Sabtu, 03 Maret 2012

Sebuah Telaah Sederhana Tentang Cerpen Kunang-Kunang Kematian[1]


Oleh Miftahul Khoer[2]


I

Sudah sepantasnya saya merasa senang, mengingat beberapa tahun kebelakang, atmosfer kesu(sastra)an yang terbangun di kota saya, khusunya di kampus ini (UIN SGD Bandung) sangat bergairah. Atau ringkasnya, sastra, sekarang (agak) tidak ditabukan lagi posisinya. Lihat saja, sudah menjadi prestasi besar ketika kampus yang di lirik sebelah mata oleh kampus-kampus lain berhasil ‘mengirimkan’ para penyair muda di ajang Temu Sastrawan Indonesia IV (TSI IV) di Ternate, Maluku sana. Tentu saja ini layak diacungi jempol pada mereka yang memandang dunia sastra adalah sesuatu yang patut dilestarikan dan dikenalkan pada khalayak publik. Sebagai contoh, sebut saja nama Restu A Putra yang sudah melahirkan beberapa karya: cerpen, puisi dan esai yang terbit di media lokal dan nasional, juga di beberapa antologi keroyokan. Ia juga tercatat sebagai pendiri salah satu komunitas yang sampai sekarang masih eksis di bidang kajian, sastra dan film—Komunitas Rumput. Lalu kita kenal sosok Pungkit Wijaya yang saya anggap konsisten di ranah sastra. Semangatnya selalu menggebu-gebu jika membicarakan sastra—baik dalam obrolan biasa, diskusi atau pun seminar-seminar yang kerap ia hadiri. Atau, belakangan kita segera tahu dua sosok penyair yang konsen di puisi: Galah Denawa dan Herton Maridi. Keduanya adalah bibit-bibit unggul, yang, jika saya baca beberapa puisinya memiliki ciri khas tersendiri. Itu pun tidak bisa dipungkiri, dengan hadirnya beberapa komunitas yang membentuk masing-masing, atau malah dengan giat individu-individu dari merekalah yang menyebabkan karakteristik dari mereka muncul—tanpa embel-embel komunitas itu sendiri. Namun apa pun penyebabnya, saya patut berbangga hati.

II

Dalam kurun dua tahun belakang ini (dengan rendah hati saya menyebut masih di ranah kampus), bermunculan berbagai komunitas dan media, yang [setidaknya] berbicara masalah kesu(sastra)an. Sepanjang catatan saya, ada Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK), Komunitas Kabel Data, Sasaka, Verstehn, Noise Youth dan Muntah (walau hanya baru menerbitan satu edisi), dan Tabloid Suaka yang tetap memberi ruang dalam salah satu rubriknya: cerpen dan puisi. Kesemuanya minimal rutin mengadakan acara diskusi baik bulanan atau mingguan yang digelar di kampus dan sekretariatnya masing-masing. Namun yang secara konsisten dalam pengamatan saya, Komunitas Sasaka-lah yang masih membuka lebar-lebar kajian dan diskusi, baik membedah cerpen, puisi atau novel-novel klasik (Indonesia) untuk dikonsumsi umum. Dan itu saya kira merupakan salah satu semangat yang luhur untuk memajukan kesu(sastra)an kita Indonesia ini.

III

Berbicara Sasaka, saya belakangan ini sering menghadiri diskusi-diskusi mingguannya. Di tahun 2012 ini, di kesempatan pertama yang membicarakan puisi-puisi karya Saeful Mushtofa dan (saya lupa lagi namanya), kemudian cerpen Andai Emak Tahu karya Siti, yang saya rasa adalah langkah baik untuk memulai tradisi diskusi semacam ini. Lalu pada kesempatan minggu ini, saya mengenal sosok T.H Ihsan dengan cerpen Kunang-Kunang [Kematian], cerpen yang sempat terbit di bulletin Sasaka tempat di mana ia bernanung di komunitasnya. Begitulah perkenalan singkat saya dengan beberapa yang berkaitan dengan kesu(sastraa)an di [lagi-lagi saya ingin berrendah hati] kampus ini.

IV

Sebetulnya saya menerima email pada cerpen ini berjudul Kunang-Kunang saja, mungkin saya pikir ada sedikit revisi dengan yang pernah saya baca di bulletin Sasaka—Kunang-Kunang Kematian. Tapi toh saya tidak memperdulikan masalah judulnya. Saya juga belum sempat membandingkan kembali dengan teks yang ada di bulletin Sasaka, atau mungkin penulis lupa tidak membubuhkan kata ‘Kematian’ saat mengirim emailnya ke saya?

Kunang-kunang adalah sebuah mitos. Konon, ia membawa kuku orang mati atau ia adalah jelmaan dari iblis. Namun para peneliti terdahulu menemukan ada zat Lucifer dalam tubuh kunang-kunang yang dapat memproses reaksi dalam tubuhnya sendiri sehingga ia bisa mengeluarkan cahaya. Lalu, apakah ini masih disebut sebagai mitos? Tentu saja, Roland Barthes menyebutnya mitos adalah sebuah tipe pembicaraan; suatu sistem komunikasi bahwa mitos adalah suatu pesan. Mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form).[3] Semula, kunang-kunang merupakan hewan yang dianggap biasa saja seperti hewan yang lainnya, namun kemudian kunang-kunang menjadi penanda yang menimbulkan atau mempunyai efek mistis dalam kehidupan suatu daerah. Dan ia menjadi pesan yang tersembunyi atau malah secara separatis menjadi bentuk yang dianut dan menjadi tradisi turun temurun. Artinya, sistem komunikasi seperti ini, dalam tradisi orang-orang non-modern, mitos adalah laku percaya atau tidak, bukan ada atau tidak, [atau] benar atau salah.[4]

Membaca cerpen Kunang-Kunang Kematian karya T.H Ihsan, saya merasa mengingat-ingat lagi cerpen serupa yang sempat saya baca di cerpen-cerpen Kompas Minggu. Tema-tema seperti ini dengan gagah orang-orang menyebutnya realisme-magis. Tema-tema yang memadukan kejadian-kejadian yang hadir di sekitar (realitas) kita yang disisipkan mistis-mistis tertentu. Namun tentu saja T.H Ihsan, dalam proses kreatifnya mengatur strategi sedemikian rupa agar karyanya berbicara lain dengan tema sejenis—yang masih berkutat dengan ‘kunang-kunang’ ini.

Cerpen Kunang-Kunang, bercerita tentang seorang pemuda yang bernama Yadi Jopang. Umurnya 27 tahun, usia yang cukup muda dan gagah. Di kampungnya, ia dikenal sebagai jawara. Tidak ada yang berani macam-macam padanya karena ia mempunyai ilmu kanuragan—suatu ilmu yang bisa menangkal dari bahaya dan serangan musuh. Ia tahan dengan berbagai segala senjata. Tubuhnya sangat kuat walau golok menyambar sekalipun. Namun ada beberapa syarat yang harus ia jauhi, yakni jangan pernah menyebut nama tuhan atau mengingatnya sama-sekali.

Yadi Jopang mempunyai seorang teman bernama Taryo—seorang pemuda jail yang suka mempermainkan perempuan. Suatu waktu Taryo kedapatan tengah bergumul dengan istri orang, malah perempuan di kampung lain pun ia gagahi. Namun, kebejatan prilaku Taryo pun akhirnya diketahui warga kampung lain. Taryo mati seketika dihabisi oleh warga kampung tersebut. Dan yang menjadi gempar adalah hadirnya kunang-kunang setelah kematian Taryo, seolah-olah sebagai tanda bahwa dengan kehadiran kunang-kunang tersebut membuat warga resah dan takut dengan mitos yang ada—yakni bila seseorang yang dihinggapi kunang-kunang, maka ia akan mati seperti orang sebelumnya.

Mendengar semua itu, Yadi Jopang dan seorang temannya, Joko hendak balas dendam untuk Taryo, walau dalam hati Yadi Jopang tiba-tiba ia merasa miris, kekuatannya merasa lemah seketika saat ia secara tidak sengaja menyebut secara tidak langsung yang berkaitan dengan atas nama Tuhan. Dalam bentrokan itu, Joko mati. Sementara Yadi Jopang selamat dan bersembunyi di balik semak dengan keadaan mengingat Tuhan.

Membaca cerpen ini, saya teringat pada Karl Manheim, seorang Sosiolog, yang mengajukan bahwa karya sastra menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda: tingkat pertama yaitu objective meaning atau makna obyektif, yaitu hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri; apakah ia gagal atau berhasil menjelmakan keindahan dan pesan yang hendak disampaikannya. Suatu karya sastra adalah suatu obyek yang mengobyektivasikan suatu nilai atau antinilai; keindahan, pembaruan, orsininalitas, otensitas atau peniruan, dan kepandaian teknis semata-mata. Tingkat kedua adalah expressive meaning atau makna ekspresif berupa hubungan karya itu dengan latar psikologi penciptanya; apakah sebuah sajak diciptakan untuk mengenang suatu saat penting dalam kehidupan penciptanya: kelahiran anak, kematian ayah atau ibu, atau putusnya suatu momen tertentu dari kehidupan pencipta. Tingkat ketiga adalah documentary meaning atau makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dengan konteks sosial penciptaan: pengaruh-pengaruh sosial-politik atau kecenderungan budaya yang tercermin dalam suatu karya. Suatu karya adalah suatu dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran di mana suatu karya diciptakan dan dilahirkan.[5]

Membaca cerpen Kunang-Kunang, terutama di pembukaan narasi, kita seolah digiring oleh penulis ke dalam sebuah suasana kampung yang memiliki kepercayaan-kepercayaan tertentu. Sebuah kampung yang masih mempercayai mitos-mitos orang-orang terdahulu, dari nenek moyang mereka—mitos jawa. Kita lihat saja kutipan berikut:

Di kampungku, yang lokasinya berada di daerah jawa, bila ada salah satu warga yang mati, maka pada malam kematiannya, secara tiga malam berturut-turut kunang-kunang akan berkeliaran mengudara. Entah kebetulan atau tidak, mereka selalu beterbangan memijarkan cahaya kerlap-kerlip berwarna putih pucat, atau ada juga yang kehijauan. Sebentar bercahaya sebentar redup. Seperti itulah kunang-kunang. Kata warga kampung, mereka percaya bahwa kunang-kunang itu jelmaan dari kuku orang mati. Cahayanya yang selalu redup itu berbentuk seperti bekas cakaran, mungkin ingin mencoba mencakar kegelapan menjadi terang oleh kuku orang mati. Namun anehnya, hanya kematian dari orang baik saja kunang-kunang tidak pernah berkeliaran.

Pertanyaannya: apakah narrator yang sekaligus sebagai subjek pertama dari cerpen ini sudah [secara tidak langsung] percaya terhadap mitos tersebut? Tentu saja iya, ia percaya. Kenyataannya, tidak ada yang bisa aman dari mitos, mitos dapat berkembang dalam skema tingkat-keduanya dari makna apa pun[6], artinya ketika pada narasi namun anehnya, hanya kematian dari orang baik saja kunang-kunang tidak pernah berkeliaran., di sana derajat atau tingkat yang lain dari mitos itu sendiri hadir dengan mitos-mitos agama, yakni jika ‘orang yang baik akan di sayang Tuhan’ artinya orang yang hidup di dunia dengan baik, dengan mematuhi segala perintah tuhannya, bakal jauh dari bencana. Di sini, dalam bahasa lain, masuk dalam tingkat ketiga seperti apa yang diungkap Mark Kalheim: sebagai documentary meaning, cerita yang hadir sesuai apa yang terjadi pada masyarakat, yang dalam konteks ini masyarakat jawa.

Strategi T.H Ihsan sendiri dalam cerpen ini saya kira cukup brilian. Ia dengan apik membangun suasana sekaligus memberikan informasi pada pembaca tentang bagaimana menjadikan “paragraf awal adalah labolatorium” dalam cerpennya ini. Namun sepertinya ia lupa pada beberapa kalimat yang agak membingungkan sebagian pembaca—saya khusunya. Kita lihat misalnya pada:

Ia bilang, tubuhku akan tahan senjata apapun asal tiap malam menyulut kemenyan di bawah jendela kamar dan beberapa syarat lainnya; jangan pernah menyebut atas nama Tuhan, menjauhi Tuhan, dan memuja kepada setan.


Barangkali, jika saya boleh mengoreksi, maksud dari ketiga syarat itu adalah jangan pernah menyebut atas nama Tuhan, jauhilah Tuhan, dan memujalah kepada setan. Tentu saja, saya anggap konteks Tuhan di sini adalah tuhan sebenarnya yang dianut oleh masyarakat yang diceritakan dalam cerpen ini. Tuhan yang disembah dan dijadikan tempat segalanya. Sehingga, nuansa mistis dan takhayul didobraknya begitu saja. seolah-olah Tuhan itu tidak ada dan tidak berfungsi yang kemudian dalam agama itu disebut musyrik, menyekutukan Tuhan.

Akibat dari mitos yang kental di kampung tersebut, Yadi Jopang yang semula taat beribadah dan mengaji, kini keimanannya pun runtuh. Dalam hatinya yang penuh dengan ke(percaya)an atau tidak mengenai mitos itu kita bisa lihat:

Jadi perihal kunang-kunang yang berkeliaran malam ini di sebabkan karena Taryo mati, orang yang butuh cahaya, orang yang kurang beramal. Aku tak habis pikir kenapa kunang-kunang itu hinggap ke tanganku? Apa benar tentang mitos kunang-kunang jelmaan kuku orang mati dan yang dihinggapinya akan ikut mati? Soalnya kemarin ada kunang-kunang yang menempel di punggungnya. Ah, aku masih tetap tak percaya. Tapi bila itu jelmaan Taryo, berarti ia meminta tanganku membalaskan dendam pada warga kampung sebelah. Itu sebabnya kunang-kunang hinggap di tanganku. Pikirku.

Pertanyaan-pertanyaan Yadi Jopang inilah yang mengakibatkan imannya goyah. Jiwanya bertempur antara percaya atau tidak. Bagaimana bisa hanya karena orang mati, orang yang tidak baik, kunang-kunang akan berterbangan di malam hari, lalu mencari dan hinggap di tubuh orang yang akan menjadi korban selanjutnya? Penanda-penanda dalam teks tersebut seperti butuh cahaya dan kuku orang mati kemudian diasosiasikan dengan teks lain menurut documentary meaning-nya Manheim adalah bagaimana Yadi Jopang mempercayai ketika ada kunang-kunang yang sempat hinggap di punggung Taryo sebelum ia terbunuh. Keterkaitan antara mitos dan dan budaya yang ada di kampung ini, sebagai kampung yang masih bergaya tradisional, semakin menguatkan mitos itu sendiri semakin benar adanya. Walau pun pada akhirnya dilematis yang dialami Yadi Jopang di ujung ceritanya menjadi semacam cuci tangan penulis, agar cerpennya ini menjadi (setidak-tidaknya) kejutan: kini selain aku percaya pada perlindungan Tuhan, aku juga percaya pada mitos kunang-kunang. Aku telah dihinggapinya. Dan bila aku mati di sini, semoga tidak ada kunang-kunang yang berkeliaran di malam kematianku., yang seolah-olah pembaca kembali digiring untuk berharap “bagaimana kalau ketika Yadi Jopang mati lalu kunang-kunang tetap berkeliaran?” Maka, justru jika si pembaca berpikiran seperti itu, bukankah sama saja kita percaya pada mitos tersebut? Pada mitos kunang-kunang itu? Atau bagaimana seandainya jika pembaca menyalahkan sang penulis dengan mengatakan “seenanknya saja menutup cerita seperti itu, bukankah Yadi Jopang bukan orang baik-baik, bukankah orang yang tidak baik pasti akan butuh cahaya kunang-kunang?” ah, rupanya saya sendiri sudah terlibat dalam mitos kunang-kunang ini.

V

Dan seperti itulah hasil pembacaan saya yang saya rasa terlalu banyak kekeliruan. Namun saya harus mengakui bahwa T.H Ihsan dalam cerpennya Kunang-Kunang [Kematian] ini sudah (agak) berhasil memenuhi ketiga tingkat itu—objective meaning, expressive meaning dan documentary meaning. Namun, ya, sedikit catatan saja bahwa dalam sastra pun begitu banyak mitos yang melulu diagung-agungkan, salah satunya: “jika karya kita—puisi dan cerpen dimuat di koran, maka gelar sastrawan kita sudah di depan mata atau setidaknya diakui.” Ah, rupanya saya sendiri sudah terlibat dalam mitos sastrawan koran ini.

Bandung, 02 Maret 2012.



[1] Tulisan ini sebagai keisengan penulis dalam acara diskusi mingguan Sasaka pada 2 Maret 2012 di taman kampus UIN SGD bandung.

[2] Penulis adalah dia yang sedang belajar memahami dan mengerti cerpen.

[3] Lihat Roland Barthes: Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Jalasutra. 2010

[4] Lihat Acep Iwan Saidi dalam Matinya Dunia Sastra. Pilar Media. 2006.

[5] Karl Manheim, Essays on The Sociology of Culture (London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1959), dalam Ignas Kleden: Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Freedom Institute. 2004

[6] Roland Barthes: Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Jalasutra. 2010, hal 329.

Label: