Senin, 29 November 2010

Manusia Kamar

Aku hanya bisa diam duduk di kamar. Mendengarkan lagu yang ku pilih di winamp. Setiap hari pekerjaanku begini saja setelah lulus dari kuliah. Tak ada kegiatan lain. Paling, keluar sebentar sekedar mencari angin. Itupun tidak kulakukan secara lama. sebatas nongkrong di teras kamar lalu masuk lagi ke dalam.

Setelah bosan bermain game dan mendengarkan lagu di komputer, aku mulai mengambil handphone, lalu mencari nama-nama perempuan yang tak kukenal, nama-nama yang dikasih temanku. Sekedar iseng aku sering sms nomor-nomor itu. Responnya bermacam. Ada yang sombong ada juga yang welcome.

Setiap hari aku begadang. Semuanya aku habiskan di kamar. Aku sangat betah, karena fasilitas serba ada. Segala macam alat elektronik hampir ada di kamarku. Maka jangan heran kalau teman-teman banyak yang main ke kamarku sampai larut malam. Bahkan banyak yang suka menginap pula.

Suatu hari ketika sedang tidur, pintu kamar ada yang mengetuk. Lama dan keras sekali. Ketukannya bikin aku kesal. Siapa siang-siang begini yang berani menggedor pintu seperti itu. Begitu aku menggerutu dalam hati.

“Do, bangun Do, buka dong pintunya!” suaranya berteriak keras, menjengkelkan, berulang-ulang.
“dug..dug..dug… ayo Do, jangan tidur saja kamu!” lebih keras lagi.
“brakkk!” aku lempar weker ke arah pintu, tanda kesalku pada orang yang di luar. Ini masih jam sepuluh siang. Aku tak biasa bangun pada jam segitu. Pintu terus digedornya semakin keras dan keras.

Do, cepetan bangun woy, dah siang tau!”

Kembali aku cari barang yang bisa dilempar agar orang yang di luar segera tahu kalau aku gak mau bangun. Aku masih ingin tidur sampai matahari tepat di tengah-tengah kepalaku. Aku lempar lagi gelas yang terbuat dari keramik pemberian ibuku. Gelas kesayanganku.
“praakk!” suara gelas pecah dan melayang. Sontak tak ada gedoran pintu lagi di luar. Mungkin ia takut kena marah jika saja ia tahu aku benar-benar kesal dibuatnya.

Selimut tebal bergambar logo Inter Milan masih membalutku siang itu. Di kuping, masih terselip sepasang head set. Sengaja aku pasang sebagai teman yang bisa meninabobokanku. Lagu-lagu yang aku list di Ipod hadiah dari bekas pacar waktu aku ulang tahun yang ke 23. Sekarang malah kekasihku pergi meninggalkanku dan berpaling ke pria lain. Dan aku galau.

Kamarku berukuran 4x4 meter persegi. Setiap bulan aku harus bayar tiga ratus ribu perak sama ibu kos. Catnya sengaja aku bikin warna biru. Kuhiasi pula dengan tempelan poster-poster musisi legendaris, pemain sepak bola terkenal sampai para filsuf berjejer di dinding kamar.

Aku merasa hidup dan lebih bernyawa jika melihat gambar-gambar mereka. Bagiku, ada sebuah jiwa yang merasuk ke dalam tubuh saat wajah-wajah mereka menatapku. Jika sedang memutar lagu-lagu The Beatles, maka segera ku lihat poster mereka, seolah-olah mereka menyanyi untukku. Saat aku putar lagu Nirvana, segera pula kutatap poster mereka, yang menurutku mereka sengaja membuatku harus berontak sama halnya dengan lirik lagu yang mereka kumandangkan.

Namun kadang aku merasa otakku ditarik kesana kemari saat ku lihat gambar Foucault, Nietzsche Saussure dan Derrida, mereka adalah tokoh dari beberapa para pemikir yang menghiasi dinding kamarku. Mereka membuat pikiranku kalut saat kubaca buku-buku karyanya. Dan banyak lagi keanehan yang aku rasakan di kamar ini. Tapi entah kenapa aku tetap saja betah, malah tak mau pergi beranjak walau hanya sedetik.

Buku-buku berceceran di lantai, buku filsafat, sastra, majalah dan koran harian yang selalu kubaca tanpa merapihkannya kembali. Kamarku seraya gudang rongsokan yang dipenuhi seribu barang bekas. Dan aku suka sekali dengan suasana seperti itu. Ada semacam aura kebebasan yang mengalir saat kekotoran menjadi teman akrabku. Debu-debu menempel lekat di semua barang dan lagi-lagi aku enggan membersihkannya.

Banyak teman-temanku bilang bahwa setelah lulus kuliah, kebiasaanku menjadi aneh. Aku sendiri tak memikirkan apa kata temanku itu. Aku hidup begini adanya. Aku tak mau terbebani atau membebani orang lain. Bagiku, hidup adalah pencarian jati diri, dan, sekarang aku merasa sedang dalam proses pencarian jati diri itu.

“tapi bukan begini caranya, Do, kamu ini seperti orang gila,” kata salah satu temanku.

Aku kembali tak menghiraukannya. Aku anggap saja sebagai omongan yang tak berguna. Sampai mereka bosan mengingatkanku. Suatu hari ada sms masuk, itu dari ibuku, dia juga menganggapku aneh, hidupku berubah total menurutnya.

“mau sampai kapan tinggal di Bandung gak jelas seperti itu? cepat pulang, mending urus pesantren ayahmu itu, kasihan ayahmu kekurangan tenaga pengajar.”

Ah, aku kembali bosan dengan tawaran ibu yang terus menerus agar aku menjadi guru. Aku muak dengan semua itu. Aku hanya ingin diam saja di kamar ini, kalau perlu mati di sini.

Aku tak membalas sms dari ibu sama sekali, karena kalau aku balas nanti bakal malah jadi repot dan memanjang. Kubiarkan saja kalimat-kalimat itu mematung di handphoneku. Atau malah aku hapus saja biar semuanya lekas seperti semula. Tanpa beban, tanpa pikiran.

Satu hal kenapa hidupku menjadi terkatung-katung. Sesutau yang kata orang sepele bahkan cemen. Aku sebagai lelaki tak sepantasnya melakukan dan terlalu memikirkan hal yang sepele itu. Memang, kataku, hal ini menurutmu tak wajar, tapi bagiku, masalah yang aku alami adalah masalah hidup dan mati. Aku terlalu mencintainya, dan tak bisa hidup tanpanya. Begitu kira-kira pleidoiku pada mereka.

“ah, kau terlalu berlebihan, terlalu lebai kau Do!” jawab mereka ringan dan datar menjawab seenaknya.
“diam kalian! Sudah, kalian pergi saja, mending jangan ikut campur lagi dengan hidupku, urus saja hidup kalian masing-masing, pergi kalian!” mereka pergi tanpa basa-basi. Aku marah, aku kesal.

“prakk!” sebuah barang kulempar lagi. Kali ini bantal melayang ke arah pintu hingga menutup. Kamar kembali sunyi dan gelap. Semua gordin sengaja ditutup tanpa cahaya masuk. Kembali kumerenung, lebih tepatnya melamun. Aku nyalakan kembali komputer lalu mematikannya lagi. Aku merasa bosan, aku ingin menyendiri untuk saat ini. Aku benar-benar sakit. Hidupku sakit, jiwaku sakit dan yang lebih parah hatiku yang paling sakit.

Aku sendiri tahu dan sadar diri bahwa kebiasaanku ini memang tak wajar. Tapi aku ingin memperlihatkan bahwa aku seperti ini hanya untuk perempuan yang aku cintai. Perempuan yang telah tega menyakitiku. Perempuan yang dulu telah berjanji akan sehidup semati denganku. Sekarang dia harus bayar semua ini. Semua kegilaan dan keanehanku ini adalah efek dari perbuatannya, dia berpaling dengan temanku sendiri. dan sampai kapan pun aku takkan pergi dari kamar ini. Aku hanya ingin bercinta dengan kamar ini. Sampai aku tak bernafas lagi untuk selama-lamanya.

Label:

Minggu, 28 November 2010

Magnum (prosa mini)

Duduk bersama dua orang kawan lama, Ekos dan Fia, di kantin kampus yang sama-sama kita naungi. Hujan tipis menemani. Beberapa mahasiswa duduk-duduk pula sambil kongkow bareng teman-temannya sekedar menikmati menu ala pemilik kantin. Ada roti kukus, batagor, mie ayam dan banyak lagi. Saya berdiri sejenak, melangkah ke arah si teteh penjaga, sepertinya ia cashier.

“teh, kopi item dua,” kata saya.

Saya kembali lagi dong kepada kegiatan awal saya yakni duduk lagi. Tema pembicaraan dimulai. Banyak kok, dari seputar mengenang masa lalu di Suaka sampai ngomentarin keadaan suasana kampus sekarang. Saya cuma jadi pendengar aja, biar Ekos dan Fia yang ngomong sini sana. Saya sedikit menanggapi sesekali menambahkan sepatah dua patah kata.

Air menetes ke punggung saya. Rupanya atap kantin Kopma bocor, tapi saya biarkan dia menetes, toh cuma air ini. Meja yang lain juga sama kok ada yang bocor juga atapnya. Dan, eh, tiba-tiba air kopi yang tadi saya pesan datang, tepat sekali sesuai pesanan, dua gelas. Tapi Fia memesan semangkuk bakso.

Suasana kampus khususnya sekitar student center (SC) dan Kopma sangat asik dan ramai sekali. Kebetulan di aula SC lagi ngadain acara pelatihan jurnalistik, saya dan EKos juga Fia menyempatkan datang di acara itu.

Saya mulai membakar rokok, juga Ekos. Enak sekali rasanya merokok sambil ngopi dalam keadaan hujan. Fia mulai mengaduk baksonya. Mungkin agar bumbunya meresap dan rata. Antara saus dan kecapnya dipaksa merasuk ke dalam kumpulan mie dan baksonya.

Ekos mulai membuka obrolan tentang acara yang sedang dilaksanakan Suaka. Membuka catatan memori lama seperti halnya sewaktu ia terjun dalam acara yang sama. Fia juga menambahkan tentang obrolan tersebut, pun saya sedikit menambahkan juga.

“ini PJMTD buat siapa?” Ekos berucap.
“buat siapa apa maksudnya?” Tanya saya.
“ini yang ikut pelatihan khusus buat calon anggota Suaka?”
“iya!” jawab saya.

Memang sih, waktu angkatan Ekos, kalo ngadain acara pelatihan jurnalistik (PJMTD) agak berbeda sama angkatan sekarang. Kalo dulu sistemnya, Suaka ngadain acara PJMTD untuk umum, dan dari hasil itu si peserta bisa menjadi anggota Suaka dengan beberapa tahap selanjutnya.

Namun untuk sekarang ini Suaka khusus ngadain acara PJMTD untuk calon-calon anggota. Dan itu pun mesti melewati beberapa tahap selanjutnya pula.

Tak terasa, kopi sudah habis setengah. Fia masih mengaduk- aduk air sisa bakso yang kental kehitam-hitaman. Para mahasiswa masih recok sama teman-temannya. Hujan belum betul-betul reda, membuat saya tak ingin berhenti menghisap rokok.

Namun, suasana mulai repot setelah datangnya sebuah mobil box merah bergambar es krim masuk kampus. Mendadak, para mahasiswa yang berada di kantin mulai histeris sambil berteriak. Para mahasiswa lain terkaget dengan teriakan itu.

“magnuuuuuuum,”
“iya, itu mobil magnum.”
“mana?”
“itu!”
“o iya, magnum.”

Serentak, semua mata tertuju pada mobil box itu. Sebuah mobil yang berisi es krim itu, sepertinya akan mendatangi Mini Market Kopma. Dan mungkin semua orang yang berada di kantin beralih pembicaraan kepada si Magnum itu sendiri. Lalu menyerbunya ke Kopma? Entahlah.

Dua perempuan yang duduk di samping saya juga seperti itu. Mereka mendadak ngobrolin tentang es krim yang konon lezat dan ngegemesin itu. Konon, konon, konon, dan konon.

“emang kenapa sih, apa istimewanya sih magnum, kok ampe ngalahin isu Gayus, dimana-mana ngomongin magnum…magnum…magnum?” kata saya.
“itu iklannya sih yang bikin greget,” jawab Fia.
“iklan yang cewek itu?” tambah saya.
“iya” kata Fia
“iklan kan dibuat khusus untuk membuat pembeli penasaran,” Ekos menimpali.

Betul sekali, iklan itu dibuat untuk menarik perhatian konsumen. Sebuah Iklan harus berpromosi mati-matian agar para pembeli menjadi pelanggan sejati plus mencintai pada sebuah produk tersebut.

Meskipun hujan semakin tipis, kami bertiga harus mengakhiri obrolan tersebut, karena seseorang dari panitia sudah memanggil saya untuk mementor para peserta PJMTD. Ekos juga kebagian ikut mementor, tapi Fia tidak karena dia harus pulang.

Kami beranjak dari kursi kantin. Sambil berjalan kaki ke SC, saya berfikir dan tiba-tiba teringat kenapa rektor di kampus saya seolah tidak disegani dan tidak di hargai oleh mahasiswanya. Ah, mungkin pak rektor dulunya kurang promosi mati-matian, jadinya ia tidak di cintai. Contohnya ketika para mahasiswa melihat pak rektor sedang berjalan di kampus, gak ada tuh yang berteriak histeris:

“Nanaaaaaaaat,”
“iya, itu pak Nanat, rektor kita.”
“mana?”
“itu!”
“o iya, Nanat.”

Entahlah yang jelas pak rektor bukan magnum. Tul kan?

Kampus, 26 November 2010

Label: