Minggu, 27 Februari 2011

Si Manis Penuh Ambisi



ingin kuterka waktu yang lampau saat kau berada di ruang yang dulu aku pernah mengintaimu. Ruang yang pada suatu hari aku menyimpan bibir pipimu. dan kau bilas pura-pura tak mau dengan punggung lenganmu. Lalu kedua tanganku dikemudi sayton yang dicipta tuhan sebagai mahluk pengendali api. Jari-jariku landas di pinggangmu yang penuh dengan lemak cemilan yang tersangkut di pojok kopma.

Kau enyahkan kedua tanganku. melerai kegelian kulitmu yang baru saja mengibas senyum yang terangkum di mulutmu. Tubuhmu wangi saat itu. Wangi yang membuatku enggan bergeser sedetikpun dengan dirimu. Kecuali ketika kau mengendap beralasan ingin pergi ke kamar mandi tanpa seizinku. Aku tau dikepergianmu yang berpura-pura ingin kencing itu adalah kesempatan bagimu untuk tersenyum geli dan tentu saja mengernyitkan dahi sambil bermalu-malu bahwa kau baru saja aku sentuh sebagai tanda tubuhmu tak lagi utuh.

Sepulang dari kamar mandi, kau hanya berdiri memandangku penuh tanya. seakan waktu itu adalah sebuah mimpi yang mesti dibangunkan dengan cara mencubit pipi. Lalu kupersilahkan kau duduk dekat denganku. Di ruangan itu, orang-orang yang biasanya hilir mudik mendadak entah kemana. Mungkin ini sudah tercipta sebagai tempat kita berdua untuk mengusir rasa rindu yang menggebu.

Kau mulai membuka percakapan tentang keseharian tanpa diriku yang sudah lama tak saling temu. Kau perlihatkan swetaer baru padaku seolah kau ingin aku puji dengan kata-kata yang membuatmu mati terbunuh kelu. Namun tak juga hinggap sedikitpun kata-kataku dan kau agak kesal. Lalu batang telunjuk dan jempolmu mengapit kulit lenganku. Begitu puitisnya cubitanmu.

Malam itu adalah milik kita yang penuh warna dengan ornamen bintang berceceran di matamu. Sajadah panjang menjadi saksi kebrutalan kita dalam menyalib waktu yang luput penuh ironi. Seikat dusta bertebaran diantara kita tentang segala kemungkinan masa depan yang luruh terlibas badai janji palsu. Walau kita sama-sama akui kenistaan ini mampu menghipnotis tuhan yang tengah memelototi kita.

Jarak yang menempel di dinding makin berdetak dan menghentak. Temaram malam semakin gelap memosisikan angin kencang menggerogoti tubuh kita. Lalu kau dengan sadar menutup jendela dengan koran bekas yang belum sempat sama sekali aku baca. Kerudungmu kau urai dan terselip di seutas biji paku yang menganga.

Kini, kau bersandar di bahuku dengan penuh ketakutan akan sebuah perpisahan. Dalam ketaksadaranku rambutmu kuusap perlahan penuh hati-hati, semacam Nostalgia yang kita ciptakan murah tanpa perlu merogoh beberapa rupiah. Setiap helai rambutmu adalah nafas yang mengalir yang bisa membuat amuk cintaku terkubur. Walaupun kutemukan beberapa serpihan putih yang sempat menggetarkan logikaku di ujung salah satu rambutmu yang bercabang.

Malam itu benar-benar pengabdian cinta yang takkan tergantikan oleh butir-butir emas yang melambung di pucuk Monas. Hitungan detik yang berdetak menanda ucap berderai hasrat. Setiap topik yang kita lempar berakhir di setetes kecup yang berdegup.

Namun malam itu tiba-tiba kita serasa dipangkas waktu. Nada ponselmu yang mengakibatkan hak asasi keromantisan kita terenggut kilat yang menyambar di sebuah aliran sinyal. Kau begitu lebam, sayup matamu teriris rindu yang karam.

Tapi itulah cinta, kadang waktu yang singkat terasa lebih gugup ketika kita saling merasa aroma asmara yang terbuai sikap. Lalu kubiarkan kau pergi menuju panggilan ibumu yang ingin segera bertemu. Namun kau simpan sejuta kenangan saat kau beranjak dari tempat yang kita pijak. Dengan tanpa malu-malu kau curi mulutku dengan tergesa-gesa menepis semua bayang yang dulu aku idamkan. Selamat tinggal gadis manis penuh ambisi.


Bandung, 26.02.2011

Label:

Seksualitas Penyair


sebuah analisis puisi oleh Yoga Zarandritra

Senandung Gitar Tua*

Di kamar ini lampu lima watt meludahiku
Segera aku ambil gitar tua itu dalam pelukan
Dengan nada yang sumbang aku nyanyikan kidung asmarandana
Lalu kau melangkah kedepanku
Sementara dengan pura-pura tidak tahu
Mulutmu menjilati isi celanaku
Dan mataku berkerlip kencang

(Miko Alonso)*

Secara denotative saya dapat rekostruksi alur cerita dalam puisi di atas. Terdiri dari dua orang tokoh di suatu kamar berlampu lima watt. Tokoh pertama berperan sebagai pencerita (ku) dan satu tokoh lagi berperan sebagai tokoh penyerta (mu). Penulis puisi di atas memakai sudut pandang orang pertama untuk menceritakan tokoh utama, ini terlihat dari digunakannya kata ‘ku’.

Tokoh utama (ku) yang tengah berada di kamar merasa ‘diludahi’ oleh lampu lima watt yang ada di situ. Segera ia mengambil gitar tua yang ada di pelukan tokoh penyerta (mu). Dengan nada sumbang, lantas tokoh utama menyanyikan kidung asmarandana. Setelah mendengar kidung asmarandana yang dinyanyikan tokoh utama (ku), dengan pura-pura tidak tahu, mulut tokoh penyerta (mu) menjilati isi celana tokoh utama. Kemudian mata tokoh utama (ku) berkelip kencang.

Diksi ‘meludahiku’ dalam teks puisi di atas bisa bermakna tersulutnya rangsangan/gairah sex tokoh utama di kamar yang cahayanya temaram, sebab lampu yang digunakan berdaya lima watt. Suasana kamar menjadi menggairahkan saat hanya ada dua orang saja dalam satu kamar. Tokoh utama tersulut gairah sexnya oleh cahaya lampu yang temaram, sehingga ia terdorong untuk menyanyi mempertontonkan kemampuannya di hadapan tokoh yang tadinya tengah memeluk gitar. Tokoh utama tengah menarik perhatian tokoh penyerta (mu). Tokoh penyerta pun tertarik lalu dengan pura-pura tidak tahu mulutnya menjilati isi celana si tokoh utama. Sampai akhirnya, mata si tokoh utama berkerlip kencang sebagai tanda ia mencapai puncak kenikmatan.

Walau nada yang dinyanyikan oleh tokoh utama terdengar sumbang, namun sang tokoh penyerta tak ambil peduli, tubuhnya tengah dirasuki gairah untuk memuaskan sang tokoh utama. Dengan berpura-pura tidak tahu, lantas mulutnya menjilati isi celana si tokoh utama. Ini berawal dari suasana kamar yang temaram, hanya dicahayai lampu lima watt. Nampaknya, kata kunci dan kekuatan besar gairah itu terletak pada baris pertama dalam puisi itu, yaitu “di kamar berlampu lima watt”, semuanya kegairahan-kegairahan selanjutnya dimulai. Atau pada baris ketiga, yaitu dinyanyikannya “kidung asmarandana”, sebuah kidung yang memukau tak perlu keindahan suara untuk merasakan keindahannya, sebab mendengarkan liriknya sudah merupakan keindahan.

Kidung asmarandana dan lampu lima watt adalah sumber-sumber kegairahan. Tokoh pertama merasa bergairah karena sudah diludahi oleh lampu lima watt dan tokoh penyerta menjadi bergairah karena mendengarkan kidung asmarandana yang dinyanyikan. Keduanya, memiliki daya yang luar biasa untuk melahirkan kegairahan dua tokoh di atas. Penulis puisi di atas meletakkan kidung asmarandana dan lampu lima watt sebagai tonggak lahirnya kegairahan dalam diri dua tokoh tersebut.

Sampai titik ini puisi di atas adalah dokumentasi sexualitas pengarang. Atau bisa juga dikatakan sebagai kegiatan sex pengarang, di mana pengarang mendapatkan kepuasan melalui kegiatan menulis puisi. Dokumentasi sexualitas pengarang maksudnya adalah ada kesan-kesan dalam kehidupan pengarang yang berkaitan dengan rasa puas, rasa nikmat, rasa bahagia yang kemudian pengarang dokumentasikan menjadi sebentuk puisi.

Sexualitas yang dibicarakan dalam tulisan ini tidak melulu soal reproduksi, atau tidak melulu soal bertemunya organ-organ intim dalam satu kegiatan intim. Meskipun pada mulanya, saat kita membaca dan memaknai puisi di atas, sexualitas adalah bagaimana dua insan saling tertarik kemudian melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sex dalam pengertian yang umum. Puisi di atas memang puisi sex, sebab kita sebagai pembaca secara sepintas seolah-olah tak diberi pilihan untuk memaknai puisi di atas sebagai puisi non-sex. Dalam puisi itu ada diksi ‘isi celana’, ‘menjilati’, ‘meludahi’ dan ‘mata yang berkerlip kencang’. Diksi-diksi itu memang bukanlah diksi sex semata, namun ketika direlasikan dengan kata-kata lainnya dalam puisi di atas, diksi itu menjadi hidup dan mengajak pembacanya untuk juga pergi ke alam sex. Bahasanya memang tidak vulgar, bahasa sex, namun ruang-ruang kosong dalam kata yang diciptakan pengarang membuat pembaca tidak bisa lari untuk senantiasa memaknai itu adalah puisi sex.

Secara objektif, bisa dikatakan seperti itulah teks puisi di atas, berbicara tentang sexualitas dalam pengertian yang umum. Namun, secara subjektif, saat kita sebagai pembaca merelasikan teks puisi di atas dengan pengarangnya. Akan ditemukan bahwa sexualitas tidak melulu soal kegiatan sex dalam pengertian yang umum. Sexualitas adalah soal bagaimana seorang pengarang merasa terpuaskan hanya dengan menulis puisi. Pengarang tengah ‘bersenandung’ menceritakan hal-ihwal bahwa dirinya saat itu tengah merasa puas. Rasa puas itu lantas direalisasikan menjadi rangkaian kata-kata. Kepuasan sang pengarang itu bisa terletak saat ia sedang menulis puisi, saat sesudah puisi itu ditulis atau saat sebelum puisi itu ditulis.

Artinya ada makna lain dari makna sexualitas pada umumnya, saat kita sebagai pembaca menilisk masuk ke sisi-sisi kejiwaan sang pengarang. Sexualitas, seperti yang dikatakan oleh Freud adalah soal pemuasan. Dan pemuasan itu tidaklah melulu soal kegiatan yang berkaitan dengan organ reproduksi/organ genital. Ya, jika kita berbicara tentang keduanya; teks (objek) dan pengarang (subjek). Teks di atas hanya sebagai tanda bahwa sang pengarang tengah dalam kondisi terpuaskan. Dan teks puisi di atas adalah dokumentasi rasa puas sang pengarang.

Namun dalam pengertian yang lain, seperti sudah saya sebut di paragraph atas. Puisi sebagai suatu proses bisa bermakna kegiatan sex, menulis puisi adalah kegiatan sex, kegiatan yang membuat sang pengarang kemudian terpuaskan. Ya, pada tahap-tahap membicarakan subjek (pengarang) relasinya dengan sex. Maka sexualitas menjadi luas artinya, menembus batas-batas pengertian sex pada umumnya. Dan maka, orientasi sex menjadi luas pula, tidak melulu pada lawan jenis. Orientasi sex, bisa jadi adalah menulis puisi. Karena dengan menulis puisi, penyair menjadi terpuaskan.

Saat telah seperti itu, kepuasan tidak hanya soal bertemunya penis dengan vagina dalam satu kegiatan intim. Bagi seorang penyair, kegiatan sex adalah juga soal proses dirinya merangkai kata. Hingga dirasa kata-kata yang ia rangkai cukup memadai buat dijadikan medium menyimpan makna-makna yang ia ingini.

* Diambil dari Buku Antologi Sajak-sajak Tengil Miko Alonso


Label:

Rabu, 16 Februari 2011

Lampu merah


TUBUHKU terbuat dari lampu remangremang. lampu yang baru dibeli ayah. malam ini ayah baru saja pulang kerja. tubuh ayah dingin sekali dan menggigil. aku buatkan ayah secangkir kopi yang hangat. tubuhnya kini merebah di sofa sambil memandang lampu berwarna merah. lampu yang ayah beli sangat remang sekali. aku dan ayah samasama memandang lampu itu. kami samasama berbaring memandang ke atas. lampu merah remangremang itu tersenyum pada kami. lalu ayah melambaikan tangannya dan aku tersenyum. tubuhku terbuat dari lampu remangremang. kopi ayah kini sudah dingin. tubuh ayah dan tubuhku terbuat dari warna merah dan kopi hangat.

Label:

Mengganti Warnet dengan Warbuk


SUATU HARI di sekitar daerah rumah saya, salah satu ketua Rukun Tetangga (RT) mendatangi pengusaha warung internet (warnet), sang ketua RT menasehati pemilik dan penjaga warnet itu supaya anak kecil (anak sekolah) dilarang bermain ke warnet tersebut. Sikap sang ketua RT itu bukan tidak beralasan, karena semenjak adanya warnet di daerah itu, sikap moral dan mental anak-anak di lingkungan sekitar menjadi aneh. hal ini sudah masuk tarap yang membahayakan.


Niatnya, anak-anak pergi ke warnet sekedar untuk bermain game online dan Facebook (situs jejaring sosial). Namun, lama kelamaan mereka lebih asik untuk membuka situs-situs porno, dan hal ini yang membuat risih para orang tua.

Zaman sudah modern, sudah serba digital dan serba ‘click’. Apapun yang kita inginkan bisa langsung cepat tersaji atas majunya alat komunikasi yang bernama internet. Sebut saja misalnya bisnis online, transaksi antara nasabah dan bank, pengiriman paket cepat antar kota maupun negara sampai pembayaran listrik sekalipun sudah menggunakan sistem canggih dengan alat yang bernama internet itu.

Dari contoh kasus diatas, tentu saja saya tidak menuduh bahwa internet adalah perangkat yang salah yang masuk pada salah satu desa atau daerah. Banyak hal positif dan negatif yang tentu saja terasa dengan adanya internet ini. Kita bisa mendapatkan informasi apapun yang kita inginkan dengan cara browse pada situs-situs tertentu. Dan banyak lagi hal yang positif lainnya. Namun, kabar miring juga tak sedikit yang tersaji di internet ini, salah satunya hal yang membuat moral kita hancur yaitu situs porno yang bisa dikonsumsi oleh semua kalangan. Dan banyak lagi hal positif dan negatif lainnya.

Peran Sekolah
Pihak sekolah tentunya sudah harus berantisipasi dengan masalah ini. Karena rata-rata pengunjung warnet terbanyak yang membuat riskan adalah siswa-siswa SD dan SMP. Seharusnya peran sekolah yang mempercayakan pada masing-masing wali kelasnya bertindak aktif untuk memberikan nasehat pada anak didiknya. Para guru bisa mengajarkan dan memberi informasi mengenai nilai positif dan negatif-nya internet—terlepas apakah itu internet rumahan, kantoran, sekolah, mobile sampai warnet.

Barangkali, trend yang terjadi pada masyarakat kita dengan adanya internet masuk pelosok desa bisa menjadikan pribadi seseorang memiliki nilai lebih dari pribadi lainya. Anak misalnya, dinilai lebih pintar dan gaul oleh teman lainnnya. Gara-gara dia lebih sering pergi ke warnet dan pulang dengan seabreg pembicaraan seputar game-game yang menarik atau situs-situs ‘keren’ yang suatu waktu bisa di click bersama teman lainnya.

Kecenderungan anak pada internet sekarang ini justru lebih berdampak negatif saja. Hal ini yang harus dicari jalan keluarnya oleh pihak sekolah. Peran aktif guru untuk membimbing siswa bukan di kelas saja tapi mereka (guru) bisa berkomunikasi dengan pihak orang tua murid untuk mendiskusikan dan kerjasama yang tentu saja continuity.

Hal ini bisa di analisa oleh pihak sekolah dengan menawarkan hal serupa, yang justru lebih menarik dan positif. Merubah image warnet menjadi warbuk (warung buku) di lingkungan sekolah bisa menjadikan daya tarik pada murid untuk bisa betah dan mengkonsumsi (membaca) banyak buku seperti halnya mereka berlama-lama di internet. Jika hal ini sudah diterapkan pada sekolah, maka sekolah itu sendiri tinggal menyiasati buku-buku apa saja yang bisa menarik perhatian siswa. Sekolah bisa merumuskan itu dari mulai judul buku, isi buku, sampul buku yang ekspresif sampai buku pelajaran yang di desain oleh banyak penerbit yang lebih inovatif dan menarik.

Pengelolaan Perpustakaan
Setiap sekolah mestinya ada sebuah perpustakaan yang bisa menopang kualitas belajar siswa. Namun sampai saat ini kabar miris terdengar bahwa perpustakaan sangat jarang sekali dikunjungi para siswa. Apa yang salah dari kabar ini salah satunya image perpustakaan itu sendiri menurut sebagian siswa menjenuhkan. Isinya cuma buku tentang pelajaran yang tidak sama sekali menarik perhatian siswa.

Inilah yang saya katakan tadi, Warbuk harus dioptimalkan dan ditampilkan sesuai menu bacaan siswa yang tadinya menjenuhkan menjadi sesuatu yang candu. Pengelola perpustakaan harus senantiasa menawarkan tata letak yang unik dan menyediakan berbagai buku diluar pelajaran juga. Ambil contoh buku-buku cerita, motifasi, sains dan teknologi, cerpen, novel ringan, bacaan olahraga sampai buku yang sangat trend sekalipun.

Namun, kendala yang nyaring dari sekolah sendiri ada pada pendanaan untuk pengadaan buku-buku tersebut. Karena sekolah tidak menjamin dengan budget mereka yang khusus dikeluarkan untuk sekedar belanja buku-buku semacam itu. Ada baiknya pihak sekolah bekerja sama dengan para intansi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkaitan dengan pembangunan karakter siswa dengan membaca. Sekolah juga bisa mengajukan proposal pengadaan buku pada pemerintah setempat atau penerbit yang menyediakan buku-buku bekas layak pakai yang bisa di manfaatkan sekolah untuk kemajuan siswa.

Sikap Orangtua
Bagaimanapun kesibukan yang dijalani orangtua, yang berprofesi sebagai pedagang, buruh pabrik atau pegawai negeri sekalipun, hendaknya lebih bisa mengontrol gerak-gerik anaknya. Bagaimana prilaku sang anak, dengan siapa dia bergaul, kemana saja dia bermain harus bisa di monitor oleh orangtua, karena pendidik setelah guru untuk anak yakni orangtuanya sendiri.

Orangtua bisa mengontrol bagaimana sang anak menghabiskan uang jajannya, dan justru harus mencegah jika seluruh jatah jajan yang diberikan orangtua, dihabiskan sekejap oleh anak hanya untuk pergi ke warnet. Ini adalah salah satu candu yang sangat buruk, karena nantinya pada saat anak sudah terbiasa melakukan hal semacam itu, ia bisa lupa waktu dan bisa melupakan apapun. Kasus yang terjadi pada sekarang ini misalnya, anak pergi dari rumah untuk sekolah, namun di tengah jalan ia malah pergi ke warnet.

Inilah yang seharusnya orangtua prihatinkan, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. sikap orangtua seharusnya tidak egois yang bisanya hanya mementingkan diri sendiri dan pekerjaan, sementara sang anak terlanjur begitu saja dimakan zaman yang serba absurd dan fana ini. Maka dari itu, mulai sekarang marilah kita lebih melek pada keadaan sekitar, pada apa yang terjadi pada kita dan lingkungan kita sendiri. Karena mulai dari diri kitalah orang lain bisa berubah. Terutama pada generasi kita, pada anak-anak kita yang akan datang.

Sebetulnya banyak cara agar kehidupan dan keberlangsungan peningkatan kecerdasan anak sekolah bisa tercapai. Justru sebaliknya, bagaimana kita sendiri menyikapi dan menyiasati cara mencari jalan keluarnya. Bravo pendidikan Indonesia !


* Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Label:

Senin, 14 Februari 2011

Pemanjat Jambu

SUATU SORE yang cerah dan berisik dengan suara anak-anak pengajian. Di teras rumah saya, mereka sedang bermain macam-macam. Bermain karet dan berloncatan. Bermain sembunyi-sembunyian dan bermain banyak sesame teman mereka. Jumlah mereka lumayan banyak sekitar lima belas orang. Ada Renan, ada Ude dan banyak lagi anak-anak yang saya tidak tahu namanya yang berjenis kelamin pria dan wanita tentunya.

Saya melihat mereka di balik jendela rumah yang kebetulan pas sekali di depan mata saya. Cuma saja mereka tidak tahu bahwa saya sedang melihat ke arah mereka. Karena ada gordin yang transparan yang menghalangi saya dan mereka dan Cuma saya saja yang bias melihat mereka sedang ngapain.

Di daerah sekitar rumah saya terdapat empat warung yang lumayan bias dijangkau. Boleh dikatakan warung-warung itu berdekatan satu sama lain. Saya mulai beranjak dari kursi dan keluar menghampiri mereka. Sedikit saja saya berbasabasi sama mereka namun tidak mengganggu keceriaan mereka.

“saha anu haying kaleci sakarung? (siapa yang mau kelereng sekarung?)” Tanya saya.

“wah bohong keur itu ge rek mere satreuk heunteu wae.” (bohong, dulu juga mau ngasih satu truk sampai sekarang belum di kasih juga). Ini yang jawab namanya Gilang.

“heueuh si a Ade mah ongkohna rek mere sadreum bohong ah.” Itu Jajang juga jawab. Kalo di Indonesiakan jadi (iya, a Ade mah suka bohong katanya mau ngasih kelereng satu drum)

“eh, kan kaleci na oge keur di pabrikna keneh, ke we taun 2012 kakara di bagikeun.” Jawab saya. (iya, kan kelerengnya juga masih di pabrik entarlah tahun 2012 baru saya kasih).

“huuuuuuhhhhh, lila lila teuing (huh lama banget).” Siapa yang ngomong itu lupa saya.

Mereka kembali bermain dengan teman-temannya. Namun lihatlah diantara mereka ada yang berlari menuju teras sebelah kiri pojok. Mereka menyerbu pohon jambu yang setiap harinya adalah makanan sehari-hari mereka. Iya, betul sekali, tiap hari pasti anak-anak dating ke teras hanya untuk manjat pohon jambu tanpa bilang-bilang dulu sama yang punyanya. Padahal saya sendiri jarang sekali manjat itu pohon.

“Ude…Ude.” Saya panggil Ude, dia kira-kira berumur sepuluhan lah.

“pang meulikeun rooko Super ka si Awan (tolong beliin rokok ke waring si Awan).” Perintah saya sama dia. Warung si Awan ada mungkin tiga puluh meter dari rumah saya, dan terhalang sama dua rumah. Saya kasih uang seribu sama Ude. Dia pun segera pergi dan cepat kembali memberikan rokok itu sama saya.

“angsulana jang Ude (kembaliannya buat Ude).” Kata saya.

“uh ngan dua ratus (uh Cuma dua ratus).” Kata dia sedikit gimana gitu.

“kan dibere jambu (kan saya kasih jambu).” Saya lagi.

Si Ude tidak banyak protes. Langsung saja dia melanjutkan aksinya memanjat pohon jambu sekaligus membabad habis itu jambu. Anak yang lain yang tidak bisa memanjat pada teriak meminta pesanan jambu juga sama Ude. Satu persatu Ude melempar jambu sama teman-temannya. Saya juga panggil Renan, kebetulan dia lagi di bawah pohon juga.

“nan kadieu nan (nan sini nan).” saya panggil dia. Renan menghampiri.

‘pang meserkeun rokoo jarum cokelat ka si Budi (tolong beliin rokok Djarum Cokelat ke warung si Budi).’ Kata saya lagi, Renan juga langsung pergi dan tak lupa kembali. Warung si Budi sebenarnya bukan warung dia. Itu warung punya bu Lilis yang dijagain sama si Budi. Warung si budi kira-kira ada lah lima puluh meteran mah dari rumah saya. Dan Renan pun segera kembali membawa sebatang rokok yang saya suruh. Dan mengasihkan pada saya tentunya.

candak weh angsulna nan (ambil aja kembaliannya nan).’ Kata saya juga dong.

Renan juga tidak banyak komentar. Dia mengambil uang kembaliannya yang emapt ratus perak itu. Karena harga sebatang Djarum Cokelat hanya enam ratus rupiah. Saya kan kasih uang sama dia seribu juga jadi wajar dong kalo uang kembaliannya empat ratus. Tapi saya tidak tahu Renan menggerutu apa tidak seperti halnya si Ude. Dia kan bilang “nuhun.” Sama saya.

lama berselang, saya juga panggil Gilang yang juga kebetulan masih di area teras rumah saya. Oh rupanya Gilang sedang manjat pohon juga. Tadinya dia saya mau suruh juga beliin rokok ke warung yang lainnya. Tapi gak mungkin lah kasihan dia kalo suruh saya turun dulu. Ya sudah saya panggil saja itu si Deva.

“pa kadieu pa (pa sini pa).” Panggil saya. Perlu diinget lho, sebenarnya namanya itu pake ‘V’ bukan pake ‘P’. Deva bukan Depa. Tapi saya emang begitu manggilnya Depa bukan Deva. Habis lidah saya lidah sunda sih, jadi aja rada ribet kalo panggil dia Deva.

Deva pun menghampiri. Anak-anak yang lain melihat saya sambil berceletuk apaan ketika Deva berjalan menuju saya. “hahaha, pasti rek dititah ka warung deui (pasti mau disuruh ke warung lagi).” Ini yang ngomong juga siapa sih saya kok gak kenal suara ini. Tapi Deva tetap menghampiri saya walau dia punya firasat bahwa dia juga kebagian buat saya suruh ke warung. Di kuping kiri saya sekarang terselip rokok Djarum dan kuping kanan Super.

“pa, pang meserkeun rokoo sampurna kretek ka mang Ateng nya (tolong beliin rokok Sampeorna Kretek ke warung mang Ateng ya).” Goda saya. Deva mengangguk dan terus meluncur.

Warung mang Ateng juga dekat kok, sekitar empat puluh lima meteran lah kurang lebih. Malahan itu warung bertetanggaan sama warungnya si Budi. Paling dalam waktu beberapa detik si Deva bakal kembali lagi ke sini bersama rokok yang saya pesan tadi. Yes, akhirnya Deva kembali juga. Dia ngasih saya rokok. Saya kasih dia uang kembaliannya.

“sabaraha angsulna pa? (berapa kembaliannya Va?)” tanya saya.

‘pat ratus (empat ratus).’ Jawabnya tenang.

‘nuhun nya (makasih ya).’ Ini saya yang ngomong.

Deva tidak membalas perkataan terima kasih saya. Dia langsung kembali menuju habitatnya yang sedang menunggu jambu-jambu itu jatuh pada tangannya. Sekarang tinggal satu warung lagi yang belum terbeli oleh saya. Satu warung yang paling dekat dengan rumah saya. Jaraknya sekitar berapa ya… yang penting ini warung terdekat yang pernah saya lihat dan rasakan.

Nah, ada si Andre baru dating rupanya. Rambutnya masih basah, mugnkin dia baru mandi. Ah, langsung saja saya panggil dia. Satu persatu dia naiki tangga rumah dan menghampiri saya. Asla kamu tahu aja ya, ini si Andre adalah langganan saya jika saya mau suruh beli ini beli itu. Dan asal tahu aja anak-anak di sini gak ada ongkos kadang gak mau untuk disuruh. Tapi ada juga yang rela dan ikhlas tanpa ada imbalan apapun.

‘’Dre pang meulikeun hela rokoo ka ceu Enih (beliin dulu saya rokok ke warung ceu Enih Dre).’’ Kata saya tak lupa ngasih uang seribu juga dari saku.

‘rokoo naon ? (rokok apa ?)’ Tanya si Andre.

‘samsu (Dji Sam Soe).’ Jawab saya.

Lagi dan lagi, Andre pun melangkah begitu cepat ke warung ceu Enih. Asal kamu tahu aja, dulu di warung ceu Enih ada burung beo nya lho, jadi kalo ada yang beli itu si burung suka meniru apa yang si pembeli katakana. Tapi sekarang di warung itu sudah tidak ada lagi burungnya entah kemana itu burung saya tidak tahu lah. Males kalo saya tanya sama ceu Enih soal burung itu. Akhirnya si Andre ngasih saya rokok juga tapi kali ini kayaknya tidak ada uang kembalian buat dia.

“kela Dre dagoan (bentar Dre tunggu).” Saya masuk dulu rumah nyari beberapa kue sisa lebaran yang masih ada di keler. Wah, kue apaan ni namanya. Ya sudah saya kasih sama dia. Tak lupa juga saya kasih sama anak-anak yang ada khususnya yang tadi saya suruh beli ke empat warung itu.


Sambil memakan jambu dan berbicara tentang mainan. Anak-anak itu juga terlihat gembira. Seolah-olah tidak punya masalah apa-apa. Dari mulai ngomongin Rubik, tau kan mainan yang kotak berwarna warni itu, sampai game online Point Blank yang menjadi trend di kancah game anak-anak jaman sekarang.

Dan sekarang saya punya empat batang rokok yang beragam merk dari beragam warung. Ini setidaknya saya sudah berinteraksi dan berbagi rezeki kepada empat warung dan keempat anak itu walaupun tak seberapa lah nilainya yang penting ada proses bahwa manusia itu adalah mahluk yang social, yang tidak bias hidup tanpa orang lain. Waduh jadi so gini ini pembicaraan kaya yang betul aja ya.

Oh, lihatlah itu ada teh Nia, dia baru dating rupanya. Ini artinya anak-anak harus lekas masuk masjid dan mulai belajar mengaji. Iya beginilah setiap hari yang waktunya sore setelah Ashar, suka banyak anak-anak dari berbagai kalangan dan berbagai silsilah juga, suku juga. Mereka tetap bersatu mencari ilmu dalam satu tempat yang mudah-mudahan menjadi berkah buat semuanya. Ya sudahlah selamat belajar ya anak-anak, semoga engkau menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi nusa bangsa dan agama.


-Diketik Pake Komputer Pentium III Pada September 2010-Tulisan ini saya dedikasikan buat Ane Lilananda sebagai utang saya ketika kalah taruhan Final Piala Dunia 2010.

Label:

Kencan Terlarang

UNTUK MENJAGA nama baik, saya sebut saja gadis itu Ami, walaupum nama itu hampir mendekati aslinya. Dia adalah perempuan manis dan cantik, sekarang kelas tiga di salah satu sekolah dekat Balai Kota. SMK I Negeri Bandung jurusan Pariwisata. Mungkin dia kelahiran tahun 93’an. Bodinya ramping, senyumnya menyungging khas, kulitnya putih, mata agak sipit mirip orang Jepang. Saya kenal dia beberapa minggu yang lalu setelah dia resmi jadi murid saya di tempat les.

Selain cantik dan lucu, Ami orangnya cerdas sekali. Bijaksana juga lembut. Saya sering diberi petuah-petuah bijaknya. Orangnya dewasa. Dia pintar berbahasa. Inggris oke, Jepang lumayan, Perancis juga, maklum di sekolahnya terdapat berbagai bahasa yang ia pelajari.
Di tempat les yang saya ajar, Ami sangat menonjol, jauh dengan teman-teman lainnya. Kalo ditanya oleh saya, dia suka jawab dengan cepat tepat tangkas, terkadang nyerocos jawab ini itu. Saya salut sama dia. Udah cakep pintar lagi.

Kedekatan saya sama dia dimulai dari SMS gombal saya yang sering diluncurkan padanya. Segala macam stimulus, saya lontarkan padanya, dan ternyata responnya asik juga. Ternyata Ami suka geer kalo saya SMS yang gombal-gombal. Dari situlah dia sering membangunkan saya pagi-pagi sekali. Dan dilanjut dengan curhat masing-masing. Ngobrol kesana kemari.

“kaka bangun, awas lo ntar kesiangan lesnya,” tegasnya.
“iya… dari tadi juga udah bangun,” pura-pura saya.
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Ya, seperti itulah, hampir setiap hari saya dibangunin sama dia. Dan terkadang saya juga yang bangunin dia walau dia udah bangun duluan. Dan obrolan pun berlanjut ke masalah pribadi. Dan ternyata dia sudah punya pacar. Namanya, hmm… sebut saja Ari. Kata Ami, pacarnya kerja di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Sebagai pengatur gizi katanya.

Suatu hari Ami minta dianter sama saya ke kantor imigrasi. Katanya ada tugas dari sekolahnya. Saya menyanggupinya. Dia senang mendengar saya mau menemaninya. Tapi setelah mau berangkat, saya mendadak membatalkannya. Dia pergi sendiri. Dia marah, mungkin kecewa.

Pertemuan saya sama Ami hanya seminggu sekali. Sesuai jadwal les saja. Kini giliran saya yang ajak dia jalan. Namun saya Cuma bercanda saja ajakin dia. Tapi dia nganggapnya serius.

“besok pulang les kita jalan yuk!”
“ayo, kemana?” tanyanya semangat.
“kemana ya, bingung aku juga, kemana dong, nonton gimana?”
“hmm, gak terlalu suka nonton.”
“yaaa, kemata atuh?”
“ke taman Ganesha aja, asyik kayaknya.”
“mending ke Kebun Binatang aja, gimana?”
“hehe… mau nengok keluarga ya ka. Haha….”
“huh, enak aja, kan mau nengok keluarga kamu.” Bales saya.
“ih, nyebelin. Ya udah besok ya. Awas kalo mendadak gak jadi lagi.”
“iya, insya Alloh.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”
“klik”

Minggu 23 Mei adalah jadwal ujian tengah periode di tempat les saya. Seperti biasa, sehabis Shubuh saya dan Ami ngobrol lewat kabel telefon ngalor ngidul. Tak lupa ngingetin saya supaya jangan telat ngajar. Dia juga terus menerus ngingetin saya tentang jalan-jalan ke Kebun Binatang itu.

Alhamdulillah kali ini saya tidak terlalu telat. Datang tepat waktu. Saya langsung mulai masuk kelas. Dan menyarankan sama anak-anak supaya tutup buku dan mulai untuk ujian. Di kelas, saya mencoba professional sekali. Saya anggap semua murid rata. Baik dari perhatian sampai penilaian. Saya berusaha adil seobjektif mungkin. Sampai-sampai beberapa murid bilang saya jutek kalo di kelas.

Anak-anak sudah pada beres ngisi soal ujian. Masing-masing pergi pamit dari tempat les. Saya langsung saja melangkah ke tempat komputer, pura-pura lupa kalo hari itu ada janji untuk jalan-jalan ke Kebun Binatang bareng Ami. Tiba-tiba Ami SMS.

“gag jadi? aku pulang aja!!!” nadanya kesal.
“iya, maafin aku ya,” kata saya hanya gitu.

Dia gak bales lagi. Mungkin kesal mungkin juga marah. Sudah dua kali saya buat dia bete. Saya coba SMS dia beberapa kali. Saya terus goda dan rayu dia. Ya, dengan gombal-gombalan lagi. Namun tak ada sahutan. Saya hanya senyum saja melihat dan membayangkan kelakuannya.

Malam harinya hape saya bunyi. Saya tahu itu SMS dari dia. Ringtonenya khas soalnya. Dia ngajakin saya hari senin untuk ke Taman Pahlawan. Katanya mau ngasih makan ikan yang ada di taman itu. Saya mengiyakan menyetujuinya. Walau saya tahu itu hanya basa-basinya saja. Saya mikir kali ini saya tidak boleh bikin dia bete lagi.

“jam berapa?”
“jam satuan lah,” jawabnya.
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Hari senin pun tiba. Saya berniat untuk ke sana ke Taman Pahlawan itu. Sebelum dzuhur saya sudah berangkat. Gak bawa motor kali ini. Memang rasanya agak beda sekali kalo mau bepergian gak ada kendaraan sendiri. Tapi gak apa-apa, Ami orangnya gak neko-neko. Dia orangnya apa adanya, gak seperti gadis lain yang ingin selalu dibonceng pake motor jika mau bepergian, terutama kencan.

“kaka lagi dimana?”
“di angkot, kamu dimana gitu?”
“di depan tempat les.”
“iya, bentar lagi nyampe.”
“klik”

Hari panas sekali. Jalanan begitu gersang macet sana sini. Supir angkotnya ngeyel sekali. Tiap gang pasti dia ngetem. Saya kesal dan gondok minta ampun. Penumpang lain juga kayanya begitu. Raut mukanya memunculkan aura negatif. Terutama si ibu yang sedang gendong bayi. Kasihan sekali dia, anaknya kepanasan. Saya suka mendehem atau kadang membuat suara gaduh yang saya buat dari kaki saya yang diadu-adukan ke lantai angkot.

Saya sudah sampai di Cicaheum. Lalu nyebrang ke sebuah gang, yang mana dekat gang itu saya sama Ami janjian dekat tempat les yang biasa kita jumpai tiap minggunya. Saya berjalan dengan tegapnya dari kejauhan, saya lihat samar-samar gadis berseragam putih-abu yang tak asing lagi. Di kupingnya menggantung sebuah headset. Dia sepertinya sedang mendengarkan beberapa lagu di hapenya. Saya hampiri gadis itu. Betul saja Ami rela menunggu begitu saja. Saya senyumi dia dengan senyum Ababil. Kalian tahu senyum Ababil? Pasti gak deh.

“ih kayak anak ilang deh duduk disini, hehe”
“biarin aja kan lagi dengerin lagu sambil nunggu,” tukasnya.
“kenapa gak nunggu di tempat les aja atuh.”
“gak ah malu.”
“ke situ dulu yuk bentar,” ajak saya ke tempat les.

Saya dan dia jalan menuju tempat les biasa. Gak ada siapa-siapa, hanya ada Huda dan seorang gadis siapa itu ih saya baru lihat. Mungkin ceweknya Huda. Oh, iya deh kalo begitu. Saya cuma mau ke air. Sekalian mau sholat dhuhur. Dan ternyata gak ada mukena di situ ya sudah saya jalan lagi sama Ami ke mesjid yang dekat. Dan eh ternyata mesjidnya dikunci. Sial !

“sholat di sana aja yuk!” saya ajak dia. Maksud di sana itu ya, di deket taman.
“ada gitu?”
“ya pasti ada atuh.”
“hayu deh.”

Sekarang saya jalan berdua sama Ami. Yang satu pake baju metal. Yang satu pake seragam. Mirip seorang laki-laki yang sedang mengantar atau menjemput siapaaaaa gitu. Tapi biarin ya gak apa-apa gak akan ada yang melarang.

“nyebrang yuk!”
“ih, kaka kalo nyebrang di zebra cross.”
“kenapa gitu?”
“iya, biar kita di lindungi undang-undang.”
“oh, hehehe.”

Dia terus saja ngomel sana sini. Tapi betul juga, apa yang dikatakannya emang benar. Kita harus menaati peraturan yang dicanangkan petugas lalu lintas. Apapun itu bentuknya. Seperti membawa surat-surat ketika bepergian. Memakai helm dan ini dan itu.

Lihatlah saya sudah naik angkot, Ami juga. Kita duduk bersebelahan. Naik angkot Caheum-Ledeng. Penumpangnya kali ini tak seramai angkot tadi. Lalu saya lihat hape Ami. Mau saya razia apapun. Saya lihat-lihat fotonya. Ih, lucu-lucu, imut-imut, manis-manis. Sampai dia nawarin saya menyimpannya lewat Bluetooth. Oke saya mau tapi nanti.

Saya buka folder lainnya lagi. Hahay ketemu. Ada foto dia juga bareng cowoknya. Wow, ternyata lumayan ganteng juga ya pacarnya. Putih pula, pokoknya serasi lah sama dia. Saya senyum-senyum saja melihatnya. Sambil nanya ini foto dimana dan sebagainya. Dia juga jawab di sini di situ dan sebagainya.

“kiri ! ‘’

Ami teriak begitu tepat di perempatan jalan Pahlawan. Dia turun lebih dulu. Eh, malah dia yang bayar ongkosnya. Aduh kenapa dia tidak berdiskusi dulu sama saya. Padahal dalam peraturan kencan berkencan cowok itu yang harus bayar apa-apanya. Ya sudah pulangnya saja saya bayarin ya. Saya kira-kira begitu bicara sama dia.

“nyebrang?” saya Tanya.
“iya, ayu!”

Kita berdua nyebrang. Saya raih tangannya saat nyebrang dan melepaskannya ketika acara nyebrangnya selesai. Lalu berjalan ke trotoar dan sebentar lagi akan nyebrang lagi dan betul saja benar-benar nyebrang lagi.

“mau kemana?” saya yang tanya.
“ke tempat jualan ikan. Beli makanan ikan.”
“oh.”

Saya ambil lagi tangannya saat nyebrang. Mirip adegan si Rangga yang pegang tangan si Cinta di film AADC kamu tahu? Itu saya lihat saat saya SMA. Di sebuah VCD bajakan bukan di bioskop. Ya, bukan di bioskop. Hey, apa kabar bioskop.

Setelah beli makanan ikan ternyata ada adegan nyebrang lagi. Otomatis saya raih tangannya lagi. Tapi kali ini setelah nyebrangnya selesai, Ami tidak melepaskan tangan saya. Hanya menyisakan jari tengah saya yang di pegang oleh jari-jarinya yang lain.

Kita berdua menyusuri trotoar yang agak sejuk di jalan Pahlawan. Di pinggir-pinggir terlihat orang pada istirahat. Mereka sepertinya anak kuliah.

“itu mahasiswa Itenas. Nah itu jalan masuknya (pintu gerbangya) yang kedua” Kata Ami.
“oh,” saya mengangguk.
“nah itu kafe Selasih.”
“oooooh,” saya manggut-manggut. Eits, tangan saya masih menempel di sela jari-jarinya.
“apalagi kalo sore suka banyak orang disini. Banyak yang pacaran.”
“sama Ari suka ke sini gak?” kata saya.
“gak, dia mah suka sibuk sendiri.” Jawab dia kecut.
“hmm… kalo Ari tau kita lagi jalan gimana?”
“gak bakal, dia mah gak suka keluar orangnya.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Kita terus menyusuri jalanan Pahlawan (kitaaa, elo aja kali). Lumayan juga ternyata bikin capek ya kalo jalan kaki. Apalagi terik matahari begitu menyayat ulu hati. Dahaga tiba tiba berdegup memanggil saya untuk melakukan sesuatu. Saya pun bergegas nyebrang lagi ke arah kanan. Pergi ke sebuah warung untuk beli ini dan itu.

“mau beli apa?” Tanya saya. Dia masih di seberang.
“gak mau apa-apa,” jawab dia sambil ikut nyebrang.
“ih, cepetan mau beli apa, ini mau?” kata saya nawarin sebuah minuman.
“hmmmm…” itu suara dia dibubuhi gelengan kepalanya.
“kalo ini?” saya tawarin yang lain.
“enggak kaka, aku udah bawa minuman.”
“oh, ya udah.”

Tapi saya beli satu botol minuman apa lupa lagi. Yang penting sari buah jeruk dan dingin. Beli dua buah TimTam dan empat buah kue wafer yang lainnya. Namun agak aneh juga sih, biasanya cewek tuh suka minta dibeliin apa-apa sama cowok, tap Ami itu orangnya gak neko-neko seperti yang saya sebutin tadi. Oh, saya juga beli rokok satu bungkus.

“kaka ngapain beli makanan, aku juga bawa nih makanan mah.” Oh, dia sudah persiapan.
“ih, gak tau kirain teh gak bawa, biarinlah biar banyak.”
“kaka, kalo minum teh sambil duduk,” itu yang bicara Ami ketika saya minum air itu.
“oh, iya iya bu haji, hehe, maafin atuh.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”
Akhirnya sampai juga di Taman Pahlawan yang banyak makamnya itu. Sepertinya kuburan para pahlawan dari berbagai bidang dan angkatan. Dan di situ juga ada kolamnya. Airnya hijau pekat namun ikannya banyak sekali. Ada juga orang lain yang sedang nongkrong. Malahan ada sepasang anak SMP yang sedang apa duduk berdua begitu dekat pagar. Mungkin mereka sedang menghafal atau diskusi pelajaran. Terserah mereka yang penting saya husnudon.

Tapi ternyata saya ajak Ami ke mesjid dulu. Kebetulan mesjid dekat sekali dengan Taman. Cukup dengan jalan kaki aja. Eitssss, dia memasukan tanganya ke tangan kiri saya. Sepertinya dia takut terjatuh makanya dia pegangan. Terserah dialah yang penting saya husnudon.

Ow, sejuk juga ternyata ya di mesjid. Saya duduk saja di terasnya, Ami juga sambil membuka sepatunya. Saya tidak karena pake sandal, lalu saya menasehatinya untuk sholat duluan. Maksud saya buka menasehati tapi menyarankan. Benar saja saran saya dia penuhi. Dia bergegas pergi wudhu. Dan saya mulai membuka bungkus rokok dan membakarnya. Iya, membakar rokok lalu dihisap, lalu dibuang lagi ke udara. Aneh !

Satu batang rokok sudah habis. Saya melirik ke belakang ke arah mesjid. Hey, dia sudah beres sholatnya. Dia lagi mau pake kerudung. Hey, ya Alloh dia manis sekali, lucu sekali, cantik sekali. Rambutnya poni kecil gitu, aih dia tersenyum pada saya. Rupanya senyumnya itu harus dibalas. Saya kasih dia senyum Ababil lagi. Kamu masih belum tahu apa itu senyum Ababil? Ya sudah gak apa-apa.

Giliran saya yang sholat. Tak lupa ambil wudhu. Seperti biasa, surat Al-Ikhlas dan An-Nas saya baca dalam sholat. Itu merupakan surat favorit saya, mungkin kamu juga. Iya kan? Ngaku aja deh.

Saya lalu keluar menghampirinya. Hey, dia sedang membetulkan posisi kerudungnya. Rupanya dia juga bawa cermin. Saya lalu duduk di sebelahnya. Dia lalu membuka makanan yang saya beli, dia juga mengeluarkan makanan yang dia bawa. Gak jauh beda sebangsa kue dan wafer dia bawa. Dan di pinggir saya juga kira-kira 10 meter ada dua cowok yang sedang ngobrol. Saya tebak mereka adalah mahasiswa LP3I. terserah, siapa mereka yang penting saya husnudon.

Hey, dia buka tas saya. Kebetulan saya bawa hasil ujian yang kemarin. Saya suruh saja dia yang periksa. Lalu saya? Ya itu, saya pinjem hape dia lagi.
“ih, dasar pemalas, belum diperiksa ya hasil ujiannya?”
“sengaja biar kamu yang periksa, eh, mau facebookan dong,” apologi saya.
“iya sok aja.”

Wow, dia melonjorkan kakinya dan punggungnya di tempel ke dinding teras mesjid. Saya lalu rubah posisi duduk menjadi tiduran. Lihat, saya tiduran di pahanya. Aih, dia gak komplen. Diem aja gak bergerak padahal kan saya berat. Dia enjoy saja meriksa soal. Saya enjoy saja maen facebookan. Uh, rumit juga hapenya gimana cara maeninnya. Maklum saya agak gaptek. Wow, kalian harus tahu rasanya seperti pake bantal yang mahal yang terbuat bukan dari busa tapi dari daging asli. No comment!

“kaka lihat ini nomor empat betul gak?”
“punya siapa itu?”
“punya teh Nita,”
“coba lihat, oh itu salah.”
“salahin aja?”
“iya, salahin aja. Kalo yang benar ceklis aja.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Hasil ujian sudah beres diperiksa. Hari mulai teduh. Saaatnya ke pokok persoalan yaitu pergi ke Taman yang ada kolamnya. Saya pun pergi meninggalkan mesjid, otomatis Ami juga sambil bawa kresek berisi sampah bekas bungkus kue-kue. Niatnya mau dibuang ke tempat sampah.

Hey, lihat lagi tangannya nempel lagi di tangan saya. Wah, ternyata sudah banyak orang di taman. Banyak yang pacaran pula. Banyak yang lihatin ikan juga. Ami ajak saya ke tempat yang paling pojok dan mengeluarkan dua bungkus makanan ikan yang tadi beli. Lalu melemparnya ke kolam.

Betul saja, ikannya pada datang setelah Ami lempar makanan ikannya. Saya juga mau coba lempar. Iya, ikannya semakin banyak berkumpul di atas kami. Wah, indah sekali. Lihat di sebelah situ, orang-orang pada lihatin kita berdua. Mungkin mereka menganggap kita berdua adalah petugas pemberi makan ikan di situ. Mungkin juga mereka ingin dikasih makanan ikan oleh kami. Biarinlah terserah mereka anggap kami apa, yang penting saya husnudon.

Hari terus berlalu semakin sore. Orang juga pada bertambah. Makanan ikan sudah habis dua bungkus. Di sana saya dan Ami mulai membuka diri curhat satu sama lain lagi. Dia cerita tentang berbagai hal. Seperti halnya seorang perempuan curhat. Lalu saya? Iya, sekedar ngasih komentar saja. Hey, lihatlah dia menguraikan lengan seragamnya mau apakah dia?

“kaka lihat, tangan yang cubit kemarin membekas tau, si mamah juga sempat nanya ini kenapa katanya, ya udah aku jawab di cubit, terus si mamah nyuruh aku nyubit lagi.”
“aduh, ampe merah gitu, aduh, maafin aku ya…ya…ya… hehe.”
“udah ya jangan nyubit lagi, sakit tau.”
“hahahahaha.”
“ih malah ketawa!”
“iya, inya Alloh, haha.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Saya sepakat untuk meninggalkan taman. Pokoknya acara memberi makan ikannya sudah beres. Lalu saya ajak Ami keluar area taman. Dan pergi ke sebalah sana, ke sebuah pedagang molen yang imut kecil dan lucu tepat di depan taman. Lalu kita kemana? Betul sekali, kita duduk sejenak di dekat tukang molen itu dan lalu saya ajak Ami ke gor C-tra arena yang tak jauh dari situ. Mau ngapain?

“ke gor C-tra yuk mungkin ada pertandingan,” ajak saya.
“gak ada sekarang mah, ntar tuh bulan Juni ada acara Pensi anak ICB,” sahutnya.
“Juni?”
“iya, kan adik aku sekolah di sana, ntar ada Vierra lho bintang tamunya.”
“ya udah ke sana aja, tau tau ada apa gitu!”
“hayu atuh.”

Lihatlah lagi, saya sedang berjalan berdua dengan gadis berseragam putih abu. Lihatlah juga, tangannya menempel lagi di tangan saya. Aih, hari ini begitu banyak yang menempel. Di angkot misalnya, di kaca belakangnya ditempelin foster Andi Malarangeng berkumis tebal, dia kan nyalonin jadi ketua Partai Demokrat, namun sayang kalah di putaran pertama. Oh, kasihan sekali pasti Andi bakal cukur kumis kayaknya atau mungkin dia bakal sujud syukur karena tidak terpilih. Kalo terpilihkan kasihan Andi bakal menanggung beban berat partai yang begitu besar. Terserah Andi lah yang penting saya husnudon.

Oke. Memang betul gak ada pertandingan apapun di gor itu. Tapi biarin saya pengen ke situ duduk-duduk dan apa-apa di sana. Lho, kok ada tukang baso tahu di situ, di dekat pintu masuk gor. Biar saya tawarin Ami, dia mau gak saya kasih baso tahu. Abis, saya tawarin dia apa-apa selalu saja gak mau. Padahal saya ingin sekali makan itu baso tahu. Sudah beberapa bulan saya gak memakannya.

“mau baso tahu gak?”
“hmmm…” dia bersuara gitu lagi, dibubuhi gelengan kepala lagi.
“mang, bikin dua mang,” saya panggil si mang.
“ih, kaka!”
“udah jangan komplen.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Adalah saya yang sedang duduk di teras depan gor. Melihat anak-anak yang sedang main futsal kecil-kecilan. Ami juga duduk di samping saya. Dan masing-masing sedang pegang sepiring baso tahu. Lalu saya merubah duduk sedikit memutar badan menghadap dia. Ami lalu ambil tas saya. Giliran dia yang razia tas. Dia ambil buku berwarna hijau. Dia Tanya buku apaan. Saya jawab buku diary saya. Dia jawab “oh”. Dia buka-buka buku itu. Untung saja tidak baca secara detail.

Dia juga razia hape saya. Tapi saya tidak mau. Dia berdecak “ih licik sendiri” ke saya. Biarin lah saya orangnya emang ingin licik untuk hari itu. Oh, lalu saya makan baso tahu lagi. Dia juga makan baso tahu lagi. Lalu saya ambil sepotong kentang yang ada di piring saya. Lalu saya tawarin dia untuk memakan kentang itu. Dan lalu dia memakannya. Oh yeah, saya mirip seorang ibu yang sedang nyuapin anaknya. Gak apa-apa kan yang penting saya apa? Husnudon dong.

Wow, hari mulai menyore. Saya ajak dia untuk pulang saja. Tapi hape saya bunyi, ada SMS rupanya. Oh, dia, gadis yang lain yang nanyain buku pesanannya. Saya jawab saja sesuai topik SMS yang dia kirim ke saya.

“tau Rumah Buku gak?” saya tanya ke Ami.
“iya tau, itu deket Togamas, murah-murah lho di sana.”
“iya tau.”
“mau apa gitu?”
“aku mu beli buku.”
“ya udah bareng aja, deket kok sama rumah aku.”
“yeeee… bagus atuh, hayu ah sekarang.”
“hayu!”

Hal yang wajib saya lakukan sebelum saya pergi adalah mengasih uang sama si mang tukang baso tahu. Terus saya naik angkot jurusan apa lupa lagi sampai ke perempatan jalan Cikutra. Lalu naik angkot Ledeng yang menuju rumah Ami pulang dan sekaligus menuju Rumah Buku.

Waduh, lihat dan dengarlah hari ini saya nobatkan sebagai hari nempel sedunia. Apakah yang terjadi sama Ami sehingga dia terus menempelkan tangannya ke tangan saya. Padahal kalo mau jujur saya gak pernah membalurkan lem apapun ke tangan saya. Apalagi menempelkannya semakin erat saja. Padahal saya gak akan kabur.

Dan sekarang dengarlah, Ami menyuruh si mang supir supaya berhenti, tepat di jalan apa saya benar-benar lupa lagi, oh iya, Cisokan. Dia pamit ke saya. Dia turun dari angkot. Dia mau bayar ongkos, tapi saya teriak hanya sedikit bahwa saya saja yang bayarin dia ongkosnya. Lalu Ami menghilang. Lalu angkot melaju. Yeah, lihatlah lagi Ami melambaikan tangannya ke saya. Oh, sekarang saya ingin beri dia senyum lagi tapi bukan senyum Ababil, yakni senyum Perancis. Dan maaf saja kalian gak usah tahu apa itu senyum Perancis, karena saya juga hanya mengarang saja.

Oh Ami, terima kasih untuk hari itu. Karena kamu telah membuat saya tahu bahwa di Taman Pahlwan itu ada kolam ikannya. Oh, Ari maafkan saya, saya gak berniat untuk mencuri kekasihmu yang baik hati dan keren abis itu. Jujur, saya gak akan berniat mencurinya darimu. Perlu kau tahu Ari, saya hanya ingin merasakan bagaimana hal itu terjadi pada saya. Dan ternyata saya membayangkan itu sangat menyakitkan.

Wahai Ari yang baik, kalau saya jadi kamu, mungkin saya akan mencincang orang yang telah seenaknya mengajak pacarmu sendiri kencan tanpa izin dari kamu. Wahai Ami, hubungan kita sudah tidak normal lagi. Mending kita sudahi saja oke. Kembalilah padanya aku bukan siapa-siapa untukmu. Wooooooo!

Bandung Mei 2010 diiringi lagu Five Minutes vocalist yang lama

Label: