam rangka Tribute to Pram Night, bertempat di Ruang Audiovisual Kampus Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung, Senin (22/10), artis cantik Happy Salma didapuk menjadi pemeran Nyai Ontosoroh.

Mengenakan kebaya putih dan batik yang mencerminkan adat Sunda, Happy berhasil menghipnotis penonton yang hadir dengan akting yang begitu memukau.

Monolog yang disutradarai oleh Wawan Sofwan itu diawali dengan ketika Happy Salma alias Nyai Ontosoroh naik ke atas panggung minimalis berukuran 10x4 meter persegi.

Nyai membuka adegan sambil membawa kipas bambu dan membawa sebuah surat keputusan pengadilan Armsterdam tentang hak asuh anaknya bernama Annelies. "Hidup jadi seorang Nyai itu sulit, harus memuaskan tuannya," begitulah monolog itu membuka percakapan.

Panggung yang menjadi latar monolog Nyai Ontosoroh itu hanya terdapat sebuah kursi kayu dengan penataan cahaya lampu seadanya tanpa ada efek audiovisual sedikit pun. Selebihnya totalitas Happy Salma dipertaruhkan di malam itu.

Nyai Ontosoroh mengisahkan seorang wanita cerdas yang memiliki keteguhan hati dalam menghadapi kehidupan di zaman Belanda. Peran yang dimainkan Happy memberikan pesan terhadap penonton dengan sarat makna.

Kisah Pram dalam Nyai Ontosoroh tersebut membangkitkan semangat juang kaum wanita agar tidak diinjak-injak oleh kaum Belanda pada waktu itu. Berbagai kisah yang dituliskan Pram mampu dimainkan Happy dalam monolog tersebut dengan apik.

Kisah Nyai Ontosoroh dalam monolog itu digambarkan sebagai wanita Sunda yang dibesarkan untuk menjadi perempuan yang murah senyum, selalu mengalah, dan bersahaja. Namun sesekali rasa marah terpancar di wajah Nyai ketika ia mengingat masa lalunya.

Nyai Ontosoroh awalnya bernama Sanikem sebelum dirinya dinikahi oleh tuan Belanda Herman Mellema saat berusia belasan tahun. Di situlah Nyai diajari membaca dan menulis sehingga bukan lagi seorang gadis desa yang tidak bisa apa-apa.

Berkat pernikahannya dengan Herman Mellema, Nyai memiliki dua anak Robert Mellema dan Annelies Mellema yang kelak ketika dewasa, Annelies pacaran dan menikah dengan Minke.

Kehidupan Nyai pun berubah drastis, dari dulunya melarat dan lugu, kini menjadi  bahagia memiliki suami bijaksana. Namun, selepas Herman meninggal, permasalahan pun muncul. Nyai mendapat panggilan dari Pengadilan Amsterdam terkait hak asuh anaknya, Annelies.

Namun Ontosoroh menggugat keputusan pengadilan itu ketika Pengadilan Belanda memutuskan Annelies agar dibawa ke Belanda dengan alasan keturunan Belanda, yakni dari Herman Mellema.

Alasan yang dikecoh oleh pengadilan Belanda adalah mengungkit hubungan Annelies dengan Minke yang Pribumi. Padahal Nyai sendiri adalah seorang pribumi yang menikah dengan tuan Belanda, Herman Mellema, tapi mengapa saat anaknya menikah dengan pribumi malah menjadi sebuah permasalahan.

"Aku Sanikem, gundik dari mendiang Herman, seorang gundik yang melahirkan Annelies. Hubungan Minke dan Annelies dipertanyakan karena Minke seorang pribumi?," ungkap Happy dalam monolog itu sambil menguraikan air mata.

Dalam monolog tersebut, meskipun tampil di panggung sederhana namun emosi penonton hanyut dalam akting Happy Salma yang total dengan mimik wajah yang sempurna.

Monolog Nyai Ontosoroh yang kurang dari 30 menit itu ditutup dengan klimaks yang membuat penonton hanyut dengan kata-kata dahsyat mengandung pesan dan makna dalam.

Nyai Akhirnya menilai persoalan antara pribumi dan Eropa adalah soal kotor dan bersih. Seolah-olah Dilahirkan menjadi seorang pribumi waktu itu adalah kesalahan, dan dilahirkan sebagai pribumi lebih salah lagi.

"Aku akan menjadi pribumi yang melawan kulit putih. Karena aku tahu dengan kita melawan, kita tidak sepenuhnya kalah," kata Nyai menutup monolog tersebut.

Selain monolog Nyai Ontosoroh, Tribute to Pram Night juga dimeriahkan oleh penampilan seniman Besti Rahulasmoro dengan menampilkan performance art yang menggambarkan sosok Pramoedya Ananta Toer dalam masa kepenulisannya.

Dalam aksinya, Besti menceritakan sosok Pram yang terus ditindas oleh penguasa pada waktu itu. Dengan percakapan minim dan lebih menonjolkan gerak, Besti berhasil memberikan pesan kepada penonton tentang Pram yang terus menulis meski dilarang oleh penguasa.

Teatrikal tersebut hanya menggunakan setting mesin tik yang dimainkan oleh seorang pria dengan hanya duduk dan menulis. Sementara Besti sendiri terus beraksi di panggung memberikan simbol-simbol perjuangan Pram dalam menulis dalam sebuah kanvas.

Aksi Besti diakhiri dengan sebuah lukisan dadakan yang dibuatnya dalam kanvas dengan menggambarkan wajah absurd Pram. Di kanvas tersebut Besti menyuarakan pesan Pram yang khusus diberikan kepada warga Indonesia: Menulis Adalah Sebuah keberanian.

Label:

Sabtu, 13 Oktober 2012

Berkunjung ke Saritem

Jumat malam, 12 Oktober 2012, saya dan seorang teman berada di Buah Batu. Tepatnya di sebuah warung nasi goreng tidak jauh dari kantor tempat saya bekerja.

Waktu kira-kira menunjukan pukul 19:00. Saya memesan nasgor dua piring. Teman saya, Hedi adalah wartawan senior. Dulunya bekas reporter kantor berita Antara yang kini bergabung di sebuah harian ekonomi nasional. Namun kami ditempatkan di perwakilan Jawa Barat.

Usai makan, saya dan Hedi bercakap acak tentang pekerjaan. Dia bertanya banyak hal tentang keseharian saya bekerja. Begitu pun saya balik bertanya. Waktu pun mengalir, setiap obroloan perlahan mencair.

Tak terasa, jam sudah menunjukan pukul sekitar 20:00. Waktunya kami meninggalkan warung nasgor. Hedi mengajak saya untuk melepas lelah sambil berjalan mengendarai motor berkeliling kota Bandung.

“Kita cari sesuatu yang unik yuk! Moga saja ada hal yang bisa diambil,” katanya.
“Apaan tuh?” kata saya.
“Kita iseng-iseng saja main ke tempat hiburan malam,” ajaknya.
“Wah mantaf bray, ayo-ayo,” jawab saya.

Tak menyiakan waktu lama. Saya dan Hedi bergegas meninggalkan kantor. Hedi dengan gagahnya mengendarai motor terbarunya, Vario. Sementara saya hanya masih berkutat menggeber motor jadul saya, Astrea Grand, motor yang sempat bikin heboh dunia otomotif zaman orde baru.

Hedi mulai menyusuri tempat-tempat mangkal para perempuan malam. Saya mengikutinya dari belakang. “Kita ke jalan ABC dulu bray,” ajaknya. “Siap bro,” jawab saya singkat.

Memasuki jalan Banceuy, yang biasanya dijejali perempuan berkostum ketat sambil menggerakan jari telunjuknya yang menandakan ajak untuk check ini malam itu hampir tidak menunjukan batang hidungnya. Hedi pun langsung berbelok arah ke kawasan stasion Bandung.

Di situlah mulai terlihat perempuan yang berdiri dan berpakaian minim. Umurnya rata-rata 30-an. Sepanjang jalan stasion jari telunjuk mereka mengarah ke setiap pengendara. Hedi pun berhenti dan mulai beraksi.

“chek in om,” tanya salah satu perempuan liar itu. Make upnya tebal. Rok pendek. Rokok mild disedotnya.

“Berapa say,” tanya Hedi.

“300 om (300 ribu).” Jawabnya. Saya hanya cekikikan menahan tawa. Sementara Hedi mencoba menawar.

“Kirain bisa seratus say,” katanya. Perempuan itu langsung memasang muka sinis. Saya semakin tak kuat menahan tawa. Si perempuan malam langsung mundur. Mungkin ia kesal tawarannya terlalu kecil.

“Ya udah kita cari yang lain dulu,” kata Hedi sambil tancap gas. Saya semakin ngakak bukan main.

“Gimana bray,” Hedi tanya ke saya apakah ‘barang’nya pada bagus-bagus atau tidak. Saya hanya geleng-geleng kepala.

“Kamu kenapa bray mendadak jadi pendiem gitu,” katanya.
“Gak apa-apa bro, saya Cuma pengen ketawa aja liat tingkah laku kamu,” kata saya.

Perlu diketahui, saya dan Hedi memang suka bercanda. Mungkin malam itu kami sekedar membuang rasa lelah setelah seharian bekerja. Hedi adalah lulusan dari kampus yang sealmamater dengan saya.

Dia masuk ke kampus era 2000-an. Dulunya dia adalah aktifis yang lantang. Sempat menjadi sekretaris salah satu organ ekstra kampus yang paling lontar di kampus kami yang berada di kawasan Cibiru.

Namun, saya sendiri tidak sreg dengan organ ekstra itu. Hanya saja karena kami sekarang satu kantor, kami jadi tidak menganggap hal itu menjadi masalah.

****

Usai dari stasion, kami pun bergegas ke gembong dunia malam di kawasan Saritem Bandung. Kami sepakat untuk melakukan investigasi bagaimana dunia malam di Saritem itu berjalan.

Memasuki gang Saritem, berjajar calo yang menawarkan para pendatang. Tampang mereka mirip preman. Setiap ada pengendara yang masuk gang itu, calo-calo tersebut langsung berbisik menawarkan. Termasuk kepada kami.

Motor kami parkirkan di salah satu gang. Seorang lelaki tua berambut putih menghampiri kami. Ia mengenakan jaket tebal. Memegang rokok kretek. Tak lupa kepalanya dibungkus kupluk. Mungkin untuk menolak dinginnya malam di Bandung.

“Check in A,” katanya kepada kami. Hedi pun langsung bertransaksi. Ia berpura-pura menjadi seorang pelanggan. Si lelaki tua menyambutnya hangat.

“Yang ABG ada bah?” tanya Hedi. Ia memanggilnya abah.
“Wah banyak, hayu!” katanya.

Saya kaget bukan main ketika memasuki gang itu. Sebelumnya saya tidak menyangka, sebuah kerumunan penduduk seperti kebanyakan ternyata menyimpan banyak cerita.

Suasana gang macan memang tidak berbeda seperti perkampungan lainnya. Banyak anak yang bermain. Banyak pedagang. Banyak hilir mudik pejalan kaki. Tapi yang membuat saya heran, rumah-rumah di sana banyak perempuan yang menjajakan seks tanpa memiliki rasa malu sedikit pun.

Hampir di setiap rumah, banyak wanita yang merokok. Rok ketat dan seksi. Bibir yang tebal dengan lipstik sambil duduk di sofa menunggu pelanggan datang. “ini mirip rumah penjualan hewan,” kata saya dalam hati.

Si abah, yang mengaku telah menjadi calo selama 40 tahun itu mengajak kami ke sebuah rumah. Di rumah itu ada dua orang wanita muda. Wajahnya kelihatan umur 19-an. Pakaian minim dan wangi.

“Tuh pilih saja mau yang mana,” kata si abah.
“Berapa itu bah,” kata Hedi.
“300,” katanya.

Hedi menatap wajah saya. Ia seolah bertanya apakah kedua wanita itu cocok atau tidak. Matanya berkedip. Saya hanya tersenyum sambil mengangkat jidat.

“Cari yang lain bah,” kata Hedi.

Si abah lalu membawa kami ke rumah yang lain. Sambil berjalan, banyak anak-anak yang sedang bermain di luar. Terlihat ada sebuah masjid pula di kawasan Saritem itu. Saya langsung mengernyitkan dahi. Ini benar-benar ironis.

Di sebuah rumah dua tingkat, si abah mengenalkan saya dan Hedi kepada seorang germo. Kami pun bersalaman. Di dalam rumah itu, tiga orang perempuan juga tengah duduk menunggu pelanggan.

“Itu yang tengah baru tiga hari di sini,” kata germo itu menunjuk salah satu perempuan muda. “Dia baru keluaran SMA,” katanya.

Saya dan Hedi kaget. Mungkin masing-masing dari kami tidak menyangka perempuan muda yang umurnya diperkirakan belasan itu mesti terjun di dunia malam. Si germo sedikit bercerita kepada saya dan Hedi. “Masih bagus barangnya,” katanya.

“Berapa itu bos,” kata Hedi menawar.
“Rata-rata 300 di sini mah A,” katanya.

Sumpah, perempuan muda itu sama sekali tidak memancarkan wajah seorang ‘kupu-kupu liar’, tapi harus bagaimana lagi, mungkin itulah jalan yang dia pilih.

“Aslinya bray, mantap banget itu cewek,” kata Hedi kepada saya berbisik.
“Aslinya bro aslinya,” jawab saya sambil senyum. Hedi pun ikut senyum.
“Gimana A?” tanya si abah. Mungkin maksudnya menanyakan cocok atau tidak.

Kampi pun tidak memutuskan. Kami beralasan sedang menunggu beberapa orang teman yang juga mau ke Saritem. Hedi bergegas mengajak saya kembali ke parkir. Mungkin ia berpura-pura bahwa investigasi kami harus selesai sampai di sini. Kami pun tancap gas meninggalkan Saritem.

Jumat malam, Bandung mendadak dingin. Hujan sepertinya akan turun di Kota. Tapi ternyata tidak.


[]13-10-2012[] Maaf males ngedit EYD. hehe.

Label: