Jumat, 27 Juli 2012

Bandung Zine Fest 2012

Masih membekas dalam ingatan ketika ratusan orang berdatangan mengunjungi perhelatan Bandung Zine Fest 2012 yang digelar di Gedung indonesia Menggugat (GIM) Bandung 14 Juli 2012 lalu.

Tak hanya orang Bandung yang datang. Namun, beberapa pecinta zine luar kota bahkan provinsi rela hadir di acara tersebut. Berbekal dengan kecintaan dan hobi, baik komunitas atau personal dari pembuat zine (zine maker), kolektor hingga distributor tumpah ruah di acara yang diadakan seharian itu.

Di mata Deden Dendrew, seorang kolektor sekaligus zine maker asal Bandung, istilah zine datang dari kata ‘magazine’. Dia mengartikan zine dengan majalah kecil, namun ia tidak secara mutlak mengartikan hanya majalah kecil, arti luas seperti news letter atau buletin menurutnya tak jadi soal.

Menurut Deden, awal meledaknya zine di Bandung muncul sekitar era 1990-an saat kondisi musik di Bandung dikepung oleh aliran underground. Saat itu, zine-zine asal luar negeri memasok dan beredar di salah satu komunitas underground Ujung Berung Bandung.

Konten-konten zine tak jauh-jauh dari tulisan seputar musik punk dan hardcore yang kala itu digemari remaja Bandung, yang dengan segera para pembaca zine tersebut mulai mencoba untuk membuatnya sendiri. “Bandung memang menjadi kiblat zine di Indonesia, ketika pasokan zine dari luar negeri masuk ke komunitas underground Ujung Berung,” kata Deden.

Deden menjelaskan, zine memiliki ciri khas tersendiri yang membuat pecinta dan kolektornya hingga saat ini tak pernah meninggalkannya. Deden berkisah, dari awal bagi zine maker mempunyai misi tersendiri, yakni membuat media alternatif yang berbeda dengan media mainstream pada umumnya.

Dengan ciri khas cetakan hitam putih, yang notabene diperbanyak dengan cara difoto copy, zine menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca. “Pokoknya ciri khas utama zine itu cetakannya hitam putih. Kalau masalah konten seenaknya saja yang penting zine maker-nya puas,” katanya.

Sudah menjadi hal umum jika konten zine berisi tentang hal-hal yang berbau negatif dan seenaknya. Salah satu zine terbitan Bandung, Apokalips misalnya yang terbit rutin mingguan dengan mengusung tema-tema anti kapitalisme atau zine Sum-Sum yang dibuat mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang menceritakan kisah kehidupan mahasiswa dengan bahasa yang lugas, kasar dan selonongan.

Ada perbedaan unik tersendiri, ketika setiap terbitan Apokalips dibagikan secara cuma-cuma dengan tagline ‘Gratis Seperti Rasa Lapar’ atau Sum-Sum dengan menjualnya seharga Rp5.000 dengan bonus CD lagu-lagu ciptaan anak-anak STSI.

Adalah Ucok Homicide, seorang musisi undergorund asal Bandung sekaligus zine maker era 1990-an yang kerap membikin propaganda dalam zine tentang hiruk pikuk perpolitikan saat itu. Ucok berkisah, dengan berkarya dalam zine, kebebasan berekspresi secara mudah bisa didapat.

“Dulu media tidak bisa senyaring saat ini. Media banyak dibungkam oleh pemerintah, oleh karena itu dengan menulis dalam zine, mungkin bisa mengekspresikan atau mengkritisi pemerintahan, dan saya waktu itu mendapatkan kepuasan yang berbeda,” katanya.

Entah sudah berapa kali Ucok membuat zine dengan nama yang berbeda-beda. Ciri zine dengan cetakan seadanya dan terbit dengan semaunya menjadi keunikan tersendiri. Menurut Ucok, zine memang sempat meredup tahun 2000-an, terlepas faktor apa saja yang memperngaruhinya.

Namun, sejak munculnya internet dan sosial media, komunitas, kolektor dan perorangan pecinta zine mulai bangkit kembali. Terbukti, dengan diadakannya Bandung Zine Fest 2012 itu, geliat zine di Indonesia semakin merebak. Tercatat, lebih dari 80 zine turut mengikuti festival tersebut.

“Saya salut dengan kondisi sekarang, dulu saat zaman saya, tidak ada yang namanya festival zine, seperti yang pernah diadakan di Bandung. Namun, saya optimistis perkembangan zine ke depannya bakal semakin bagus. Itu artinya orang-orang kreatif bakal bermunculan,” katanya.

Salah satu zine maker asal Jakarta Ika Vantiani menuturkan, perubahan kondisi zine dari dulu hingga sekarang sangat berubah dan berbeda. Menurutnya, di Jakarta sendiri ketika zaman 2000-an kebanyakan pembuat zine banyak mengusung tema-tema politik dan punk, namun kini konten zine lebih banyak ke personal.

Menurut dia, faktor pengetahuan masing-masing individu yang memiliki selera berbeda menjadi penyebab tersendiri perbedaan tersebut. “Saya melihat zine maker saat ini lebih menulis konten-konten personal, baik curhat, menulis kisah kehidupan sehari-hari dan banyak lagi,” katanya.

Ika yang terjun dalam dunia zine dari tahun 1900-an itu mengakui jika geliat perkembangan zine berasal dari komunitas-komunitas kecil. Menurut Ika, konten zine saat ini sudah meluas dengan tema yang berbeda dan variatif.

“Saya senang sekarang banyak komunitas yang yang melahirkan zine. Sekarang saja misalnya, ada komunitas komik, mereka bikin komik, ada komunitas sastra mereka bikin zine tentang sastra, dan itu bagus,” kata perempuan yang tubuhnya dipenuhi tato itu.

Namun, Ika berpikir pelaku zine ini akan lebih baik jika ada regenerasi agar ke depannya zine di Indonesia tidak mati. Ia berharap ada pelaku zine yang concern menularkan hobinya kepada generasi muda bahkan kalu mau ke anak kecil.

Bagi Ika, hal tersebut merupakan sebuah ide bagus dan menarik, karena dengan membuat zine, dia meyakini daya kekreatifan seseorang bakal muncul. Karena tak bisa dipungkiri, konten-konten dalam sebuah zine berisi ide-ide segar yang out of the box.

Menurut Ika, yang kini aktif di blog personalnya www.vantiani.etsy.com, mengatakan untuk mengembangkan kembali geliat para pembuat zine, harus ada sebuah komunitas yang serius menggarap dan menghidupkan lagi zine. Dijelaskannya, zine yang hingga kini beredar merupakan hasil buatan para pelaku yang notabene berdasarkan kemampuan apa yang mereka miliki.


Label: