Rabu, 02 Juni 2010

Kencan Terlarang

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.

Untuk menjaga nama baik , saya sebut saja gadis itu Ami, walaupum nama itu hampir mendekati aslinya. Dia adalah perempuan manis dan cantik, sekarang kelas tiga di salah satu sekolah dekat Balai Kota. SMK I Negeri Bandung jurusan Pariwisata. Mungkin dia kelahiran tahun 93’an.

Bodinya ramping, senyumnya menyungging khas, kulitnya putih, mata agak sipit mirip orang Jepang. Saya kenal dia beberapa minggu yang lalu setelah dia resmi jadi murid saya di tempat les.

Selain cantik dan lucu, Ami orangnya cerdas sekali. Bijaksana juga lembut. Saya sering diberi petuah-petuah bijaknya. Orangnya dewasa. Dia pintar berbahasa. Inggris oke, Jepang lumayan, Perancis juga, maklum di sekolahnya terdapat berbagai bahasa yang ia pelajari.

Di tempat les yang saya ajar, Ami sangat menonjol, jauh dengan teman-teman lainnya. Kalo ditanya oleh saya, dia suka jawab dengan cepat tepat tangkas, terkadang nyerocos jawab ini itu. Saya salut sama dia. Udah cakep pintar lagi.

Kedekatan saya sama dia dimulai dari SMS gombal saya yang sering diluncurkan padanya. Segala macam stimulus, saya lontarkan padanya, dan ternyata responnya asik juga. Ternyata Ami suka geer kalo saya SMS yang gombal-gombal. Dari situlah dia sering membangunkan saya pagi-pagi sekali. Dan dilanjut dengan curhat masing-masing. Ngobrol kesana kemari.

“kaka bangun, awas lo ntar kesiangan lesnya,” tegasnya.
“iya… dari tadi juga udah bangun,” pura-pura saya.
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Ya, seperti itulah, hampir setiap hari saya dibangunin sama dia. Dan terkadang saya juga yang bangunin dia walau dia udah bangun duluan. Dan obrolan pun berlanjut ke masalah pribadi. Dan ternyata dia sudah punya pacar. Namanya, hmm… sebut saja Ari. Kata Ami, pacarnya kerja di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Sebagai pengatur gizi katanya.

Suatu hari Ami minta dianter sama saya ke kantor imigrasi. Katanya ada tugas dari sekolahnya. Saya menyanggupinya. Dia senang mendengar saya mau menemaninya. Tapi setelah mau berangkat, saya mendadak membatalkannya. Dia pergi sendiri. Dia marah, mungkin kecewa.

Pertemuan saya sama Ami hanya seminggu sekali. Sesuai jadwal les saja. Kini giliran saya yang ajak dia jalan. Namun saya Cuma bercanda saja ajakin dia. Tapi dia nganggapnya serius.

“besok pulang les kita jalan yuk!”
“ayo, kemana?” tanyanya semangat.
“kemana ya, bingung aku juga, kemana dong, nonton gimana?”
“hmm, gak terlalu suka nonton.”
“yaaa, kemata atuh?”
“ke taman Ganesha aja, asyik kayaknya.”
“mending ke Kebun Binatang aja, gimana?”
“hehe… mau nengok keluarga ya ka. Haha….”
“huh, enak aja, kan mau nengok keluarga kamu.” Bales saya.
“ih, nyebelin. Ya udah besok ya. Awas kalo mendadak gak jadi lagi.”
“iya, insya Alloh.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”
“klik”

Minggu 23 Mei adalah jadwal ujian tengah periode di tempat les saya. Seperti biasa, sehabis Shubuh saya dan Ami ngobrol lewat kabel telefon ngalor ngidul. Tak lupa ngingetin saya supaya jangan telat ngajar. Dia juga terus menerus ngingetin saya tentang jalan-jalan ke Kebun Binatang itu.

Alhamdulillah kali ini saya tidak terlalu telat. Datang tepat waktu. Saya langsung mulai masuk kelas. Dan menyarankan sama anak-anak supaya tutup buku dan mulai untuk ujian. Di kelas, saya mencoba professional sekali. Saya anggap semua murid rata. Baik dari perhatian sampai penilaian. Saya berusaha adil seobjektif mungkin. Sampai-sampai beberapa murid bilang saya jutek kalo di kelas.

Anak-anak sudah pada beres ngisi soal ujian. Masing-masing pergi pamit dari tempat les. Saya langsung saja melangkah ke tempat komputer, pura-pura lupa kalo hari itu ada janji untuk jalan-jalan ke Kebun Binatang bareng Ami. Tiba-tiba Ami SMS.

“gag jadi? aku pulang aja!!!” nadanya kesal.
“iya, maafin aku ya,” kata saya hanya gitu.

Dia gak bales lagi. Mungkin kesal mungkin juga marah. Sudah dua kali saya buat dia bete. Saya coba SMS dia beberapa kali. Saya terus goda dan rayu dia. Ya, dengan gombal-gombalan lagi. Namun tak ada sahutan. Saya hanya senyum saja melihat dan membayangkan kelakuannya.

Malam harinya hape saya bunyi. Saya tahu itu SMS dari dia. Ringtonenya khas soalnya. Dia ngajakin saya hari senin untuk ke Taman Pahlawan. Katanya mau ngasih makan ikan yang ada di taman itu. Saya mengiyakan menyetujuinya. Walau saya tahu itu hanya basa-basinya saja. Saya mikir kali ini saya tidak boleh bikin dia bete lagi.

“jam berapa?”
“jam satuan lah,” jawabnya.
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Hari senin pun tiba. Saya berniat untuk ke sana ke Taman Pahlawan itu. Sebelum dzuhur saya sudah berangkat. Gak bawa motor kali ini. Memang rasanya agak beda sekali kalo mau bepergian gak ada kendaraan sendiri. Tapi gak apa-apa, Ami orangnya gak neko-neko. Dia orangnya apa adanya, gak seperti gadis lain yang ingin selalu dibonceng pake motor jika mau bepergian, terutama kencan.

“kaka lagi dimana?”
“di angkot, kamu dimana gitu?”
“di depan tempat les.”
“iya, bentar lagi nyampe.”
“klik”

Hari panas sekali. Jalanan begitu gersang macet sana sini. Supir angkotnya ngeyel sekali. Tiap gang pasti dia ngetem. Saya kesal dan gondok minta ampun. Penumpang lain juga kayanya begitu. Raut mukanya memunculkan aura negatif. Terutama si ibu yang sedang gendong bayi. Kasihan sekali dia, anaknya kepanasan. Saya suka mendehem atau kadang membuat suara gaduh yang saya buat dari kaki saya yang diadu-adukan ke lantai angkot.

Saya sudah sampai di Cicaheum. Lalu nyebrang ke sebuah gang, yang mana dekat gang itu saya sama Ami janjian dekat tempat les yang biasa kita jumpai tiap minggunya. Saya berjalan dengan tegapnya dari kejauhan, saya lihat samar-samar gadis berseragam putih-abu yang tak asing lagi. Di kupingnya menggantung sebuah headset. Dia sepertinya sedang mendengarkan beberapa lagu di hapenya. Saya hampiri gadis itu. Betul saja Ami rela menunggu begitu saja. Saya senyumi dia dengan senyum Ababil. Kalian tahu senyum Ababil? Pasti gak deh.

“ih kayak anak ilang deh duduk disini, hehe”
“biarin aja kan lagi dengerin lagu sambil nunggu,” tukasnya.
“kenapa gak nunggu di tempat les aja atuh.”
“gak ah malu.”
“ke situ dulu yuk bentar,” ajak saya ke tempat les.

Saya dan dia jalan menuju tempat les biasa. Gak ada siapa-siapa, hanya ada Huda dan seorang gadis siapa itu ih saya baru lihat. Mungkin ceweknya Huda. Oh, iya deh kalo begitu. Saya cuma mau ke air. Sekalian mau sholat dhuhur. Dan ternyata gak ada mukena di situ ya sudah saya jalan lagi sama Ami ke mesjid yang dekat. Dan eh ternyata mesjidnya dikunci. Sial !

“sholat di sana aja yuk!” saya ajak dia. Maksud di sana itu ya, di deket taman.
“ada gitu?”
“ya pasti ada atuh.”
“hayu deh.”

Sekarang saya jalan berdua sama Ami. Yang satu pake baju metal. Yang satu pake seragam. Mirip seorang laki-laki yang sedang mengantar atau menjemput siapaaaaa gitu. Tapi biarin ya gak apa-apa gak akan ada yang melarang.

“nyebrang yuk!”
“ih, kaka kalo nyebrang di zebra cross.”
“kenapa gitu?”
“iya, biar kita di lindungi undang-undang.”
“oh, hehehe.”

Dia terus saja ngomel sana sini. Tapi betul juga, apa yang dikatakannya emang benar. Kita harus menaati peraturan yang dicanangkan petugas lalu lintas. Apapun itu bentuknya. Seperti membawa surat-surat ketika bepergian. Memakai helm dan ini dan itu.

Lihatlah saya sudah naik angkot, Ami juga. Kita duduk bersebelahan. Naik angkot Caheum-Ledeng. Penumpangnya kali ini tak seramai angkot tadi. Lalu saya lihat hape Ami. Mau saya razia apapun. Saya lihat-lihat fotonya. Ih, lucu-lucu, imut-imut, manis-manis. Sampai dia nawarin saya menyimpannya lewat Bluetooth. Oke saya mau tapi nanti.

Saya buka folder lainnya lagi. Hahay ketemu. Ada foto dia juga bareng cowoknya. Wow, ternyata lumayan ganteng juga ya pacarnya. Putih pula, pokoknya serasi lah sama dia. Saya senyum-senyum saja melihatnya. Sambil nanya ini foto dimana dan sebagainya. Dia juga jawab di sini di situ dan sebagainya.

“kiri,”

Ami teriak begitu tepat di perempatan jalan Pahlawan. Dia turun lebih dulu. Eh, malah dia yang bayar ongkosnya. Aduh kenapa dia tidak berdiskusi dulu sama saya. Padahal dalam peraturan kencan berkencan cowok itu yang harus bayar apa-apanya. Ya sudah pulangnya saja saya bayarin ya. Saya kira-kira begitu bicara sama dia.

“nyebrang?” saya Tanya.
“iya, ayu!”

Kita berdua nyebrang. Saya raih tangannya saat nyebrang dan melepaskannya ketika acara nyebrangnya selesai. Lalu berjalan ke trotoar dan sebentar lagi akan nyebrang lagi dan betul saja benar-benar nyebrang lagi.

“mau kemana?” saya yang tanya.
“ke tempat jualan ikan. Beli makanan ikan.”
“oh.”

Saya ambil lagi tangannya saat nyebrang. Mirip adegan si Rangga yang pegang tangan si Cinta di film AADC kamu tahu? Itu saya lihat saat saya SMA. Di sebuah VCD bajakan bukan di bioskop. Ya, bukan di bioskop. Hey, apa kabar bioskop.

Setelah beli makanan ikan ternyata ada adegan nyebrang lagi. Otomatis saya raih tangannya lagi. Tapi kali ini setelah nyebrangnya selesai, Ami tidak melepaskan tangan saya. Hanya menyisakan jari tengah saya yang di pegang oleh jari-jarinya yang lain.

Kita berdua menyusuri trotoar yang agak sejuk di jalan Pahlawan. Di pinggir-pinggir terlihat orang pada istirahat. Mereka sepertinya anak kuliah.

“itu mahasiswa Itenas. Nah itu jalan masuknya (pintu gerbangya) yang kedua” Kata Ami.
“oh,” saya mengangguk.
“nah itu kafe Selasih.”
“oooooh,” saya manggut-manggut. Eits, tangan saya masih menempel di sela jari-jarinya.
“apalagi kalo sore suka banyak orang disini. Banyak yang pacaran.”
“sama Ari suka ke sini gak?” kata saya.
“gak, dia mah suka sibuk sendiri.” Jawab dia kecut.
“hmm… kalo Ari tau kita lagi jalan gimana?”
“gak bakal, dia mah gak suka keluar orangnya.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Kita terus menyusuri jalanan Pahlawan (kitaaa, elo aja kali). Lumayan juga ternyata bikin capek ya kalo jalan kaki. Apalagi terik matahari begitu menyayat ulu hati. Dahaga tiba tiba berdegup memanggil saya untuk melakukan sesuatu. Saya pun bergegas nyebrang lagi ke arah kanan. Pergi ke sebuah warung untuk beli ini dan itu.

“mau beli apa?” Tanya saya. Dia masih di seberang.
“gak mau apa-apa,” jawab dia sambil ikut nyebrang.
“ih, cepetan mau beli apa, ini mau?” kata saya nawarin sebuah minuman.
“hmmmm…” itu suara dia dibubuhi gelengan kepalanya.
“kalo ini?” saya tawarin yang lain.
“enggak kaka, aku udah bawa minuman.”
“oh, ya udah.”

Tapi saya beli satu botol minuman apa lupa lagi. Yang penting sari buah jeruk dan dingin. Beli dua buah TimTam dan empat buah kue wafer yang lainnya. Namun agak aneh juga sih, biasanya cewek tuh suka minta dibeliin apa-apa sama cowok, tap Ami itu orangnya gak neko-neko seperti yang saya sebutin tadi. Oh, saya juga beli rokok satu bungkus.

“kaka ngapain beli makanan, aku juga bawa nih makanan mah.” Oh, dia sudah persiapan.
“ih, gak tau kirain teh gak bawa, biarinlah biar banyak.”
“kaka, kalo minum teh sambil duduk,” itu yang bicara Ami ketika saya minum air itu.
“oh, iya iya bu haji, hehe, maafin atuh.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Akhirnya sampai juga di Taman Pahlawan yang banyak makamnya itu. Sepertinya kuburan para pahlawan dari berbagai bidang dan angkatan. Dan di situ juga ada kolamnya. Airnya hijau pekat namun ikannya banyak sekali. Ada juga orang lain yang sedang nongkrong. Malahan ada sepasang anak SMP yang sedang apa duduk berdua begitu dekat pagar. Mungkin mereka sedang menghafal atau diskusi pelajaran. Terserah mereka yang penting saya husnudon.

Tapi ternyata saya ajak Ami ke mesjid dulu. Kebetulan mesjid dekat sekali dengan Taman. Cukup dengan jalan kaki aja. Eitssss, dia memasukan tanganya ke tangan kiri saya. Sepertinya dia takut terjatuh makanya dia pegangan. Terserah dialah yang penting saya husnudon.

Ow, sejuk juga ternyata ya di mesjid. Saya duduk saja di terasnya, Ami juga sambil membuka sepatunya. Saya tidak karena pake sandal, lalu saya menasehatinya untuk sholat duluan. Maksud saya buka menasehati tapi menyarankan. Benar saja saran saya dia penuhi. Dia bergegas pergi wudhu. Dan saya mulai membuka bungkus rokok dan membakarnya. Iya, membakar rokok lalu dihisap, lalu dibuang lagi ke udara. Aneh !

Satu batang rokok sudah habis. Saya melirik ke belakang ke arah mesjid. Hey, dia sudah beres sholatnya. Dia lagi mau pake kerudung. Hey, ya Alloh dia manis sekali, lucu sekali, cantik sekali. Rambutnya poni kecil gitu, aih dia tersenyum pada saya. Rupanya senyumnya itu harus dibalas. Saya kasih dia senyum Ababil lagi. Kamu masih belum tahu apa itu senyum Ababil? Ya sudah gak apa-apa.

Giliran saya yang sholat. Tak lupa ambil wudhu. Seperti biasa, surat Al-Ikhlas dan An-Nas saya baca dalam sholat. Itu merupakan surat favorit saya, mungkin kamu juga. Iya kan? Ngaku aja deh.

Saya lalu keluar menghampirinya. Hey, dia sedang membetulkan posisi kerudungnya. Rupanya dia juga bawa cermin. Saya lalu duduk di sebelahnya. Dia lalu membuka makanan yang saya beli, dia juga mengeluarkan makanan yang dia bawa. Gak jauh beda sebangsa kue dan wafer dia bawa. Dan di pinggir saya juga kira-kira 10 meter ada dua cowok yang sedang ngobrol. Saya tebak mereka adalah mahasiswa LP3I. terserah, siapa mereka yang penting saya husnudon.

Hey, dia buka tas saya. Kebetulan saya bawa hasil ujian yang kemarin. Saya suruh saja dia yang periksa. Lalu saya? Ya itu, saya pinjem hape dia lagi.

“ih, dasar pemalas, belum diperiksa ya hasil ujiannya?”
“sengaja biar kamu yang periksa, eh, mau facebookan dong,” apologi saya.
“iya sok aja.”

Wow, dia melonjorkan kakinya dan punggungnya di tempel ke dinding teras mesjid. Saya lalu rubah posisi duduk menjadi tiduran. Lihat, saya tiduran di pahanya. Aih, dia gak komplen. Diem aja gak bergerak padahal kan saya berat. Dia enjoy saja meriksa soal. Saya enjoy saja maen facebookan. Uh, rumit juga hapenya gimana cara maeninnya. Maklum saya agak gaptek. Wow, kalian harus tahu rasanya seperti pake bantal yang mahal yang terbuat bukan dari busa tapi dari daging asli. No comment!

“kaka lihat ini nomor empat betul gak?”
“punya siapa itu?”
“punya teh Nita,”
“coba lihat, oh itu salah.”
“salahin aja?”
“iya, salahin aja. Kalo yang benar ceklis aja.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Hasil ujian sudah beres diperiksa. Hari mulai teduh. Saaatnya ke pokok persoalan yaitu pergi ke Taman yang ada kolamnya. Saya pun pergi meninggalkan mesjid, otomatis Ami juga sambil bawa kresek berisi sampah bekas bungkus kue-kue. Niatnya mau dibuang ke tempat sampah.

Hey, lihat lagi tangannya nempel lagi di tangan saya. Wah, ternyata sudah banyak orang di taman. Banyak yang pacaran pula. Banyak yang lihatin ikan juga. Ami ajak saya ke tempat yang paling pojok dan mengeluarkan dua bungkus makanan ikan yang tadi beli. Lalu melemparnya ke kolam.

Betul saja, ikannya pada datang setelah Ami lempar makanan ikannya. Saya juga mau coba lempar. Iya, ikannya semakin banyak berkumpul di atas kami. Wah, indah sekali. Lihat di sebelah situ, orang-orang pada lihatin kita berdua. Mungkin mereka menganggap kita berdua adalah petugas pemberi makan ikan di situ. Mungkin juga mereka ingin dikasih makanan ikan oleh kami. Biarinlah terserah mereka anggap kami apa, yang penting saya husnudon.

Hari terus berlalu semakin sore. Orang juga pada bertambah. Makanan ikan sudah habis dua bungkus. Di sana saya dan Ami mulai membuka diri curhat satu sama lain lagi. Dia cerita tentang berbagai hal. Seperti halnya seorang perempuan curhat. Lalu saya? Iya, sekedar ngasih komentar saja. Hey, lihatlah dia menguraikan lengan seragamnya mau apakah dia?

“kaka lihat, tangan yang cubit kemarin membekas tau, si mamah juga sempat nanya ini kenapa katanya, ya udah aku jawab di cubit, terus si mamah nyuruh aku nyubit lagi.”
“aduh, ampe merah gitu, aduh, maafin aku ya…ya…ya… hehe.”
“udah ya jangan nyubit lagi, sakit tau.”
“hahahahaha.”
“ih malah ketawa!”
“iya, inya Alloh, haha.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Saya sepakat untuk meninggalkan taman. Pokoknya acara memberi makan ikannya sudah beres. Lalu saya ajak Ami keluar area taman. Dan pergi ke sebalah sana, ke sebuah pedagang molen yang imut kecil dan lucu tepat di depan taman. Lalu kita kemana? Betul sekali, kita duduk sejenak di dekat tukang molen itu dan lalu saya ajak Ami ke gor C-tra arena yang tak jauh dari situ. Mau ngapain?

“ke gor C-tra yuk mungkin ada pertandingan,” ajak saya.
“gak ada sekarang mah, ntar tuh bulan Juni ada acara Pensi anak ICB,” sahutnya.
“Juni?”
“iya, kan adik aku sekolah di sana, ntar ada Vierra lho bintang tamunya.”
“ya udah ke sana aja, tau tau ada apa gitu!”
“hayu atuh.”

Lihatlah lagi, saya sedang berjalan berdua dengan gadis berseragam putih abu. Lihatlah juga, tangannya menempel lagi di tangan saya. Aih, hari ini begitu banyak yang menempel. Di angkot misalnya, di kaca belakangnya ditempelin foster Andi Malarangeng berkumis tebal, dia kan nyalonin jadi ketua Partai Demokrat, namun sayang kalah di putaran pertama. Oh, kasihan sekali pasti Andi bakal cukur kumis kayaknya atau mungkin dia bakal sujud syukur karena tidak terpilih. Kalo terpilihkan kasihan Andi bakal menanggung beban berat partai yang begitu besar. Terserah Andi lah yang penting saya husnudon.

Oke. Memang betul gak ada pertandingan apapun di gor itu. Tapi biarin saya pengen ke situ duduk-duduk dan apa-apa di sana. Lho, kok ada tukang baso tahu di situ, di dekat pintu masuk gor. Biar saya tawarin Ami, dia mau gak saya kasih baso tahu. Abis, saya tawarin dia apa-apa selalu saja gak mau. Padahal saya ingin sekali makan itu baso tahu. Sudah beberapa bulan saya gak memakannya.

“mau baso tahu gak?”
“hmmm…” dia bersuara gitu lagi, dibubuhi gelengan kepala lagi.
“mang, bikin dua mang,” saya panggil si mang.
“ih, kaka!”
“udah jangan komplen.”
“bla…bla…bla…”
“bla…bla…bla…”

Adalah saya yang sedang duduk di teras depan gor. Melihat anak-anak yang sedang main futsal kecil-kecilan. Ami juga duduk di samping saya. Dan masing-masing sedang pegang sepiring baso tahu. Lalu saya merubah duduk sedikit memutar badan menghadap dia. Ami lalu ambil tas saya. Giliran dia yang razia tas. Dia ambil buku berwarna hijau. Dia Tanya buku apaan. Saya jawab buku diary saya. Dia jawab “oh”. Dia buka-buka buku itu. Untung saja tidak baca secara detail.

Dia juga razia hape saya. Tapi saya tidak mau. Dia berdecak “ih licik sendiri” ke saya. Biarin lah saya orangnya emang ingin licik untuk hari itu. Oh, lalu saya makan baso tahu lagi. Dia juga makan baso tahu lagi. Lalu saya ambil sepotong kentang yang ada di piring saya. Lalu saya tawarin dia untuk memakan kentang itu. Dan lalu dia memakannya. Oh yeah, saya mirip seorang ibu yang sedang nyuapin anaknya. Gak apa-apa kan yang penting saya apa? Husnudon dong.

Wow, hari mulai menyore. Saya ajak dia untuk pulang saja. Tapi hape saya bunyi, ada SMS rupanya. Oh, dia, gadis yang lain yang nanyain buku pesanannya. Saya jawab saja sesuai topik SMS yang dia kirim ke saya.

“tau Rumah Buku gak?” saya tanya ke Ami.
“iya tau, itu deket Togamas, murah-murah lho di sana.”
“iya tau.”
“mau apa gitu?”
“aku mu beli buku.”
“ya udah bareng aja, deket kok sama rumah aku.”
“yeeee… bagus atuh, hayu ah sekarang.”
“hayu!”

Hal yang wajib saya lakukan sebelum saya pergi adalah mengasih uang sama si mang tukang baso tahu. Terus saya naik angkot jurusan apa lupa lagi sampai ke perempatan jalan Cikutra. Lalu naik angkot Ledeng yang menuju rumah Ami pulang dan sekaligus menuju Rumah Buku.

Waduh, lihat dan dengarlah hari ini saya nobatkan sebagai hari nempel sedunia. Apakah yang terjadi sama Ami sehingga dia terus menempelkan tangannya ke tangan saya. Padahal kalo mau jujur saya gak pernah membalurkan lem apapun ke tangan saya. Apalagi menempelkannya semakin erat saja. Padahal saya gak akan kabur.

Dan sekarang dengarlah, Ami menyuruh si mang supir supaya berhenti, tepat di jalan apa saya benar-benar lupa lagi, oh iya, Cisokan. Dia pamit ke saya. Dia turun dari angkot. Dia mau bayar ongkos, tapi saya teriak hanya sedikit bahwa saya saja yang bayarin dia ongkosnya. Lalu Ami menghilang. Lalu angkot melaju. Yeah, lihatlah lagi Ami melambaikan tangannya ke saya. Oh, sekarang saya ingin beri dia senyum lagi tapi bukan senyum Ababil, yakni senyum Perancis. Dan maaf saja kalian gak usah tahu apa itu senyum Perancis, karena saya juga hanya mengarang saja.

Oh Ami, terima kasih untuk hari itu. Karena kamu telah membuat saya tahu bahwa di Taman Pahlwan itu ada kolam ikannya. Oh, Ari maafkan saya, saya gak berniat untuk mencuri kekasihmu yang baik hati dan keren abis itu. Jujur, saya gak akan berniat mencurinya darimu. Perlu kau tahu Ari, saya hanya ingin merasakan bagaimana hal itu terjadi pada saya. Dan ternyata saya membayangkan itu sangat menyakitkan.

Wahai Ari yang baik, kalau saya jadi kamu, mungkin saya akan mencincang orang yang telah seenaknya mengajak pacarmu sendiri kencan tanpa izin dari kamu. Wahai Ami, hubungan kita sudah tidak normal lagi. Mending kita sudahi saja oke. Kembalilah padanya aku bukan siapa-siapa untukmu. Wooooooo!

Bandung Mei 2010 diiringi lagu Five Minutes vocalist yang lama

Label: