Kamis, 19 April 2012

Para Pemburu Beasiswa

Oleh Miftahul Khoer

Di sebuah kantin yang gerah. Seorang mahasiswa tengah duduk terdiam dengan tatapan kosong yang membuatnya menerawang jauh. Sadar tidak sadar sore itu matahari perlahan terbenam. Awan mulai menghitam mendekati senja yang sebentar lagi hinggap di atas kepalanya.

Berjejer kursi rapih di situ. Seorang pemilik kantin yang sudah puluhan tahun setia berjualan di kampus hijau itu segera merapikan meja-meja dan kursi-kursi miliknya. Seorang wanita tua yang seolah-olah menjadi ibu bagi para mahasiswa lainnya. Mami, orang-orang memanggilnya. Ia terbiasa bangun pagi dan bergegas memulai usahanya berjualan kebutuhan para mahasiswa. Dari mulai gorengan, nasi kuning, kopi, rokok sampai pulsa pun tersedia di kantin itu. Malah kadang beberapa mahasiswa banyak yang ngutang di kantinnya. Mami menjadi teman akrab dan sesekali menjadi teman curhat bagi mahasiswa yang sedang memiliki masalah—kisah cinta yang runyam, perselingkuhan bahkan masalah keluarga.

Tono, seorang mahasiswa semester VI berperawakan kecil, rambutnya pendek namun otaknya paling diperhitungkan di kelasnya. Ia masih duduk di situ, di kantin yang hendak ditutup itu.

Kampus sebetulnya sudah mulai sepi. Hanya segelintir mahasiswa lain yang berlalu-lalang. Mahasiswa yang tentunya mengikuti perkuliahan siang yang baru saja bubaran. Tono, tetap saja melihat awan hitam yang dikiranya hujan sebentar lagi akan turun. Kepulan asap rokonya terus ia buang ke langit. Namun perasaannya tidak sadar bahwa ia sedang merokok. Pikirannya tengah berada di dunia yang lain. Dunia yang kini sedang ia benci. Ia merasa dikhianati. Seseorang telah membuatnya sakit hati.

“Ada masalah apalagi Ton, kok murung begitu?” Tanya Mami dari arah dapur tanpa menatap ke arah Tono. Mami sudah tahu dan paham dengan sosok Tono. Jika ia memasang wajah kecut, Mami segera menilai bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan Tono. Pastinya Mami tahu segala sesuatu tentang Tono, setiap saat, setiap waktu toh Tono nongkrong di kantin Mami. Jadi apa yang Mami tidak ketahui dari mahasiswa cerdas asal Jawa ini.

Tono tak menjawab sedikit pun. Entah ia tidak mendengar atau ia malas menjawab pertanyaan Mami. Ia masih saja terus mengisap rokoknya. Seolah ia merasa bahwa di kantin itu hanya ada dirinya sendiri. Padahal dari tadi Mami terus menyapanya. Walau sapaan Mami tak mengharapkan untuk dijawab secara serius. Mami senyum-senyum saja melihat tingkah Tono sambil bertanya-tanya ada apa dengan anak itu. Rasa curiga pun semakin deras dalam dirinya. Mami mengira ada hal serius yang tengah dipendam Tono.

Kali ini langit benar-benar menghitam. Namun aneh, hujan belum saja turun. Padahal dalam hatinya, Tono menginginkan hujan segera membasahi tanah kampus. Ia berharap mungkin dengan turunnya hujan, masalah yang sedang ia pikirkan itu bisa reda seketika layaknya tanah kering yang tersiram hujan yang menjadikannya sejuk dan berharap debu-debu kotor yang berterbangan itu mendadak hilang ditelan senja. Tapi harapan Tono sia-sia. Ia malah dikejutkan oleh segerembolan mahasiswa tingkat atas, yang lebih dua semester dengan dirinya. Mahasiswa-mahasiswa itu menyadarkan Tono dari lamunannya. Kursi-kursi kantin itu kembali mereka duduki. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan senangnya seperti orang yang sedang bahagia kedapatan rezeki nomplok. Dan Mami sudah tidak aneh dengan mereka.

“Ha…ha…ha.., tau gak sih kalian, barusan saya dari jurusan ngambil formulir beasiswa, dan saya dapat 50 formulir, ha…ha…ha,” Dedi tiba-tiba bicara lantang di hadapan teman-temannya.

Tentu saja, Dedi adalah seorang aktifis kampus yang sangat populer. Ia dikenal mahasiswa dan jajaran rektorat sebagai orator ulung. Nada bicaranya tegas jika ia sedang berunjuk rasa di depan rektorat. Pokoknya sekali ia berteriak, para pejabat kampus pun takut padanya. Ia hanya bisa bungkam jika suaranya itu disumpal oleh uang. Buktinya, ketika ia mendapatkan formulir beasiswa itu, omongannya tidak lantang lagi. Belakangan ia dijuluki oleh aktifis lain sebagai aktifis amplop. Ya, seperti itu, ia hanya lantang berbicara jika ada maunya saja.

“Woy, kamu Ded, jangan belagu gitu dong. Saya juga barusan dipanggil sama Pembantu Dekan, tau gak, saya dapat formulir beasiswa lebih dari kamu. Saya dapat 100 formulir, dan itu akan saya bagikan ke anak buah saya. Ha…ha…ha…,” kata Mamat tak mau kalah dengan Dedi.

Dedi dan Mamat memang sudah berkawan lama namun berbeda jurusan. Keduanya aktif di organisasi ekstra dan menjadi bagian orang terpenting di dalamnya. Keduanya pandai bernegosiasi sana-sini. Mereka jago mengerahkan masa. Siapa pejabat kampus yang tak kenal dengan mereka berdua. Apa pun yang mereka minta, pihak rektorat sudah barang tentu mengabulkannya.

Jafar, seorang teman yang lainnya sebetulnya ingin ikut-ikutan berbicara beasiswa. Namun ia merasa lebih baik bungkam saja. Jafar takut ketahuan bahwa kemarin pun ia sudah menemui pihak rektorat perihal pembagian jatah beasiswa untuk organisasi ekstra kampus yang diasuhnya. Tapi mau tak mau ia pun harus bicara. Karena Dedi dan Mamat tiba-tiba bertanya padanya.

“Nah, kamu sendiri gimana Far, secara kamu kan orang yang lebih berpengaruh di kampus ini?”
“Iya, cerita-cerita dong sama kita-kita?”

Ya, perlu diketahui, mereka bertiga adalah orang-orang yang berpengaruh di kampus. Namun bukan dalam segi akademis, melainkan perihal kecakapan mereka berdiplomasi dengan para pejabat kampus. Mereka bertiga datang dari organisasi ekstra yang berbeda yang biasanya saling sikut dan membusukkan. Tapi dikarenakan posisi mereka saat ini setara di pemerintahan kampus dan tentu saja tidak ada yang dirugikan satu sama lain, ketiga jendral ini berkawan akrab. Malah sering nongkrong bareng. Namun siapa sangka keakraban mereka tidak bisa prediksi—satu, dua, tiga hari berikutnya jika ada yang merasa dirugikan atas kekuasaan dari pihak rektorat, mereka tentunya bakal renggang.

“Wah, kalau masalah beasiswa, saya gak tahu menahu. Bukan urusan saya!” Jafar berpaling.
“Yaelah… sudah lah Far, kamu jangan sok nyembunyiin sesuatu gitu dong, kita semua kan sekarang berkawan, ayolah… kamu dapat berapa formulir?” Dedi membujuk.
“Iya nih jangan tertutup gitu lah,” Mamat menambahkan.

Wajah Jafar tiba-tiba memerah. Ia seakan merasa ditembak senapan dari dekat. Harus mulai dari mana ia bicara. Ia takut kedua temannya itu terkaget-kaget jika jatah beasiswanya malah jauh lebih banyak dari keduanya. Dengan sedikit kelihaian berkomunikasi, ia sedikit memalingkan pembicaraan.

“Mi, bikin kopi tiga gelas dong,”
“Ha…ha…ha…, kamu lagi Far coba-coba mengalihkan pembicaraan.”
“Takut ketahuan kali Ded, ha…ha…ha…”
“Iya, kayaknya, ha…ha…ha”
“Eh… bukan gitu sob, biar rileks aja gitu, biar santai.”
“Oke deh, setuju lah setuju, kopi tiga Mi,” teriak Dedi.
“Waduh, sudah sore atuh, kan Mami mau tutup,”
“Ayolah Mi, kita bayar dua kali lipat deh, tanggung nih lagi rapat penting, ha…ha…ha…”
“Ah kalian mah kebiasaan, ya sudah tunggu sebentar, Mami manasin dulu airnya.”
“Nah gitu dong Mi.”

Dengan terpaksa Mami mesti menyalakan kompornya kembali dan memanaskan air untuk melayani para ketiga jendral organisasi ekstra kampus itu. Sementara Tono masih asik dengan asap-asap rokonya tanpa memerhatikan ketiga kakak angkatannya itu. Dengan segera tiga gelas kopi hitam sudah berada di tengah meja. Harumnya menusuk hidung. Kopi hitam yang kental, sekental pembicaraan mereka sore itu.

“Nah jadi gimana Far, kopi sudah ada nih, kamu dapat berapa tuh formulir beasiswa?” Dedi tak sabar menyelidiki. Kuping kedua orang itu dipasang sedekat mungkin. Mereka menunggu jawaban Jafar yang misterius itu.
“Hmm… kasih tahu gak yaaa… Ha…ha…ha…,” Jafar bercanda.
“Ah, gila kamu, serius dong kita gak sabar nih pengen tahu.”
“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?”
“Iya deh.”
“Suer?”
“Ah banyak bacot kamu.”
“Janji?”
“Iya, susah amat sih.”
“Begini ya, sebenarnya kemarin Pembantu Rektor III manggil saya. Dan dia ngasih formulir itu ke saya.”
“Iya kamu dapat berapa?” Dedi kesal.
“300 formulir!”
“Busyet!”
“Setan! Yang bener kamu?”
“Bercanda kamu.”
“Saya serius!”
“Goblok tuh Pembantu Rektor, kok bisa?”
“Kayaknya kita harus segera komplain Mat!”

Ternyata pembicaraan mereka mengusik Tono. Ia ikut-ikutan kaget mendengar bahwa Jafar mendapatkan jatah formulir beasiswa sebanyak itu. Tapi untuk apa? Kenapa sebanyak itu? Awalnya Tono tidak mau ambil pusing mendengar semua itu toh dia tidak mendapatkan beasiswa dari kampus itu, karena ia sudah mendapatkan beasiswa dari jalur lain, jalur mahasiswa berprestasi dari sebuah Bank terbesar di negeri ini. Lumayan, Tono mendapatkan uang beasiswa sebesar empat juta rupiah. Cukup untuk bekal kuliahnya selama empat semester.

Kini di hadapanya, Tono mengambil bungkus rokoknya yang ternyata hanya tersisa sebatang lagi. Sambil membuang kekagetan itu ia bakar kembali dan mencoba menguping pembicaraan mereka selanjutnya.

“Ini benar-benar tidak adil Far. Kamu dapat formulir beasiswa sebanyak itu, mentang-mentang organisasi kamu lebih dominan di kampus ini. Kamu harus adil Far.”
“Weits… tunggu dulu sob, kenapa kamu nyalahin ke saya. Kamu komplain dong ke rektorat!”
“Iya, sebaiknya kita komplain aja besok ke rektorat Ded!” bujuk Mamat.
“Gimana besok aja lah, saya gak terima dengan semua ini, bangsat banget, goblok!”

Suasana sudah tidak kondusif lagi. Tiba-tiba ada ketegangan di antara mereka. Dedi tak mau diam lama-lama. Ia segera meninggalkan kantin itu tanpa pamit sedikit pun. Mamat juga demikian, hanya ia lebih sopan meninggalkan Jafar. Kini Jafar senyum-senyum sendiri melihat kedua tingkah temannya itu seakan-akan ia telah memenangkan sesuatu. Sambil menyeruput kopi terakhir ia pun bergegas pergi dari kantin itu. Mereka bertiga lupa bahwa kopi yang dipesan itu belum dibayar. Dan Mami hanya bisa menggelengkan kepala dengan tingkah mereka. Sudah biasa. Sudah biasa. Sudah biasa. Dalam hati, Mami membatin.

Mami berjalan menuju meja itu dan mengambil gelas-gelas kotor. Matanya sejenak menuju arah Tono. Mami masih menyimpan pertanyaan “ada apa dengan Tono?”. Dalam pikirannya paling tidak Mami memprediksi bahwa Tono ada masalah dengan kekasihnya.

Handphone Tono berdering. Ada nomor tak dikenal menghubunginya. Dengan segera ia mengangkatnya.

“Hallo… Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam, ini sama Pak Didin, Ketua Jurusan.”
“Oh iya Pak, ada apa Pak?”
“Begini, saya cuma pengen tahu, beasiswa sudah cair belum yang dari Bank itu?”
“Oh sudah Pak, sudah.”
“Berapa?”
“Alhamdulillah, empat juta Pak.”
“lho… kok empat juta? Kan semuanya 15 juta.”
“Iya, tapi kata Pembantu Dekat III itu sudah termasuk potongan sana-sini.”
“Potongan sana-sini gimana?”
“Iya, buat Dekan, Pembantu Dekan, Tata Usaha dan Ketua Jurusan.”
“Ah, bohong itu Ton, sumpah, saya dan yang lainnya tidak ada hak untuk memotong beasiswa kamu. Itu murni beasiswa buat mahasiswa berprestasi.”
“waduh, Pak, saya tidak tahu soal itu.”
“Ya sudah, saya akan segera konfirmasi ke Pembantu Dekan perihal itu. Ini namanya kecurangan Ton.
“Iya deh Pak kalau begitu, terima kasih sebelumnya.”
“Iya, iya nanti saya kabari lagi. Besok kita ketemuan saja di kampus. Assalamualaikum.”
“Iya Pak, Waalaikum salam.”

Mendadak darah Tono mendidih. Ia seakan ditikam dada. Ia sesak, kesal dan marah. Di tengah masalah yang sedang ia hadapi, ia tidak hanya dikhianati oleh kekasihnya tapi juga oleh Pembantu Dekan fakultasnya. Seorang intelek bergelar doktor yang telah merampok uang haknya itu.***

Bandung, 19 April 2012

Label:

Selasa, 17 April 2012

Crocs Masih Paling Diburu


Bandung: Kota Bandung memang dicap sebagai kota fesyen dan menjadi kota pusat perbelanjaan. Terbukti, banyak dari luar kota yang sengaja datang untuk berbelanja seperti pakaian sepatu dan sandal. Jalan Kepatihan Bandung misalnya, menjadi tempat paling diburu oleh para belanja mania seperti aksesoris, sandal dan sepatu.

Saat ini yang tengah menjadi tren sandal dan sepatu yang banyak dicari adalah produk-produk dari Crocs. Sebuah produk yang datang dari Amerika.

Panji (45), seorang ibu rumah tangga sengaja datang ke Jalan Kepatihan hanya untuk mencari model-model terbaru. Dia menerangkan sudah memiliki koleksi banyak produk-produk dari Crocs.

“Iya, saya sengaja datang kemari buat beli model baru, di rumah sudah punya empat koleksi,” katanya.

Menurut dia, sandal Crocs enak sekali dipakai untuk usia berapa pun dan tidak bikin pegal kaki. Ia juga menambahkan bahwa harga sandal Crocs cocok dan sesuai. “Pertama sih agak mahal, tapi ke sini-ke sini harganya turun,” ujarnya.

Sementara itu, Rian salah seorang penjual Crocs menjelaskan bahwa produk-produk Crocs paling banyak diminati sekarang-sekarang ini. Dengan bermacam model yang ada, yang sangat laku di pasaran adalah Malindi dan Marry Jane.

“Kalau sekarang yang paling banyak dibeli ya model Marry Jane, harganya juga cukup murah, cuma 140.000 rupiah, tapi kalau buat langganan mah 130.000 rupiah juga bisa,” katanya. [Miftahul Khoer]

Label:

Pertengahan Bulan, Pasar Baru Sepi Pengunjung


Bandung: Pada pertengahan bulan, pusat perbelanjaan Pasar Baru Bandung tak ramai seperti biasanya. Apalagi hari ini (17/4) terlihat beberapa toko sepi pengunjung.

Elis, salah seorang penjaga toko busana muslim yang terletak di lantai 1 mengakui bahwa dirinya sudah biasa dengan suasana seperti ini. “di sini mah gak ngaruh, kalau lagi sepi ya sepi, kalau lagi rame ya rame,” ujarnya.

Untuk perlengkapan busana muslim, Pasar Baru memang lumayan cukup banyak menyediakan kebutuhan-kebutuhan para pembeli. Elis menambahkan bahwa biasanya barang yang paling dicari yaitu pakaian atasan, gamis dan kemeja koko.

Dengan pendapatan tak menentu, Elis, yang kini sudah dua tahun menjadi penjaga di toko tempat ia bekerja menuturkan bahwa pendapatan perharinya sudah cukup memenuhi target untuk stor ke bosnya. “Sehari kadang dapat tiga juta,” pungkasnya. [Miftahul Khoer]

Label:

Minggu, 08 April 2012

Gosip Artis



Presenter itu begitu lihai berbicara
Tentang gosip-gosip artis masa kini
Wajahnya tebal dengan bedak
Bibirnya penuh dengan lumpur gincu

“lalu bagaimana kisah percintaan sepasang kekasih yang mesra ini?
Kita saksikan liputannya setelah yang satu ini.”
Katanya di layar kaca.

Iklan-iklan seolah menjadi pengganggu
Mama harus sabar sebentar
Dua menit kemudian backsound seram kembali menyala
Nada-nada murung berganti

“dan mengapa keduanya masih menunda-nuda hubungan?”
Lanjutnya lagi dengan aksen tegas dan menyilaukan mata

Artis itu ketahuan berselingkuh dengan seorang model
Mungkin ada cinta yang bersarang di lokasi syuting

“hubungan kami baik-baik saja, mudah-mudahan bulan depan
Kami melangsungkan pernikahan.”

Lalu presenter itu duduk di sofa mahalnya
Matanya tajam menatap kamera
Kata-katanya semakin garang
Seakan hendak menerjang artis-artis yang dibicarakan
Belahan dadanya sedikit terbuka

Mama kesal
Tiba-tiba ia memindahkan channel
Menekan tombol tujuh di remote control

Mama kini asyik senam
Mengikuti intrstruktur di teve


2012

Label:

Di Ujung Jari Mungilnya



Di ujung jari mungilnya
Ada badai yang tak direncanakan
matanya menjelma serdadu kecil
Yang melesatkan cahaya matahari

“kaukah itu nak?
Kaukah yang mengalirkan deras air dari jarimu?”

Di tengah gersang padang pasir
Ia terus bertanya
Ia membendung air yang mengalir
Menjadi kolam, sungai dan lautan

Di ujung jari mungilnya
Ada cahaya sorga
Melekat di jantung batu


2012



Label:

Minggu Sore dan Gerimis yang Tertawa



minggu sore di sebuah perkampungan kecil
wanita-wanita itu berkumpul di rumahku
rumah tua yang gentengya sudah mulai bocor

gerimis sore itu tak kemana-mana
ia akrab bersama rumpi mereka

“apa yang sedang mereka bicarakan,
Mengapa mereka begitu bahagia?”
ayah bertanya padaku.

Diantara para wanita itu, ibuku paling menikmati tawanya
Matanya mengecil sambil mengeluarkan air mata bahagia
Ibuku sejenak terlupa dari rasa sakitnya:
Punggung yang ngilu
Telapak kaki yang nyeri

Tapi tiba-tiba suara tawa itu menghilang
Salah seorang dari mereka berbisik
Ah, aku memasang kuping di tembok
“mengapa tak ada tawa lagi,
Mengapa mesti ada bisik-bisikan,
Apakah mereka takut terdengar olehku dan ayah?”

Adakah sesuatu yang rahasia?


2012



Label:

Tiga Adegan Penting

1
Dalam perjalanan menuju kamarmu. Pada tanjakan yang gelap itu. Kau terus saja mencubit
kulit lenganku dengan alasan geli oleh kata-kataku yang berlompatan di kupingmu
Lalu ketika hampir sampai di mulut gang, aku kerahkan keberanian sekuat mungkin
Yang mungkin kali ini membuat kupingmu hampir meledak, hampir kaget
Atau kau benar-benar kaget. Sebuah pernyataan yang membuat selaput gendangmu copot.

2
Di gang itu, sekarang hampir tiga kali dalam seminggu aku menunggumu
Aku berdiri, kadang duduk di bawah terik matahari
Tapi kebanyakan aku menyingkir di bawah sejuk pohon alpukat dekat gang itu
Sambil kudengar suara-suara motor meraung di sebuah bengkel dekat kamarmu
Tak kurang dari 20 menit tiba-tiba kau keluar dengan senyum yang khas
Dan rok yang menutupi paha itu sesekali menyapu jalanan
Tanpa pamit yang sopan aku tinggalkan para pegawai bengkel itu
Kemudian hari-hari akan kita lewati

3
Astrea Grand hitam yang sudah tiga bulan belum ganti oli itu masih setia membawamu pergi
Mulanya kau agak malu menyimpan kedua tanganmu melingkar di perutku
Mungkin perutku terlalu buncit atau kau masih belum merasa kedinginan
Tapi itu sudah berlalu, sekarang malah kau dengan erat memelukku tanpa izin
Juga kadang-kadang kau pijat-pijat bagian tubuhku yang merasa agak pegal
Sambil kau mengacak-acak rambut tebalku
Aha! Peganglah yang kuat
Jangan kau lepaskan

Label:

Jumat, 06 April 2012

Catatan Harian: Sebuah Proses Mengubah Dunia[1]


Oleh Miftahul Khoer[2]

Aku harap aku bisa mencurahkan isi hatiku padamu dengan cara yang belum pernah aku lakukan kepada siapa pun sebelumnya, aku harap kamu dapat memberi rasa nyaman dan juga semangat untukku. (Anne Frank, 12 Juni 1942)[3]

Tentu saja, kutipan di atas ditulis oleh sorang gadis belasan tahun, tepatnya ketika ia berusia 13 hingga 15 tahun. Gadis itu bernama Anne Frank, seorang anak yang bersekolah di bawah naungan Yahudi. Ketika ia berulang tahun, dari berbagai macam kado yang diberikan padanya, matanya tertuju pada sebuah buku harian yang kelak catatan hariannya menggemparkan seantero dunia. Dan pada tahun 1989, sebuah buku berjudul The Diary of a Young Girl terbit dengan penuh kegelisahan. Buku yang lahir dari tangan mungil dan polos. Buku tentang kejujuran. Buku tentang catatan harian.

Lantas apa pentingnya catatan harian?

“Kertas memiliki kesabaran lebih ketimbang manusia.” Kalimat inilah yang membuat gelisah gadis cilik itu. Anne menyadari bahwa menulis catatan harian adalah pekerjaan asing baginya. Bukan lantaran ia belum pernah menulis sebelumnya, tapi karena ia khawatir bila kelak tidak ada yang peduli dan tertarik dengan tulisan seorang gadis yang masih berusia 13 tahun.[4] Namun ketika sebuah siaran radio di London mengemukakan sebuah pidato yang menghimbau untuk mengumpulkan catatan saksi sejarah penderitaan rakyat Belanda semasa penjajahan Jerman termasuk catatan harian, Anne pun berniat untuk menerbitkan catatan hariannya, dan terbitlah. Gemparlah dunia.

Kita tahu, bukan Anne Frank saja yang menulis catatan harian. Kita lalu mengenal Catatan Harian Soe Hok Gie yang berbicara tentang pergerakan Indonesia masa orde lama. Bagaimana idealisme mahasiswa saat itu berguncang. Bagaimana kegelisahan dan ketidakadilan terjadi pada masa itu. Lalu kita kenal catatan harian Ahmad Wahib yang mengusung wacana pembaharuan Islam di Indonesia, yang pada masa mudanya ia dikenal sebagai cendekiawan muda progresif. Dengan catatan-catatan harian mereka, sejarah bisa diselamatkan dengan jujur. Kita bisa tahu hal-hal yang tidak terjamah media. Kita bisa mengenal sesuatu tanpa campur manipulasi politik sejarah. Wahib misalnya, dalam tulisannya yang dimuat di Tempo, 29 Juli 1972, menulis dalam judul Pembaharu ’70 pada Sebuah Tebing, yang mengetengahkan arus baru pemikiran Islam di Indonesia, harus dengan sabar bahwa tulisannya tidak sebegitu bebas seperti halnya dalam catatan hariannya. Selain di bawah tekanan deadline [karena ia sempat menjadi wartawan Tempo], ia juga harus sadar diri dengan space yang terbatas pada media dan ‘tekanan’ sana-sini yang bisa membatasi pemikirannya.[5] Ini menandakan bahwa catatan harian setidaknya mempunyai otoritas tersendiri bagi si penulisnya.

Maka, pada tahap dasar inilah kita akan segera mencari tahu apa itu catatan harian? Seperti apa catatan harian itu dan bagaimana menulis catatan harian?

Dari berbagai contoh di atas, setidaknya kita sedikit mengerti dan bisa membayangkan bahwa catatan harian adalah [sebuah] catatan yang ditulis sehari-hari. Catatan yang ditulis sejak bangun tidur sampai menjelang tidur kembali. Catatan yang ditulis dengan menekankan hal-hal (ter)kecil dalam kehidupan keseharian. Kita, misalnya bisa menulis tentang kegiatan yang berkesan dalam keseharian kita melalui buku diari seperti yang sering kita lakukan pada masa-masa SMA dulu.

Nah, dengan berkembangnnya teknologi pada masa sekarang ini, kita bisa memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang sangat mendukung kita dalam membuat catatan harian kita. kalau dulu Anne Frank, Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib mencatat dalam kertas, maka kita bisa menggunakan blog, note facebook dan berbagai penunjang gratis yang bisa kita manfaatkan. Bagi saya, catatan harian adalah menabung sejarah untuk dijadikan sebuah artefak yang sangat berharga kelak. Seorang pelukis yang karyanya sempat dijual milyaran rupiah bernama Nashar pernah bilang “Catatanku ini sangatlah penting artinya, paling tidak untuk diriku sendiri, karena halaman-halaman ini adalah lembar kehidupanku…”[6] dalam catatan hariannya, Nashar menulis dengan bahasa ringan dan enak dibaca, begitu pun dengan catatan-catatan harian penulis lainnya.

Menulis catatan harian adalah menulis apa yang dilihat, didengar, dirasa dan diraba. Apa pun bisa dituliskan tanpa berfikir berat dalam menuliskannya, karena sifat catatan harian adalah gaya ungkap dan gaya lisan yang dituliskan. Namun bagaimana si penulis bisa memainkan kata-katanya supaya enak dicerna oleh pembaca (itu pun jika karyanya hendak di publish). Beberapa sifat catatan harian memang banyak untuk kalangan pribadi atau tidak untuk di publish ke khalayak banyak, namun saat ini sejumlah penerbit justru ramai-ramai menerbitkan catatan harian yang dipandang lucu, unik dan ‘nakal’ seperti halnya beberapa catatan harian seorang seniman Pidi Baiq yang sukses di pasaran.

Menulis catatan harian tak memiliki batasan. Kita bisa melihat contoh Soe Hok Gie yang kadang-kadang hanya menulis satu paragraf dalam sehari. Karena, menulis dengan sifat harian berarti memelihara moody yang ada dalam diri. Malah, saat ini ketika saya melihat beberapa teman di Facebook, status bisa menjadi sebuah catatan harian. Nah, yang terpenting dari catatan harian adalah konsistensi dan kemauan. Maka jangan heran jika suatu hari masing-masing dari kita bakal menemukan betapa bersemangatnya kita dalam menulis (catatan harian) dan begitu malasnya kita dalam menulis (catatan harian). Ini semua adalah keawajaran. Dan kewajaran itu bisa kita ubah dengan kedisiplinan. Lantas apakah kita tidak tertarik seperti Anne Frank, Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib? Dalam catatan-catatan hariannya mereka bisa mengubah ‘dunia’. Kenapa kita tidak?



[1] Judul ini dibuat seenaknya saja untuk dijadikan bahan diskusi rutin LPM Suaka pada 04 April 2012.

[2] Penulis adalah peminum kopi dan perokok berat.

[3] Dikutip dari buku Catatan Harian Anne Frank: Jalasutra, hal 13 (buku ini saya pinjam dari penyair Galah Denawa)

[4] Ibid, hal 19.

[5][5] Lihat Aba Du Wahid dalam Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Resist Book, hal 68

[6] Lihat Nashar oleh Nashar, Bentang, 2002. [Sebuah buku catatan harian seorang pelukis legendaris yang begitu konsisten dan total dalam menjalankan pilihannya]

Label: