Sabtu, 30 Mei 2009

Cover Buku Gwe



-Cerita Jurnalis Kampus Gagal-

hari ini aku seneng banget. banyak job yang menghampiri. Tina dan Imas nyuruh bikin aku cover buku. aku langsung semangat nerima tawarannya. nah diantara kover buku yang udah aku buat. ini contohnya. buat yang mau pesen, kontak aja aku ya. 0813 222 38 212.


Label:

UIN BDG Jago Demo






kampusku demo lagi




Label:

Ngeliput Dede Yusuf





-Cerita Jurnalis Kampus Gagal-

ini foto gwe lagi liputan ama Dede Yusuf, wakil Gubernur Jawa barat. tadinya sih pengen ngajak dia narsis narsisan. tapi kayaknya dia gak punya waktu. terus juga di kampus, orang orang pada riweuh gak karuan ya udah deh gak penting banget buat nasrsis narsisan. ini waktu kepala gwe masih botak. tapi lucu kan? hehehe.

dan itu foto aku sama penulis favoritku. namanya Mulyani Hasan. menurutku di perempuan yang super keren. aku pengen kaya dia. masa cowok kalah sama cewek. hehehe.

Label:

Yang Penting Sandal Jepit


Siapa yang pake sandal saya? Gak sopan banget sih. Mentang-mentang kuliah di UIN, pake sandal seenaknya saja. Emang ada ya mata kuliah ngambil sandal orang. Ada ya. Berapa SKS? Siapa dosennya? Kapan UASnya. Hebat. Mata kuliah yang aneh.

Bayangin coba. Suatu pagi, aku mau ke air. Mau cuci beungeut. Eh tiba-tiba sandal aku udah ada yang nuker. Sialan. Gak tanggung-tanggung. Mending di tukernya ama sandal yang bagus. Buihhhhh... inimah sandal cewek yang gak gue banget. Aduuhhh. Tobat gusti.

Yang lebih parah lagi, adikku uring-uringan. Ya iyalah so pasti, itu kan sendal baru. Apalagi besoknya mau di bawa ke Tasik ama adik ku. Buset. Kalo ketemu itu orang, udah deh tamat riwayatnya. Aku bakal kesek-kesek ampe penyok. Trus aku bikin dia gepeng kaya martabak bangka. Trus aku bakal bikin dia termehek-mehek. Dan terakhir, aku bakal kasih dia uang buat beli sandal yang baru. Bukan nyolong sandal orang. Tapi sebelum aku kasih itu orang duit. Mending aku beliin dulu kohopi ama rohoko. Enak aja ngasih orang kaya gitu. Caduuuk.

Tapi gak apa apa. Setelah kejadian ini ada hikmahnya juga. Bulan sekarang, di Suaka mengusung tema Sendal Jepit untuk cerpen wajib bulanannya. Yo wis... aku langsung nulis tentang ini. Kan lumayan ada pengalaman dikit. Jadi gak usah rada ngelantur gak karuan buat nulisnya.

Aku punya cerita tentang sendal jepit. Suatu hari ada perlombaan lari. Pesertanya dari tiga negara: Jepang, Amerika dan Indonesia. Perlombaan diadakan di stadion Siliwangi Bandung. Peserta pertama dari Jepang maju kedepan. Sebelum lari, itu orang rada pemanasan dulu. Maklum seorang atlit kan butuh streching dulu biar otot gak langsung tegang.

“oke... ladies and gentlemen. Banyak gadis yang makan permen.” Pembawa acara membuka perlombaan.
“baiklah para peserta yang budiman, sekarang perlombaan akan dimulai. Apa kalian sudah siap semuanya? Cung yang udah siap... ayo berdiri.” Tambah pembawa acara.
Serempak semua penonton langsung beridiri. Padahal yang disuruh Cuma pesertanya aja. Tapi gak tau kenapa para penonton ikut ikutan berdiri. Peserta pertama yang dari Jepang langsung pasang kuda kuda. Tangan menengadah ka tanah. Lutut di tekuk. Bak macan yang mau merontok mangsanya.

Serius!
Aslinya!

Aku lupa ama cerita selanjutnya. Bener bener lupa. Lupa lagi. Tapi gak lupa syairnya. Padahal aku belum pernah denger cerita itu sebelumnya. Bener bener cerita yang membingungkan. Baiklah, demi melanjutkan tulisan wajib yang kudu di tulis tentang sendal jepit ini, aku bakal mulai bener bener berkhayal.

Nah. Suatu hari ada seorang presiden yang mau buang air besar alias berak. Kebetulan sang presiden tersebut lagi kunjungan ke kampus Universitas Islam Negeri Raden Sunan Gunung Djatos (UIN RSGD) Bandung.

“kang Mamat... Belimbing mau buang air besar nih. Aku mual dan mules nih. Tolong dong anter ke kamar mandi.” Kata Susilo Belimbing Yudoyana pada rektor UIN.
“oh tunggu pak Bing bentar, anak buah saya bakal nganter anda.” Jawab Mamat.
“aduh cepetan dong... ini takut kaborosotan nih. Udah mau ngaborojol.” Bentak Belimbing.

Setelah itu datanglah Endun, anak buah Mamat. Dia nganter pak Bing ke kamar mandi. Dan kebetulan seluruh kamar mandi yang ada di UIN ini penuh. Entah kenapa seperti kebetulan saja. Akhirnya Endun melangkah sedikit menuju WC student center.

“pak Bing mending kita ke WC yang di student center aja ya.” Ajak Endun gempar.
“ah ... terserah anda mau student center kek... student government kek... student stupid kek... yang penting aku pengen nabung sekarang juga. Kalo tidak seluruh peralatan bom atom ku bakal meledak disini.” Sahut Pak Bing.

Untung. Wc student center kosong. Dengan gemulainya Belimbing masuk WC. Dibuka celananya dengan tidak pelan pelan. Lalu ia jongkok. Tak lama kemudian terdengar suara dentuman bom yang maha dahsyat, keluar dari arah WC.

“broooot... breeet...bruuut... tuuuuuuuuuuuuuut.”

Mendengar suara seperti itu, Endun langsung bertanya tanya suara apakah itu. Ya, ia semakin penasaran. Apa yang dilakukan Belimbing di WC. Tidak seharusnya dan tidak juga sewajarnya, suara kentut seperti itu. Ini melebihi Volume konser musik Rock sekalipun.

Mendengar suara itu, kontan seluruh sivitas kampus geger. Semua orang berlalu lalang. Ada yang meninggalkan kuliahnya. Ada yang meninggalkan dagangannya. Dan yang lebih parah lagi, semua orang yang sedang di kamar mandi tadi keluar dengan seenaknya, tanpa menyadari ia sedang buang air besar juga. Namun mereka tidak ingat kalo masing masing belum pada cebok dan memakai celananya kembali.

Pikir mereka ada sesuatu yang terjadi di kampus. Mereka ketakutan sampai gak meneruskan acara buang air besar mereka. Setelah itu semua mahasiswi yang lagi nongkrong di berbagai sudut langsung berteriak dan menjerit histeris.
“ada buaya buntung... ada buaya buntung.”

Wow. Sungguh tontonan yang mengasikan bukan.

Sementara di dalam WC. Belimbing tenang tenang saja, seperti tidak tahu kejadian yang menimpa diluar. Padahal sumber masalah ada di WC yang Belimbing pijaki.

PEMBACA yang budiman. Pasti penasarankan bagaimana kisah selanjutnya. Pasti. Udah aku tebak kalian yang membaca cerita ini pasti pengen tau akhir kisahnya. Tapi. Ada tapi nya nih. Aku kan sebagai penulisnya nih. Jadi bebas donk mau nulis apa apa semau aku. Ya intinya aku sebagai penulis yang istiqomah, harus bener bener menepati janji. Kalo di suruh nulis dengan tema Sendal Jepit, ya... sendal jepit lah, jangan ngacapruk pake cerita yang segala. Iya kan?

Baiklah pembaca yang budiman. Karena waktu sudah menunjukan jam setengah sepuluh malam. Saku sebagai mahasiwa harus mulai rajin belajar. Sekarang udah semester delapan. Jadi harus mulai istirahat. Yang jelas tulisan ini setidaknya ada yang nyangkut nyagkut tentang sandal jepit.

Sekarang. Detik ini juga. aku mau meninggalkan Suaka. Otomatis harus mematikan komputernya dulu. Biar ngirit listrik. Pertama, aku mau matikan dulu winamp, kemudian beberapa folder yang terbuka. Setelah itu aku klik Start terus klik shut down.

Kalo komputer udah mati, aku mau cabut listrik lampu terus kunci pintu. Nah, kebetulan di luar gak ada tuh sandal jepit. Aku lupa, padahal di rumah juga masih ada, terus si Nora juga mau ngasih sendal sih, lumayan buat di Suaka. Tapi aku gak mengambilnya, soalnya waktu itu tuh tanggung. Ribet pula kalo bawa bawa sandal segala ke Grand Pasundan.

Ya udah deh sekarang aku pulang pakai sepatu. Sepatu Bot.
Aku pulang yaaaaa. Daaaaaaah.
MALAM MINGGU KELABU 29 MEI 2009
Waiting All Day, No One Here!

Label:

Catatan KKN di Sukabumi

Jam menunjukan pukul 13.30. Cuaca masih terasa dingin. Desa Tangsel sepi. Tak banyak warga yang keluar. mereka pada sibuk bekerja sebagai buruh disebuah perusahaan sayuran. Disaat yang sama sepuluh mahasiswa UIN SGD Bandung terlihat berbondong-bondong menyusuri jalan yang terjal dan berbatu. Wajah mereka berkeringat, sesekali menghirup nafas sambil menikmati indahnya pemandangan kampung.

Ada hal yang menarik dari kedatangan anak-anak Bandung ini. Tak lain dan tak bukan untuk melaksanakan sebuah mata kuliah yang sebenarnya tak terlalu penting namun memakan biaya yang cukup menguras saku. Sekitar 1200 anak asuh Nanat Fatah Natsir ini mengabdi di seluruh desa yang ada di Sukabumi. Termasuk kelompok 004 yang mempunyai cerita dan kisah unik tersendiri.

Sebut saja Agus Nasir, pria kelahiran Tasikmalaya 22 tahun silam ini ditunjuk sebagai ketua kelompok KKN 004. Awalnya semua anggota terlihat pada jaim ketika pertemuan pertama yang bertempat di SUAKA, namun lama kelamaan hal itu hilang dengan sendirinya. Rupanya orang-orangnya pada asyik, suka bercanda sampai ada yang sudah menikah segala (hahaha…….. gak penting dech).

Walapun kelelahan akibat terjalnya jalur lokasi yang harus diobservasi, namun anak-anak kelompok 004 terlihat asyik menikmati pemandangan perkebunan, ditambah ada dua orang guide penunjuk jalan yang cukup baik dan bersemangat, ibu Ai namanya. Ia seorang Janda beranak satu. Suaminya meninggal karena sakit. Ia adalah perempuan yang murah senyum sekaligus yang memberi tumpangan rumah. Pokoknya Ibu Ai top banget dech.

12 Februari 2009 (15:30)
Tiba-tiba seorang bocah naik keatas truk. Tubuhnya kumal, tak bearalaskan kaki. Ia menggendong sebuah tas, berkaos biru belel dan memakai celana seragam SD. Namanya SuRohman, ia berumur 12 tahun, mukanya kecoklat-coklatan, raut wajahnya terlihat letih.

ia usai pulang dari sekolah. Setiap hari SuRohman harus berjalan. Jarak rumah menuju sekolahnya cukup membuat pegal kaki dan seluruh tubuhnya. Kira-kira dua kilo meter ia harus bolak-balik dan turun naik jalan yang terjal itu. SuRohman dibekali Seribu rupiah setiap hari oleh orang tuanya. Ia sekolah di SD Margawangi.
“unggal poe mapai-mapai lembur weh.” ucap SuRohman sembari menunjukan jalan yang penuh kerikil dan bebatuan.

Siang itu, Agus dan Saya berdiri bersama SuRohman, di belakang truk pengangkut sayur yang hendak menuju Tangsel. truk itu akan mengangkut sayuran yang telah siap dipasarkan ke pasar dan Supermarket.

Sementara Nurul dan Nasir agak nyaman duduk didepan, dekat supir. Sesekali Saya dan Agus harus membungkukkan kepala, karena pepohonannya sering membentur kepala saat mobil melewati rimbunan pohon disisi-sisi jalan.

“untung aya mobil euy” ucap Saya pada Agus tersenyum senang. Ditambah anggukan Agus mengamini. Mereka usai berkunjung sambil observasi dari kelompok 005 dan 006. Cukup melelahkan dan benar-benar membuat pegal kaki. Jarak lokasi posko kelompok 004 menuju kelompok 006 kira-kira lima kilo meter. Untungnya ada tumpangan gratis–mobil truk pengangkut sayuran.

Tangsel adalah sebuah kampung yang berada di desa Sukamaju kecamatan Sukalarang. Daerah penghasil sayuran yang cukup produktif di kabupaten Sukabumi. Desa yang lumayan erotis dan membuat kulit mengkerut kedinginan.

13 Februari 2009 (08:30)
Hujan gerimis dipagi hari. Warga Tangsel sibuk kerja bakti memangkas rerumputan di sekitar jalan. Anak-anak kelompok 004 dengan semangat membantu warga sekitar. Beberapa peralatan seperti golok, parang dan cangkul telah sigap ditangan mereka. Saya, Agus, Nasir dan Rohman mengenakan celana pendek membantu warga.
“ieu daun hanjuang, ayeunamah geus teu laku.” Ucap sorang warga pada saya sambil membabad habis pohon yang menghalangi jalan Tangsel.

Memang, dulu banyak orang Sukabumi yang sengaja membeli pohon hanjuang. Satu batang dihargai 5000 rupiah. Itu juga tangkai pohon yang besar, sama besarnya dengan pergelangan tangan orang dewasa. Tangkainyapun harus bercabang dua, mirip ketapel.
“Tah, jang nu laku mah anu cagak dua kapungkurmah, ayeunamah nu laku teh nu laleutik.” Tambahnya seraya memegang parang. Kami melanjutkan kerja sambil bertanya-tanya seperlunya sebagai tanda mengakrabkan diri.

Jalan mulai sedikit rapih. Rumput dan pepohonan yang menghalangi jalan sudah dibabat habis. Matahari sedikit muncul menyinari. Wajah dan tubuh kami mulai basah dan berkeringat. Sesekali kami mengusap dengan lengan baju.

Jam melaju pelan. Waktunya mandi dan bergegas sholat Jum’at. Kami pamit pada pak Umin. Agus, Anas dan Rohman duluan meninggalkan lokasi jalan yang di perbaiki. Saya sedikit ngobrol dengan pak Umin tentang keberadaan sosialisa Buku geratis Mahir & cepat menguasai Microsoft Office 2007 (Word,Excel,PowerPoint,Acces) tebal 423 halaman. segera dapatkan hanya di http://bukugeratis.4shared.comsi lurah dan caleg di sini. Dan selanjutnya saya pamit pulang. Pak Umin mengiyakan. “mangga.” Pak Umin adalah ketua RT 04.

14 Februari 2009
Jam menunjukan pukul 05:30. Posko KKN sepi. Anak-anak masih tidur. Biasanya mereka bangun pagi sekali. Agus tetap orang yang paling pagi bangun, tak lupa ia mandi meski air sangat dingin sekali. Tapi rupanya agus mulai terbiasa dengan air dingin itu.

Brrrrrr… bibirnya mengeluarkan suara. Menandakan gemetar kedinginan. Agus ganti baju lalu sholat. Sejurus kemudian, ia menggulingkan badannya ke tempat tidur. Kasur tipis namun membuat Agus nyenyak. Ia bisa bangun agak siang jika sudah mandi subuh.

21 Februari 2008 (13:00) Di Bandung
Ponselku berdering. Sebuah ringtone berbunyi ROBO N1X bordering agak pelan, volumenya 4. Nijma, temen sekelompok KKNku meluncurkan sebuah SMS. 3530 tipe Handphoneku. Warnanya biru. Saya suka sekali.

“Mik, didepan wartel UIN aja ya…” tulisnya.
Hari cukup gelap. Hujan turun pelan. Gerimis. Saya berjalan dari rumah menuju kampus. Jaket kulit hitam tak lupa saya pakai. Jaket yang hangat milik kakak saya, tapi lebih sering dikenakan saya. Kaki terus menyusuri jalan Cipadung, menunggu ojek agar lebih cepat menuju kampus, namun sayang ojek terlihat sibuk sama penumpangnya.

Ojek tidak ada yang kosong. saya terpaksa menunggu lebih lama. Tiba-tiba datang teman saya, namanya Ciwok, dia pengusaha printing yang diberi nama print plus. Ciwok menghampiri saya dengan menawarkan tumpangan. Saya senang dapat tumpangan gratis. Lumayan ngirit ongkos. Dan tak jadi naik ojek. Saya akan kembali ke Sukabumi. Mengerjakan beberapa program KKN yang belum terlaksana.

“Rek kahandap?” tanyanya
“ngiring ah?” jawabku sambil naik motornya dan dianter sampai tokonya, print plus.
Nijma tengah menunggu di depan bank BNI Kampus UIN. Baju warna cokelat dikenakannya. Hujan bertambah deras, kami menyudut mencari tempat aman dari air hujan. Ransel besar digendong Nijma, begitu juga saya. Tak terlalu banyak barang yang dibawa, sejenis pakain, flash disk dan sebuah kaset kosong untuk liputan. Namun recorder tak saya bawa, sepertinya Suaka lebih membutuhkan untuk keperluan liputan di kampus.

Sebenarnya sudah seminggu saya berada di Bandung. Ada alasan yang harus diselesaikan dengan urusan perkuliahan di kampus. Meminta ijin dan memberi keterangan pada setiap dosen saya. Pun dengan urusan Suaka, sekedar memberi semangat pada teman-teman dengan kepergian saya ke Sukabumi. Dan yang paling penting, mengambil jatah bantuan dana dari Depag. Lumayan buat nambah jajan di lokasi KKN.

Syukur mereka mengerti, mudah-mudahan mereka lebih mandiri dengan tidak adanya saya, walau sebenarnya tak sedikitpun yang saya berikan pada mereka. Let’s go Suaka!!
Hujan masih deras. Nijma dan saya memutuskan agar tetap pergi. Dengan langkah agak cepat kami menghampiri halte bus Damri Cibiru menuju terminal Leuwi panjang. Saya mengenakan sandal dan jeans. Percikan tanah akibat hujan sedikit membasahi dan mengotori celana.

Sandal ini milik ajeng. Pastinya dia kerepotan sandalnya saya pakai ke Bandung beberapa hari yang lalu. Ajeng tidak ada di Tangsel, ia pulang ke garut menemui suaminya, ia baru nikah beberapa hari yang lalu. Mungkin ia akan melepas rindu.

Tangsel Sukabumi 17:30
Hujan begitu deras saat kami memasuki kawasan Padalarang. Air menyeruak keatas jalan raya. Beberapa kendaraan mobil, motor dan bus terlihat hati-hati mengemudikannya. Lampu depan tak lupa mereka nyalakan. Termasuk bus yang kami tumpangi. Bus MGI warna biru tua. Bus yang nyaman.

Pangkalan ojek Tangsel di depan mata. Kami naik motor para ojek itu, namun hujan tak begitu deras. Sekedar gerimis tapi turun dengan cepat. Jaket kulit mulai basah. Di tengah jalan yang terjal itu Kami bertemu Nurul, dia baru ngedate sama pacarnya, katanya sih dia ABRI. Perawakannya agak kurus namun tetap tinggi. Rambutnya cepak. Tak jauh beda dengan style aparat lainnya. dia sudah dua hari nginep di posko, motornya disimpan di dapur jika sudah malam. Para pemuda sepertinya tak suka kedatangan ABRI itu, termasuk Hasan.

“mun tiasamah cariosan si aa eta” kata seorang pemuda Tangsel yang tinggi ini. Yang bermaksud pada si ABRI. Hasan tidak menghendaki kedatangannya. Makanya menyuruh kami agar bicara pada ABRI itu jika ia terus menginap. “bilih picarioseun.” Tambah Hasan malam itu. Agus, Anas dan saya manggut-manggut mengiyakan.

sejurus kemudian kami bertiga melahap habis nasi liwet yang sejak tadi dimasak para pemuda Tangsel. Pak RT juga ikut nimbrung. Kecuali Rohman, ia tidur pulas, juga si ABRI, tengah tidur nyenyak dikasur. Saya tidur jam tiga pagi, maklum belajar bikin video dulu di pinnacle yang saya beli di DPR kampus.

22 Februari 2009
Hari ini minggu. Matahari begitu bangga menyinari bumi ini. Sinarnya seakan memberi senyuman pada desa yang kami naungi. Tangsel. Sekaligus tempat kami mengabdi.
Saya belum mandi. Anak-anak kecil sudah setia menunggu di teras depan. Sedikit Deva menyapa.

“rek ka pemancar ayeuna.’’ Tanyanya semangat ditemani gerombolannya. Saya mengangguk mengiyakan. “rada beurangan Va.” Jawabku sederhana. Deva adalah salah satu murid yang kami asuh. Dia anak dari bos tomat. Sesekali Deva mengirim tomat pada kami.

Jadwal hari ini adalah jalan-jalan bersama anak-anak sambil refreshing. yang dituju yaitu sebuah tempat paling paforit di desa Tangsel ini. Pemancar. Ya, sebuah pemancar stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan tempat yang indah. Sebelumnya kelompok kami pernah melihat pemancar dari kejauhan.
Banyak penduduk sekitar yang sengaja datang ke pemancar. Di luar kota juga tak sedikit yang berkunjung.

“seueur namah ti Bogor a.” kata seorang tukang ojek.
Pemancar berada di tengah-tengah perkebunan teh. Selain itu terdapat pula tanaman sayuran yang di garap penduduk di sini. Wortel. Kol. Jagung sayur. Pekcay. Semuanya tampak mekar dan siap panen. Lidah saya kaku membayangkan sayuran itu jika seandainya sudah di depan mata dan masak. Hmm… lezaat.

Jalan-jalan adalah salah satu program yang kami canangkan. Tujuannya memberikan pembelajaran bagi masyarakat sekitar di alam terbuka. Anak-anak begitu menikmati perjalanan ini. Buktinya mereka tampak apresiatif dengan program outbond ini.
Jarum jam menunjukan sekitar pukul sepuluh. Puluhan anak sudah siap menunggu di posko. Juga ada yang tak sabar mengajak kami berangkat. Mereka gerombolan anak lelaki. Deva cs dengan sigap penuh gaya. Sepatu dan jaket membungkus badan ditambah ransel berisi makanan. Mirip petualangan si bolang. Kaya di TV TV. Deva kelas tiga SD.

Lets’ go. Posko kami tutup sementara. Kunci dititip ke teh Ai. Kami berbondong-bondong dan perlahan jalan kaki menuju pemancar. Di sekitar, para warga menyapa dengan ramah. Wajah mereka penuh senyum. Terlihat ada yang sedang mencari kutu di teras rumahnya. Biasa, orang-orang kampung suka mencari kutu satu sama lain. Ini dilakukan secara giliran.

“bade ka pemancar a?” tanyanya.
“muhun ibu, hayu atuh ngiring.” Jawab saya dibubuhi seyum lembut sebagai tanda ramah.
“mangga..mangga.” kata mereka dengan membalas senyum sunda.

Ada hal yang membuat kami sedikit gembira. Rupanya kami dapat tumpangan gratis dari warga. Sebuah truk pengangkut sayuran yang rela mengantar kami ketempat tujuan. Kebetulan truk itu akan mengangkut hasil sayuran yang lokasinya berdekatan dengan pemancar. Truk itu berwarna kuning. Bertuliskan Rizki Sayur di kaca depan. Rizki Sayur adalah salah satu perusahaan penampung sayur di Tangsel. Nama Rizki diambil dari salah satu anaknya. Pak Jujun nama pemiliknya.

Jalan tetap terjal dan bebatuan. Sesekali terlihat lengkungan jalan yang mulai cekung akibat dilindasi mobil-mobil pengangkut sayuran. Tak jarang mobil bergoyang ke kiri dan ke kanan. Tak jarang pula anak-anak sedikit teriak dan menjerit pelan dengan kondisi jalan saat mobil bergoyang tepat di lokasi cekung.

Medan jalan naik dan berbelok. Namun anak-anak begitu riang sambil bernyanyi naik naik ke puncak gunung. Sesekali mereka menyanyikan lagu bajingan yang di lantunkan wali band. Wajah mereka berseri dan polos. Anas dan kru ikut bernyanyi mendampingi mereka. Namun, Alin, Ajeng dan Ani tak hadir. Masing-masing, mereka punya keperluan. Saya duduk di depan dengan supir sambil membakar rokok dan mengepulkan kearah jendela. Sedikit kami mengobrol tentang sayuran.

Pemandangan sangat indah. Kami berada di dataran tinggi. Semua terlihat tanpa batas. Ini benar-benar anugerah yang harus di syukuri.

“wah indah nya mang.”
“komo upami wengi a, harurung ninggali ka kota teh.” Kata supir sambil memperagakan matanya yang menunjuk ke bawah. Kami di puncak. Sebentar lagi sampai di pemancar. Di belakang, anak-anak masih seru, bernyanyi dan berteriak. Di pinggir, berjejer pohon teh. Semua hijau. Mata tak jemu memandang. Udara segar di hidung. Beda sekali dengan udara Bandung. Tapi hari ini petani tak kelihatan.

“minggu mah libur a.”
“Ooooh…” saya mengangguk. Namun sesekali terlihat petani yang mengangkut sayuran dengan motor, sambil mengambil arah ke sisi karena jalan cukup untuk satu mobil. Sebagian besar warga Tangsel hidup bertani. Ada juga yang berburuh pada perusahaan sayuran yang ada di desa ini.

Pemancar sudah sampai. Kami semua turun dari truk. Terlihat para pemuda penduduk sekitar yang kongko-kongko sambil bermain gitar. Ada juga yang sengaja membawa catur ke tempat ini. Di depan pemandangan sangat luas. Masih di penuhi pepohonan teh yang tak menghabiskan mata memandang. Anak-anak berlarian kegirangan.

Sebuah tower pemancar berdiri tegak menantang langit. Disampingnya terdapat sebuah rumah yang gaduh dengan suara mesin diesel. Berisik. Rumah ini di huni oleh sebuah keluarga. Mereka bertugas sebagai penjaga pemancar ini. Rumah yang cukup luas. Saya dan Agus sempat masuk kedalam rumah itu. Ikut buang air.

Halamannya lumayan luas. Ada gerbang dan sebuah pos penjaga tua. Sepertinya sudah tidak dipakai lagi. Banyak coretan yang kotor di dinding pos itu. Sementara di tembok rumah terlihat terlihat sebuah keputusan resmi yang di tandatangani menteri penerangan Harmoko dari sebah keramik pada Tahun 1983. Ini berarti pemancar dan rumah ini sudah berdiri 26 tahun.

Nurul mengajak anak-anak bermain. Membuat suatu lingkaran dan bernyanyi riang. Anak-anak sumringah menjalaninya. Agus mencuri foto. Jepret sana jepret sini memotret anak-anak yang bermain. Rohman duduk di pinggir, di bawah pohon yang rindang.

Tak lama kami di pemancar. Sekedar melepas penat di posko sambil mengajak cara belajar yang lebih segar. Kami langsung berlari ke kebun teh. Bergaya seunik mungkin. Berfoto bersama. Gaya-gaya narsis terlihat tanpa peduli. Mereka senang.
Para pemuda sekitar tetap duduk-duduk dan bernyanyi. Kami memutuskan pulang ke Tangsel karena siang sudah menyengat. Anak-anak tak hilang semangat. Mereka berlarian menyusuri kebun teh. Isor berjalan pelan sambil bercakap-cakap dengan segenggam handphonenya. Jalanan turun. Ada sedikit tanah yang licin.

Di tengah jalan kami bertemu dengan kelompok 006. Rupanya Mereka hendak ke pemancar juga. Sejenak kami ngobrol dengan mereka. Terlihat si ibu pemilik rumah yang didiami kelompok 006 ikut pula. Dan putrinya yang eksotis itu juga hadir saat itu. Namanya Wulan. Katanya dia masih sekolah kelas dua SMK. Temen-temen kelompok 006 pada naksir padannya. Sesekali mereka mengantar dan menjemput Wulan kesekolah.

23 Februari 2009
Di dapur, teman-teman sedang masak. Aromanya menghentak hidung saat saya berada di kamar mandi. Jaraknya bersampingan antara dapur dan kamar mandi. Hari ini Nurul, Nijma dan Isor memasak mie goreng campur sosin. Tak lupa makanan wajib di hidangkan. Sambel goreng dan krupuk sebagai penambah citarasa masakan.
Ketiga perempuan ini pintar masak. Saya selalu ketagihan mencicipi masakannya. Di kamar mandi, saya bergegas keruangan tengah, ikut nimbrung menikmati sarapan pagi. Menu hari ini sangat sederhana. Namun nikmat kebersamaan tak pernah hilang dari kami.

Beberapa potong mentimun yang diiris Nijma menambah maknyus sarapan pagi ini. Ajeng, Alin dan Ani belum kembali ke Tangsel. Seperti biasa saya selalu mengambil nasi lebih dari sekali. Sambel pun tak ketinggalan diciduk menemani mie goreng yang gurih itu. Top markotop banget pagi ini.

Sebatang rokok Djarum Super saya bakar lalu mengepulkannya ke udara. Agus melakukan hal yang sama seperti saya. Menyalakan rokok dengan sebuah zippo miliknya. Warnanya kuning keemasan. Tapi zippo ini tak bersuara seperti kebanyakan zippo lainnya. Biasanya sebuah zippo bersuara ‘cring’ jika hendak dinyalakan.

Saya dan Agus menikmati keindahan tangsel ini. Di ruang tamu, sebuah meja dan tiga sofa mengiringi nuansa yang sejuk dan dingin pagi ini. Rokok tak hentinya kami kepulkan. Sejurus kemudian Anas dan Rohman menghampiri. Mereka berdua tak suka merokok.

Hari ini Agus menugaskan Saya dan Rohman menyebarkan proposal kegiatan. Untuk kendaraannya kami dikasih pinjaman sama kelompok 006.
“Jam satengah salapan nya arinditna.” Ucap Agus.
“Kalem ngaroko heula euy, kagok.” Jawabku.

Sementara, Isor tampak segar pagi ini. Ia berdandan tak seperti biasanya. Hari ini ia mesti pergi ke Bogor mendatangi saudaranya yang mau hajatan. Di ruang tengah, Nijma duduk sambil mengalungkan handuknya. Nijma menunggu Agus yang sedang merendam pakaian. Pagi ini kamar mandi antri banget. Nijma juga hendak mandi. Ia akan pergi ke Sukaraja. Belanja kebutuhan kelompok.

Saya, Rohman, Isor dan Nijma terlihat ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Kami semua sudah mandi. Bermacam parfum menyengat menusuk hidung. Masing-masing akan pergi sejenak meninggalkan posko. Dua buah motor ojek tampak siap mengantar kami ke Sukamaju.

Sebelumnya, aura narsis tak pernah hilang. Kami berpose sejenak di teras rumah. Sedikit bergaya di depan kamera. Anas menjepret kami empat kali. Warga sekitar dan tetangga menatap kami tanpa kata. Kami cuek tak menghiraukan.
Motor tak dinyalakan. Namun kami sudah naik. Isor dan Nijma menaiki RX King di depan, Saya dan Rohman menunggangi Smash. Tukang ojek Cuma menggulutukannya. Mereka perlahan menyusuri jalan. Penuh kerikil dan bebatuan seperti biasanya.

“parunten.” Ucapku pada pemuda yang sedang nongkrong.
“mangga..mangga.”
Miftahul Khoer, Mahasiswa Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Senang Menulis Dan Belajar Menanam Di Halaman Rumah.

Label:

Di Suatu Rabu

Rabu, 2 January 2008, aku duduk sendirian berteman sepi tanpa orang-orang disini di SUAKA ini, tempat aku mendapatkan segala hal yang belum pernah aku dapatkan. Tadinya sih disini lumayan rame dengan kedatanganku temanku fajar, dia itu teman sekelasku, orangnya sangat pede menghadapi hidup ini. menurutku, dia sangat antusias sekali dengan bisnis yang sedang di lakoninya ini, duta network, ya duta network lah yang sedang membuat ia sibuk, sepertinya ia sangat mencintai sekali dengan bisnisnya itu.

Tadi siang kita nonton film bersama di sini, lumayan lah filmnya cukup membuat kita berdua tegang, menceritakan tentang seorang pianist yang hidup di tahun 1940-an, yang kala itu orang polandia di jajah habis sama jerman, jerman sangat menindas polandia saat itu dan yang selamat hanyalah si pemain pianis itu.

Uh pokoknya top banget filmnya, judulnya the pianist, film itu aku pinjem dari temanku yang bernama iwan, tapi dia dipanggilnya engko karena matanya sedikit sipit kaya orang cina, dia itu orangnya unik banget dan suka membuat temantemanku tertawa terbahak-bahak, tapi saying dia sekolahnya gak tamat, jadi dia kerjanya Cuma nongkrong aja, tapi kadang kadang dia juga suka membatu orang tuanya membuat sapu yang terbuat dari bambu, lumayan lah dia jadi dapat penghasilan gara gara bikin sapu itu.

Setelah itu sekitar sorean, dengan hujan lumayan rintik- rintik temanku yuli datang kesini, dia menanyakan soal PPL kita, wah suasana jadi rada hangat ketika ia datang, dia kan orangnya cerewet habis, dasar orang lampung, he he he .. tapi dia baik banget sama orang lain, dia tuh lumayan fair sama teman, dia juga pede banget sama pacarnya yang anak MenWa itu.

Iya. Tadinya kelompok PPL ku itu berenam sama teman yang lainnya, tapi gara gara aku dan fajar di tempatkan di Bandung TV sama pak Dadan . masalahnya jadi runyam deh. Teman sekelompok ku yang lainnya jadi buyar, mereka seolah olah memisahkan diri, ya aku juga jadi merasa bersalah sih, tapi harus bagaimana, pihak bandung TVnya Cuma membutuhkan dua orang saja, duh jadi kasihan uy sama teman-temanku yang lainnya.
Waduh gawat, masalahnya aku belum bikin proposalnya, padahal pihak Bandung Tv ngasih waktu sampai hari kamis saja, wah gawat nih harus gimana dunk?.

Duh kacau. Waktu sudah malam lagi, aku disini masih sendirian, yuli ma sifajar udah pada pergi, dan aku hanya ngetik apapun yang aku bisa tulis di computer ini sambil mendengarkan lagu Malaysia, he he … rupanya pada enak juga lagu-lagunya, lumyan buat menghibur hati ini yang lagi agak teu paruguh!!!

Label:

UIN Jadi Pasar Kaget

Hari ini kampus kaya pasar saja. Banyak pedagang menggelar barang-barangnya. Besok hari wisuda. Mahasiswa yang beres kuliah pasti akan senang dan gembira menunggu hari bersejarah itu. Ini tak seberapa, menuju malam, kampus tak akan kelihatan. Benar-benar akan menjadi pasar kaget. Tak percaya? Coba besok kita lihat saja. Sekarang 13 Maret 2009.

Cuaca panas sekali sehabis jum’atan. Agus Kosasih teman KKNku datang ke Suaka. Seperti biasa ia berpenampilan serba hitam. Topi. Kaos bertuliskan sebuah music rock cadas, Kiss dan tak lupa kalung berlogo Israel menggantung di tengah lehernya.

Aku dan Nopi tengah berbincang di ruang kerja Suaka. Agus duduk dan larut dalam obrolan kami. Ia tak banyak bicara cukup mendengarkan. Sesekali manggut-manggut.

Ada yang kurang ditengah obrolan siang itu. Identitas sebagai lelaki sejati belum tampak. Dengan sedikit sindiran aku sedikit mengeluarkan batuk kecil bernada lelucon “rohokoo”. Sontak kami bertiga tersenyum geli sambil merogoh saku masing-masing.

“ieu aya goceng (ini ada lima ribu).” Kata agus mengawali.
“yeuh tambahan (nih tambahin).” Aku menimpali.

Uang tercecer 9000 rupiah diatas karpet merah yang sudah beberapa tahun belum dicuci. Nopi tak menyianyiakan. Segera ia menyerobot duit yang bertebaran itu.

“belikan apa nih?”
“roko apa aja deh. Mau super mau kretek. Bebas.” Kata agus simple.
“beli kopinya Pi.” Aku menambahkan.

Ruangan Suaka terlihat berantakan setelah kurang lebih satu bulan aku meninggalkan kampus menuju Sukabumi. Ada tugas akademis yang harus diselesaikan. Kuliah Kerja Nyata yang akrab di sebut KKN. Tapi dalam hati aku tidak menganggapnya sebagai KKN tapi sebatas liburan yang menyenangkan. Rasanya tak mau berpisah dengan Sukabumi, khususnya sebuah dusun yang cantik dan erotis. Dusun Tangsel. Daerah penghasil sayuran yang produktif.

Kopiko brown coffee berwarna coklat terseduh dalam sebuah cangkir berwarna pink. Asapnya mengepul keatas langit-langit dan merayap terbang lambat menuju jendela. Aromanya harum. Aku, Nopi dan Agus mulai membakar rokok. Perbincangan dilanjutkan. Agus tetap diam dan manggut-manggut.

Di luar terdengar suara perempuan mengucapkan salam. Napasnya berirama kencang naik turun. Nora Melinda Hardi masuk dalam posisi kami. Ia menggenggam sebuah kamera milik Suaka. Katanya ia tak jadi liputan karena tamu dari University Of California tak jadi datang. Wajahnya terlihat sedikit kecewa. Kamera diberikan padaku.

Nora adalah gadis asal Palembang, Sumatera Barat. Perawakannya tinggi sekitar 150 cm. wajahnya lucu dan menggemaskan. Bicaranya kadang membuat orang ingin mencubitnya. Sesekali ia suka mengeluarkan suara-suara yang gak jelas dari mulutnya. Mirip suara binatang yang gak ada dalam habitatnya. “ngeong..ngeong..ngeong.”

Nora tak lama di Suaka. Ia bergegas keluar ruangan. Kayaknya pergi ke Bank BRI. Kami bertiga sempat bercerita tentang perjalanan pulang dari KKN. Terdapat peristiwa yang cukup mendebarkan hati kami. Masing-masing dari teman kami mengalami kejadian saat pulang ke Bandung. Agus ketua KKN aku sempat menabrak seorang perawat rumah sakit al Islam yang hendak nyebrang. Sedangkan teman Nopi terpaksa dilarikan kerumah sakit akibat tabrakan mobil. Pengemudi, Gigi dan rahangnya retak. Namanya Bobi, anak Psikologi. Untung tidak wafat seperti yang di tabraknya.

Tiba-tiba Nora kembali ke Suaka. Nafasnya belum stabil. Sesekali ia menatap wajah Agus. Aku yakin dia tidak mengenalnya. Nora menanyakan jadwal buka kantor pos dan mengajakku untuk mengantarnya sekalian ngambil laptop yang ia janjikan kemarin. Tanpa basa-basi aku menerima ajakannya.

“Pi pinjem motor bentar mu ambil laptop.” Kataku.
Nopi terlihat ngantuk tapi rela memberikan kuncinya padaku. Agus masih saja diam dan mengangguk saat aku suruh “tunggu sebentar.”

Motor Legenda aku nyalakan. Di sekitar kampus orang-orang hilir mudik memasang persiapan dagangannya. Remnya agak blong dan membuat Nora ketakutan saat aku menyusuri jalan Cipadung. Perjalanan dimulai.

Label:

Jumat, 29 Mei 2009

Artis favoriteku



andara early dan Frances Fabean

Label:

cokelat


ini cokelat... tapi bukan cokelat afrika

Label:

Maraknya Media Kampus Di UIN

Abraham Lincoln pernah membumingkan slogan yang dahsyat saat rakyat Amerika membebaskan diri dari kolonialis Inggris, “Freedom for the People, by the People and of the People”. Atau kalau bisa diterjemahkan bebas dengan bahasa mahasiswa bisa diartikan “berfikir merdeka, bersuara merdeka, hak mahasiswa merdeka.”

Tempo lalu saya diundang dalam acara Orasi yang diadakan radio kampus Mandalla. Acara ngobrol santai sambil diskusi ringan mengenai maraknya media kampus di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Disana ada dua perwakilan media, Lembaga Pers Mahasiswa SUAKA dan Independent Voice. Obrolan tak jauh dari seputar penerbitan, kerja redaksi sampai ideologi masing-masing media. Namun agaknya acara ini terasa hambar, melenceng dari tema yang disuguhkan Fenomena Maraknya Media Kampus tidak sepadan dengan tamu yang diundang. Tidak mewakili keseluruhan. Selebihnya, acara menarik untuk di simak para pendengar.

Pers, khusunya pers mahasiswa muncul awalnya untuk menjadi anjing penggonggong kekuasaan bukan menjadi anjing piaraan yang rutin setiap minggu datang ke salon binatang. Pers mahasiwa pun bisa professional malah lebih garang dari media mainstream yang hadir era ini. Pers mahasiswa adalah kerikil buat birokrat kampus yang lalai dalam menjalankan kewajibannya.

Ada hal yang harus diperhatikan dalam penerbitan pers mahasiswa. Mulai dari standar jurnalisme yang independen memberitakan kebenaran untuk mahasiswa dan publik civitas kampus. Disini haram adanya intervensi dari pihak manapun. Loyalitas dan sumber daya manusia dituntut keras dalam memenuhi disiplin pers mahasiswa itu sendiri.

Namun dari standar jurnalisme diatas, rupanya pers mahasiswa masih kedodoran dengan hal semacam itu. Tak sedikit penerbitan mahasiswa terkatung-katung dan molor untuk di terbitkan. Alasan sibuk kuliah, tugas numpuk, masalah pribadi yang harus di selesaikan, sampai problem yang lainnya yang lebih krusial menurut awak pers mahasiswa itu sendiri. Ini kerap menjadi alasan jarang hadirnya dari rapat redaksi. Dan yang paling klasik adalah masalah finansial. Titik.

Masalah lain yang harus di tengok pers mahasiswa adalah narsisme penerbitan yang cenderung onani. Tak sedikit pers mahasiswa khusunya di kampus UIN yang didominasi tentang pemberitaan seputar program-program yang telah terlaksana dari masing-masing organisasi mereka sendiri. Padahal ada yang lebih penting dari pemberitaan banci seperti itu.

Label:

Lomba Demo

Aksi mereka terkesan individual, sebenarnya mereka mengaspirasikan untuk siapa?

Baim membakar sebuah ban bekas. Api nyaris melahap wajahnya. Ia mahasiswa PMI Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Kulit agak gelap. Mata belotot. Rambut kriting dengan menyisakan sejumput rambut dibagian belakang. Ia adalah orator unjuk rasa yang tak asing di kampus Sunan Gunung Djati Bandung. Cuaca siang itu panas menyengat kulit.

“memangnya kita anjing-anjing kalian, kita tidak ditanggapi. Anjing semuanya” Ujarnya.

Sebuah lingkaran dibuat. Persis di tikungan gedung rektorat. Nyanyian terus dikumandangkan masa BMPK. Jalan utama kampus sedikit terganggu. Pria berperawakan kecil membacakan beberapa bait puisi. Sejumlah wartawan sibuk mengambil gambar. Api terus berkobar. Asap hitam naik menembus langit. Pekat.

Rabu 8 April 2009. kampus Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung menjadi perhatian seluruh civitas kampus dan warga sekitar. Aksi unjuk rasa digelar dua masa. tepat dengan pelaksanaan Dies Natalis UIN SGD Bandung yang ke- 41.

Mulanya, masa pertama yang dinamakan Himpunan Mahasiswa Sunan Gunung Djati (HAMAS) start dari DPR (Dibawah Pohon Rindang) dengan berteriak sembari mengacungkan tulisan yang berisi beberapa tuntutan dalam karton. Beberapa menit kemudian masa BMPK (Barisan Mahasiswa Peduli Kampus) menyusul dengan menyuarakan tuntutan berbeda.

Sementara, di aula, sejumlah para petinggi kampus tengah mengikuti acara ulang tahun yang ke- 41. orang nomor dua di Jawa Barat, Dede Macan Yusuf ikut menghadiri acara tahunan ini. Dan para demonstran merapat menuju area parkir tepat di depan auditorium utama.

Suasana mulai kacau. Terjadi saling seret antara demonstran dengan keamanan. Ini menjadi tontonan gratis yang menarik bagi mahasiswa dan sejumlah tamu yang hadir. Teriakan terus terlontar dari dua masa. Para tamu yang hadir, terlihat menyaksikan masa aksi ketimbang menyimak acara di aula.

“ini konyol. Kayak gak ngerti organisasi masa aja. Saya gak ngerti apa yang diomongin. Kalo mahasiswa demo kaya gini, mungkin dulu Suharto gak bakal turun.” Ujar Tece salah satu penonton demo.

Pelataran area parkir dan jalan kampus tak sepi dari mahasiswa yang melihat demo siang itu. Tuntutan demi tuntutan tak henti mereka aspirasikan. Namun rada unik memang. Kedua masa seolah sedang mengikuti lomba demo di acara Dies Natalis. Masing-masing dari kedua masa saling berteriak. Siapa yang lebih bombastis tuntutannya. Tak sedikit para penonton yang tertawa geli sambil menggelengkan kepala.

“tidak mencerminkan mahasiswa banget. Masa demo kaya gitu. Katanya ingin perubahan. Tapi merekanya sendiri tidak bersatu. Harusnya mereka bicara baik-baik.” Kata Titih, mahasiswa Psikologi.

Petugas keamanan mondar-mandir memantau acara Dies Natalis dan demo. Seragam serba hitam. Wajah mereka serius. Sesekali mereka membakar rokok. yang lain terlihat tengah berbisik dengan sejumlah para petinggi kampus. Sisanya berjaga dengan posisi tegap.

Bukan hanya mahasiswa biasa yang menghadiri aksi ini. Terlihat beberapa ketua senat mahasiswa fakultas dan ketua dewan mahasiswa hadir di perayaan ulang tahun ini.[]

Label:

Cokelat Afrika

Rabu 22 April, jarum jam melebihi pukul 14.00. saya keluar dari Suaka sejenak, sekedar membeli rokok dan sebungkus kopi yang tersedia di mini market Koperasi Mahasiswa. Diluar terlihat orang-orang yang sedang berbelanja buku murah yang dikemas Islamic Book Fair ala Kopma. Aneh juga memang, tempat para aktifis mahasiswa–Student Center (SC) ini di jadikan ajang mencari duit oleh segelintir Unit Kegiatan Mahasiswa. Tapi tak apalah, saya tak pedulikannya.

“mas ini berapa jadinya. Sampoerna Kretek dua batang, Nescafe satu, Sukro Satu.” Kataku.
“jadi dua ribu lima ratus.” Jawabnya sederhana.

Tanpa berdiri lama saya melangkah kembali ke Suaka. Gelas plastik disiapkan, Lalu saya masukan dengan Nescafe yang saya beli. Dan mengaduknya perlahan. Kopi yang harum. Memanjakan lidah saya untuk segera menyedotnya. Nikmaaaaat benar. Alamaaak mantap kali hari ini. Maknyus.

“assalamualikum.” Kata Sindi tiba-tiba datang ke Suaka. Segera saya membalasnya dengan jawaban biasa. “waalaikum salam.” Sindi langsung duduk dikursi depan yang pendek. Ia mengutak atik handphone-nya, mungkin ia sedang sibuk mencari gelombang radio di hapenya itu. Soalnya saya harus beberapa kali mengulang kata-kata jika sedang bicara dengannya. Mungkin kupingya fokus sama telefon genggamnya.

Sindi datang untuk ikut acara diskusi yang diadakan Suaka tentang carut marutnya pemilu kemarin. Memang udah basi sih, tapi emang asyik juga untuk diikuti. Sindi langsung menawari saya sebuah cokelat, katanya oleh-oleh dari Afrika yang dibawa kakak iparnya.

“mau donk.” Seloroh saya.

Hmm… saya tak menyianyiakan. Cokelat langsung saya telanjangi. Lalu kumasukan kedalam mulut. Wow, minta ampun enaknya. Benar, ini cokelat rasanya export banget. Jadi ketagihan nih. Pengen coba lagi. tapi di kantong Sindi, kayaknya cokelat terahir.

Diluar terlihat Nora, Nuri dan Ilma sedang asik memilih buku. Padahal hujan jatuh dari langit agak merapat kencang. Tak kenal kompromi. Tapi mereka dan pembeli yang lainnya seperti tak menghiraukannya. Untung saja jualan bukunya di SC, kalo di luar, wah udah pada basah tuh buku-bukunya. Dan Sindi masih betah dengan handphone-nya.

Waktu terus merayap perlahan. Satu persatu peserta diskusi berdatangan. Hujan masih menetes dengan cuma-cuma. Kopi terus saya sedot. tak lupa kepulan asap saya keluarkan dari mulut. Sore yang nikmat. Apa lagi hujan, menambah sempurna dengan kepulan-kepulan yang menjalar kearah jendela. Saya duduk di kursi yang panjang. Yang pendek cuma satu. Sebenarnya ada dua sih tapi lagi di pinjam sama anak PBI yang lagi menggelar the tenth SAEED anniversary. Sampai sekarang kursi tak kunjung kembali. Benar-benar peminjam yang tidak bertanggung jawab.

Asap saya kepulkan keatas. Rokok yang pas buat sore ini. Sampoerna kretek is my best friend cigarette. You are my soul mate baby.

Satu persatu anak-amak SUAKA berdatangan. Indah, Aida, Nurhikmah, Hari dan kawan-kawan diam sejenak di ruang tamu SUAKA. Jam udah berjalan menuju sore. Hujan masih gerimis.

“ayo kita mulai, udah pada datang tuh.” Kata saya mengawali.

Anak-anak pun masuk ke ruang utama SUAKA. Ruang tempat istirahat kami yang terdapat dua buah kasur yang sudah beberapa tahun tak kami cuci. Tapi itu tak jadi soal. Yang penting kami bisa tidur dengan nyaman. Dan yang pasti ngorok sampai terdengar ke tetangga.

Iyya mulai bicara membuka acara. Para anggota SUAKA duduk dengan khidmat mendengarkan makalah yang ditulis Fikri. Tema yang diusung kali ini adalah “Nyontreng Ajang Untuk Golput?”. Fikri bicara dengan nafas yang khas. Para peserta diskusi menyimak dan sedikit manggut-manggut. Sebenarnya acara diskusi itu buat melatih bicara orang-orang di Suaka, tapi kok kayaknya mereka masih malu-malu kucing.

Kopi tinggal sedikit lagi. mungkin tiga sedotan juga sudah raib. Tapi saya masih menghisap sisa rokok yang masih setengah batang lagi. konon kata orang, yang paling nikmat dari rokok itu justru detik detik terakhir menuju puntung. Wah masa sih?.

Rasa cokelat masih menempel di lidah. Hisapan terakhir saya kepulkan dengan sangat penuh kekhusuan. Perlahan saya mengepulkan asapnya. “puaaaaaaaaaaahhhhhhhh.” Dan terlihat sebagian para peserta diskusi menggerakan tangannya mengusir asap yang saya kepulkan. Hmm… mudah-mudahan Sindi bawa cokelat lagi besok. []

Label:

Mading dan Buletin Buat Pramuka

Dua hari yang lalu saya menerima telefon dari seseorang. Suaranya perempuan. Nadanya penuh semangat dan menggebu-gebu. Saya tak lama mengangkat telefon.

“ini ma kak miko”?

“ya.”

“saya dari pramuka. Mu nanyain kesiapan kakak menjadi pemateri di acara Perskom Pramuka.”

Saya tidak begitu kaget mendengarnya. Karena sebelumnya teman saya Wicak sudah bicara, bahwa tadi siang ada anak pramuka yang meminta anak suaka ngisi materi di acaranya. Wicak mendelegasikan saya sebagai pengisinya. Dan dia juga yang ngasih nomor handphone saya pada si perempuan yang berambisius di telefon itu. Belakangan namanya saya ketahui, Kokom. Wew, Sundanis banget namanya.

“oh iya, siap. Berapa orang pesertanya”? jawab saya santai dan sedikit degdegan.

“sekitar 30 pesertaan.”

Wow. Benar-benar tawaran yang menantang bagi saya. Memang sih sebelumnya juga pernah ngisi materi Layout dan fotografi yang digelar oleh sebuah bulletin milik pesantren Al-ihsan, El Qolam. Tapi ya seperti biasa, rasa gugup saya suka datang tiba-tiba jika berhadapan dengan orang banyak. Hehehe. Selebihnya asik banget deh tadi pagi.

Dua Mei 2009, malam minggu begitu sepi. Jarum jam terlihat melebihi angka pukul tujuh malam. Besok pagi saya harus benar-benar memberikan yang terbaik buat peserta diklat manajemen buletin dan mading. Sementara saya belum siapin materi sedkitpun.

Tanpa pikir panjang, saya langsung buka file yang ada di komputer Suaka. Semua artikel tentang jurnalisme, mulai dari para penulis favorit saya, Andreas Harsono, Agus Sopian, Ahmad Yunus dan rengrengannya saya ubrak abrik. Siapa tahu ada yang nyangkut dengan tema buletin dan mading. Yuhu… saya teringat dengan kitab para jurnalis, buku yang wajib dibaca oleh seluruh wartawan di dunia ini, Sembilan Elemen Jurnalisme. Ya, buku itu tak lupa saya ambil dan masukan kedalam daftar outline.

Merasa kurang bahan, saya langsung bergegas ke warnet. Cari bahan yang berhubungan erat dengan pengelolaan buletin dan mading.

Waduh… mu ke warnet gimana, sementara disaku uang gak nyangkut sepeserpun. Dasar otak saya ini agak encer sedikit (hehehehe), saya langsung meluncur ke kosan Lina, bendahara Suaka buat transaksi uang. Lina, bagi saya adalah bank pribadi saya. Saya bisa P****m (maaf disensor, rahasia, hehehe) uang sama dia.

Yes. Saya udah dapat bahan. Tinggal menyusunnya. Saya putar kaki saya ke Suaka lagi. mengetik outline buat dijadikan bahan. Sekarang malam begitu sepi. Arloji sudah berdetak ke arah jarum 11 malam. Sial benar, tidak ada tembakau buat menemani dinginnya malam ini. Tapi tumben, gak ada nyamuk malam ini.

Seselai sudah naskah diketik. Tinggal menyimpan tenaga buat besok. Melipat mata dan merebahkan tubuh diatas kasur. Tetapi tidak empuk lagi kasurnya. Tak lupa alarm di handphone saya reset pada jam lima pagi. Saya sadar besok harus bangun se early mungkin. Lampu Suaka saya matikan. Alam sadar sudah gak terasa. ZzzzZZzzz.

Tiga Mei, hari minggu yang cerah. Pagi ini saya pulang menuju rumah, buat persiapan ganti baju. Ditengah jalan, saya mendapati tukang bubur ayam. 10 meter sebelum gerobak tukang bubur, otak saya langsung kepikiran merogoh saku celana.

“mang sabungkus. Bae receh mang?”

“ah.. teu nanaon.”

Hmmm… bubur terlihat lezat. Empat keping duit 500 saya simpan digerobaknya. Terdengar sedikit suara “cring” akibat beradunya gesekan antara duit tersebut. Saya gak sabar mencicipinya. Sekedar pengumuman saja, pagi ini saya memerawani sebagai the first buyer of the bubur at the morning.

“pake sambel”?

“saeutik mang.”

Yap. Saya meneruskan perjalanan saya menuju rumah, sambil menjingjing kresek hitam berisi bubur. Harumnya menerobos rongga hidung. Saya semakin gak sabar pingin membombardir itu bubur.

Sesampai di rumah, saya langsung bergegas mencari sebuah mangkok dan sendok. Yeaaaaah. Tanpa memikirkan dan melihat sekitar rumah. Bubur langsung saya sabet. Sendok demi sendok. Kerupuk demi kerupuk. Saya lempar ke mulut yang mulai kelaparan ini. (haha lebai)

Setelah makan dan merasa perut bertambah, handuk langsung saya cari, dan bergegas menuju kamar mandi.

“burr…byur..”

Suara air begitu merdu. Hari ini saya memecahkan rekor sebagai seseorang yang mandi lebih cepat dari orang lain. Tidak nyampe 2 menit.

Waduh, suara telefon bunyi lagi. saya curiga ini pasti Kokom. Ternyata benar dia penelfon terbanyak dua hari terahir ini.

“kak miko udah siap. Lagi dimana”?

“oke. Siap. Sebentar lagi nyampe kampus.”

“oh iya makasih. Asaalamualikum.”

“tut…tut…tut”

Suara motor bandit begitu kencang terdengar. RX King saya kebut. Tak nyampe lima menit menuju kampus. Aula Studet Center sudah dijejali peserta. Kokom langsung menyerobot kearah muka saya.

“ kak miko langsung kebelakang ya. Ngisi dulu curriculum vitae”

“ oh iya “ kata saya simple.

Pagi ini jantung berdetak agak kencang. Para peserta terlihat serius menunggu saya. Saya duduk sejenak di belakang kursi peserta. Menunggu dipanggil oleh moderator. Sebelumnya saya suruh panitia buat fotokopi bahan.

“baiklah kita panggil pemateri kita… kak Miftahul Khoer silahkan maju kedepan.” Kata seorang moderator yang saya lupa lagi siapa namanya. Saya melangkah menuju kursi istimewa. Di depan meja ada microphone. Saya tak menyiakannya. Berjuta kata basa basi saya lontarkan. Awalnya para peserta terlihat diam-diam. Tapi saya ajak mereka dengan asik dan enjoy.

Materi pertama saya coba menerangkan tentang apa itu pers, peran pers dan hal hal yang berkaitan dengan pers. Terutama tentang pers kampus. Sejarah penerbitan dan media era pemerintahan Suharto saya sisipkan. Bagaimana Orde baru mengkerangkeng media. Sebut saja Tempo, Detik yang dibredel saat itu.

Para peserta manggut-manggut. Posisi duduk, saya buat senyaman mungkin, walau saya masih merasa rasa gemetar bergejolak di dada ini. Moderator di pinggir saya begitu antusias menyimak kata-kata yang terlontar dai mulut ini.

Di depan, para peserta dengan gagah mengenakan batik yang khas. Cantik dan tampan. Saya juga pake batik, soalnya Kokom menyuruh saya pake batik. Ya sudah, batik ayah saya pake, walaupun agak bolong dikit pas di ketiak. Itu soalnya saya pake jaket. Jaket kenangan dari KKN di Sukabumi.

“ada yang tahu gak apa itu mading”? Tanya saya memancing peserta.

Berbagai jawaban terdengar dari mulut peserta. Yes, saya berhasil mengajak mereka berkomunikasi. Rupanya mereka sudah mulai bersemangat. Tapi kursi di sebelah kiri saya masih kosong. Mungkin belum pada datang peserta yang lainnya.

“majalah dinding kak.” Jawab salah satu peserta antusias. Yang lainnya sama menjawab seperti itu. Namun agak terlihat malu-malu.

Materi saya lanjutkan dengan mulai membahas bagaimana memenej atau membuat mading dan buletin. Berbagai ilmu dan pengalaman yang didapat, saya share sama peserta. Dan mereka masih manggut-manggut. Sesekali mencatat apa yang saya bicarakan.

Yang paling pokok dalam mengelola mading dan buletin adalah disiplin dan kesungguhan. Tak sedikit para pembuat dan pengelola tidak bisa bertahan lama dengan penerbitannya. Disini peran orang media dengan loyalitas tinggi sangat diperlukan dan harus diperhatikan oleh para pembuat media—buletin dan mading.

Setelah cukup materi yang saya paparkan, saya mengajak para peserta untuk membuat dua kelompok, mading dan buletin. Masing-masing harus membuat media, juga susunan pengurus dengan waktu cepat.

Awalnya mereka masih malu-malu berbaur dengan yang lain. Tapi lama kelamaan, akhirnya aura keakraban terpancar dari masing-masing peserta. Posisi duduk melingkar. Satu orang kebagian job sendiri. Susunan pengurus sudah mereka buat. Tawa kecil terlihat. Mereka enjoy dengan materi ini.

Moderator berbisik, waktu Cuma beberapa menit lagi. pemateri yang kedua sudah datang. Para peserta masih asik dengan kerjaannya. Saya sesekali mengasih semangat pada mereka. Mereka mulai rusuh. Terutama di kelompok mading. Mereka begitu sibuk menyusun rubrik masing-masing yang di tempel dalam sebuah mading kecil-kecilan.

Akhirnya waktu habis. Kelompok buletin belum semuanya usai. Masih beberapa persen lagi. tim mading maju kedepan untuk memperlihatkan karyanya. Tepuk tangan begitu meriah dari semua yang hadir. Saya tersenyum bangga sekali. Kata kata terakhir, saya menugaskan para peserta untuk membuat buletin pribadi dan disetor hari rabu yang akan datang ke Suaka.

Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan. Saya bangga bisa berbagi ilmu dan pengalaman dengan teman-teman. Mudah-mudahan ilmu yang sekecil ini bisa bermanfaat bagi semuanya, khususnya mahasiswa UIN SGD Bandung. Semoga kalian menjadi orang yang kreatif. Terutama saya. Bisa menjadi penulis jujur dan banyak disegani orang. Amien.

Di rumah, ketika saya sedang asik mengobrol dengan keluarga juga tetangga. Dering handphone bunyi kembali. Saya masih curiga ini pasti dari Kokom.

“kak Miko lagi dimana”?

“di rumah”

“kesuaka lagi kapan. Boleh minta soft file outline yang tadi gak”?

“oh bisa. Paling sore saya ke Suaka.” Jawab saya sederhana.

Saya melanjutkan obrolan saya. Di rumah, Ibu-ibu tengah sibuk menyantap makan siang. Teman-teman Ibuku usai pengajian. Seperti biasa pengajian minggu pertama suka dibarengi dengan acara makan makan. Saya juga tak lupa mencoba makanan ala sunda itu. Sambal. Mentimun. Ikan asin. Krupuk dan sayur asem. Nikmat sekali. Lezat. Maknyus. Sekali lagi, benar benar hari yang menyenangkan.

Suaka 3 Mei 2009

Label:

Subang Yang Gerah

alarm di hape bunyi lagi
tepat jam lima pagi
aku harus bangun

dinginnya mengigit kulit
teman teman masih tidur
aku melangkah mengambil air
kubasuh seluruh badanku

sabtu yang melelahkan
mata terus melotot komputer

Label:

Diskusi Suaka News


suasana saat diskusi reguler yang diadakan di SUAKA NEWS ROOM.
kami sangat senang dengan keadaan seperti ini.
karena mahasiswa harus cenderung seperti ini.
semuanya seperti ini.
tidak di rekayasa.
setiap hari tetapi tidak seperti ini.

kapan seperti ini kembali terulang?

Label:

Preman Urban


apa pendapat anda jika saya seperti ini?

hari ini kacau.
aku capek sekali.
gak ada yang menemani.
dia menyebalkan.

Label:

SMS Dari Ndut

Komputer masih menyala dari pagi. Walaupun gak ada sound-nya. Bete. Kayak di kuburan aja. Emang sih susah banget kalo ngurusin komputer jadul kaya gini. Udah bentuknya kaya tahu Sumedang. Kotak. Terus juga kadang-kadang mati sendiri. Ditambah monitornya yang kurang bersahabat. Suka ganti warna sendiri. Dasar. kaya bunglon aja.

Tapi emang ngaruh banget nih komputer. Dibanding ama mesin tik yang bikin jari bonyok, ini lebih mendingan. Kalo punya temen-temen sih kebanyakan dual core, core two duo, core two gapleh dan semacamnya lah. Tapi si aku tetep pede pake robot ini. Walau jelek tapi ini komputer tempat menampung segala unek-unek di kepala. Semuanya bisa tercurah di komputer tahu Sumedang ini.

Tetep. Lima menit berselang pikiran udah mentok. Mau nulis apa. Masih bingung. Hari ini emang banyak kejadian yang harus dicatet. Tapi apa. Otak masih belum jalan juga. Oke. Aku mulai dari tadi siang. Tepatnya sekitar jam sepuluhan. Tanggal sebelas Mei dua ribu sembilan.

Treeet. Triiit. Hape butut nyala lagi. Setelah semalem abis-abisan di cas. Pesan singkat dateng. Yapz, ini sms pertama hari ini. Untung, hape gak mati. Biasanya kalo ada sms dateng, layar langsung gelap. Mampus. Apalagi kalo ada yang nelpon, udah deh bikin orang suudzon aja. Sangkanya aku gak mau ngangkat tu telpon, padahal emang dari embahnya batere always low bet every time and every where.

Sampe-sampe aku selalu bawa tiga batere dikantong celana. Buat persiapan. Wow. jasfaking my phone. But, it’s really my friend forever. Damn. I love my telefon genggam. Huhu. Mix switching dikit.

“Tw lgu Shania Twain yg from this moment on gak? Sms-in lagh”

Busyet. Ini sms dari si Ndut. Kemana aja tu anak. Baru nongol. Baru ngesemes. Gak sopan banget. Ojol-ojol nge sms kaya gitu. Nanyain kabar kek. Lagi apa kek. Kemana aja kek. Ini mah maen nyuruh aja. Dasar Ndut. Kutil. Bikin kesel aja. Kemana aja sih di sms gak pernah bales mentang-mentang udah jadi artis papan bawah. Sombong lho. Kutil.

“tgu, d cari dlu” jawab ku singkat. Sms di kirim.

Gak lama aku bales tu sms. Aku nyari di komputer. Ngobrak-ngabrik lirik lagu. Shiiiiit. Aku lupa. komputer emang udah di install ulang ama si Ijong. Wadafak. Semua data raib abis. Termasuk puisi-puisi aku. Semuanya is dead. Sial aku gak punya kopiannya lagi. Di blog udah di apus. Damn. Damn. Damn. Sajak Sajak Tengil kayaknya di undur buat di cetak. Hmm… sabar-sabar.
Tanpa pikir panjang aku langsung lari ke kopma. Nyari warnet. Bukan warteg. Tapi warrrrrrneeeeet. Tuuuut. Aku berhenti sejenak. Orang-orang kayak semut semuanya. Sibuk. Recok. Ada yang makan. Ada yang minum. Ada yang ngobrol.

Tapi di meja kopma sebelah kiri pintu warnet, ada yang aku kenal deh. Huh. Tapi siapa ya. Langkah kaki ku percepat. Wiiiissss. Ternyata si Ajeng. Temen KKN-ku ama suaminya yang lagi makan. Yeah. Seperti biasa, sedikit senyuman aku kasih. Rencananya kita mu pada ketemuan gitu sesama kelompok KKN. Kita mu ke garut. Bertamasya ke kota kambing. Daerah kebangsaan dan tanah air si Ajeng. Prêt.

“tunggu bentar ya aku ke warnet dulu.” Kataku
“oke. Jangan lama bang.” Jawab Ajeng
“sip. Sepuluh menit.” Tambahku

Di kopma, mahasiswa UIN lagi pada sibuk ngenet. Kayaknya lagi nyari tugas. Tapi sepertinya lagi ngecek Facebook. Atau jangan-jangan lagi nyari situs yang 17+. Oh. No. jangan berburuk sangka gitu deh. Itu namanya gak baek. Mungkin mereka lagi bete, trus dateng ke warnet buat ngilangin keselnya mungkin. Biarin terserah mereka.

Pintu masuk warnet kopma Heurin banget. Alias pinuuuuuuh pisan. Gak peduli. aku sorobot saja itu pintu. Duh kayaknya gak ada yang kosong deh. “di ujung.” Kata Tuti, pegawai warnet. “sip.” Jawabku.

Aku langsung buka google.com. ketik kata kunci ‘lyrics’. Yes. Udah dapet. Lyrics.com. terus nyari judul yang tadi di pinta si Ndut. Dengan loding agak lambat, itu lirik akhirnya keluar juga.

Triiittt. Truuuut. Sms dateng lagi.

“cpt dwonx.”

Ya, si Ndut sms lagi. Aku suruh buru-buru. Kayak dikejar srigala. Sabar dikit napa sih. Sebenarnya males juga sih, tapi ya, aku gak enak ama si Ndut. Kasian dia. Katanya sih lagi praktek listening gitu di sekolahnya. Emang si aku ini suka di jadiin dukun sama si Ndut. Si Ndut suka minta jimat-jimat kalo ada tugas dari sekolahnya. Terutama bahasa Inggris. Gak gak gak. Menurutnya bahasa Inggris ku keren. Yow yow yow. Padahal nilaiku paling ambruk dikelas. Yeah. Kapan aku selesai kuliah. Wew.

Kata si Ndut, gurunya suruh nulis lirik apa yang dinyanyikan ama tu penyanyi. Tapi kenapa mesti Shania Twain sih. Kenapa gak Nirvana atau Silverchair aja gitu. Gak gaul banget tu guru. Ya minimal the cranberries lah. Atau gak celebrity skin-nya Hole gitu. Ih. Mentang-mentang sekolahan di gunung. Taunya Cuma britni spir aja. Payah.

Tak tik tuk tak tik tuk. Aku tulis lirik di hape buat di sms-in. Hah. Kirain ini lirik pendek. Gak taunya panjang kaya tiang listrik. Huh. Bisa nyampe sepuluh halaman nih kalo nulis di hape mah. Lagian kalo sms bahasa inggris pake singkat-singkat gitu, kayaknya si Ndut gak bakal ngerti dweh. Wrrrrrrr. Sabar. Rela. Ikhlas. Aku ketik itu lirik tanpa disingkat. Tat tit tut tat tit tut. Sending message…pulsa jebol. SIMpati gitu. Mahaaaaaaal.

Ndut…Ndut…Ndut… cewek ngegemesin yang bikin tulang rusuk suka mengkerut. Dulu rambutnya suka gonta-ganti. Sebentar-sebentar salon. Sebentar sebentar salon. Salon kok Cuma sebentar. Tapi gak tau sekarang rambutnya suka disambung apa enggak pake rambut palsu. Rambutnya poni apa enggak. Jerawat di pipi kananya udah meletus apa enggak. Masih suka kebut-kebutan apa enggak.

Yang jelas aku udah puas nyubit tangannya yang gempal. Pipinya yang kaya roti berisi kelapa nang marud. Hehehehe… kapan kita ngejam lagi. bawain lagu astrid lagi. Nyanyiin lgu T2 lagi. Gimana kabar Kapas Band. Kapan mu rekaman tweh Ndut. Kukukukukkkk. Kayaknya kamu sibuk ya. Mau Ujian ya. Mau di terusin kemana nih?. Dusssssssshhhhsssh.

Preet. Gak terasa, di warnet udah mau satu jam. Aku liat dulu blog bentar. Aku ketik mikoalonso.wordpress.com. yes. Agak mendingan sekarang. Penampilannya rada serem. Soalnya kemarin malem, aku udah ganti latar. Sekarang jadi item semua. Ada foto si sayah yang lagi narsis. Idih. Liat pengunjung Cuma segitu aja. Cuma nambah lima orang yang suka liat blogku. Hmmm… tarik nafas bentar. Aku keluarin semua windows. Klik stop. Mahasiswa masih terlihat sibuk browsing. Gudbay dunia.

“dua ribu lima ratus.” Kata Tuti. Aku langsung merogoh saku. Semuanya receh. “thank you.” Kataku sambil bayar trus melangkah keluar. “ yo, sama sama.” Katanya.

Di luar, mahasiswa berbagai merek. Suku. Ras. Warna kulit. Masih pada recok. Gak tau mereka ngomongin apa. Yang pasti si Ajeng udah gak ada di tempat. Waduh kemana tu anak. Katanya mu janjian ketemuan. Ya udah. Aku lanjutin langkah kakiku menuju kantor. Mungkin si Ajeng udah nunggu disana.

Gak lama kemudian suara sms bunyi lagi. Aku bertanya Tanya. Ini dari siapa lagi. Mau ngapain. Ada apa. Kayaknya Ajeng nge-sms. Aku rogoh saku celana. Ngambil hape butut. Baca sms. Tapi bukan dari Ajeng. Ini sms Ndut lagi. Duh. aDa apa Kutil.?

“masih pnjang tw…”

Pasti. Si Ndut bakal sms lagi. Soalnya aku gak sempet kirimin itu lirik ampe tamat. Pasti dia uring-uringan nyari sisa liriknya. Soalnya lagi itu lirik panjang banget. Jadi gak mungkin aku sms-in semua itu lirik. Sori ya Ndut. Kutil. Pulsanya abis. Gak cukup. Ntar aja deh aku kirim lirik lirik yang lho mau. Hehehe. Peace.

Label:

Hampir Mampus

tadi aku kaget banget. gilang datang ke Suaka. dia bawa modem M2 buat internetan.
katanya mu dijual satu juta setengah. terus aku ngobrol bentar ama dia di depan Kopma.
kita ngobrolin festival yang di gelar Paduan Suara Mahasiswa UIN SGD BDG.
terus kita rencana mu latian sore di cipacing.

sambil liat-liat modem, Gilang langsung ngajak cabut. aku lupa. modem di taroh di kursi.
aku dan gilang naik motor. pergi ke Cipacing. modem di simpen di kursi.

udah nyampe Cipacing gilang baru inget kalo modem ketinggalan di kampus.
padahal jarak anatara Cipacing ama kampus cukup jauh.

“mik modem mana.”
“gak tau di tas kali.”
“gak ada.”
“ketinggalan di kursi kampus kali.”
“astagfiruloh. ayu kita cari kesana.”

tanpa pikir panjang, aku dan gilang langsung ngebut balik lagi kekampus.
bener-bener konyol. dia lari sekencang mungkin. gilang sempet membentak cewe yang lagi naek motor. cewek itu menghalangi laju kami.
dia shock. kalo saja modemnya hilang di curi orang, entah apa jadinya. untungnya pas udah nyampe kampus,
modem masih utuh kayak semula. gak ada yang ilang. aku dan gilang cuma bersykur sambil ketawa-ketawa.

“anjrit aku kaget.”
“sarua Mik.”

gilang langsung cabut jemput ceweknya. soalnya desi, ceweknya, udah telpon berkali-kali minta dijemput.

“oke lang hati hati.” kataku.

gilang pergi. sekarang motornya ganti jadi kawasaki. motor baru. warna ijo.

Label:

Belajar Percakapan

Seharian ini aku full stand by di Suaka. pagi banget udah berangkat, dari rumah sekitar jam setengah delapan. Jam segitu udah sangat early buatku. Aku harus ngejar kuliah sosiologi sastra. Untung dosennya baik banget. Gak rewel. Tadinya aku mau mampir dulu ke kantor, soalnya peralatan menulis ku di simpen di sana, tapi tanggung, aku langsung masuk kelas. Mendengar ceramah dosen dengan seksama.

Kuliah udah usai. Aku nangkring dulu bentar. Sial, hari ini gak ada satupun temen-temen seangkatan. bete. Emang kerasa kalo didunia ini gak ada yang kenal. Rasanya kaya orang asing. Di kampus, dilantai dua, aku Cuma sendiri. Anak-anak semester bawah pada ngeliatin aku. Kaya liatin artis aja. Ada yang tersenyum. Ada yang nyapa. Ada juga yang cuek aja. Dari pada keliatan kaya buaya bunting, aku mengakrabkan diri. Tapi tidak mendirikan akrab.

“eh… Filsafat Bahasa masuk jam sekarang ya.” Tanyaku pada segerombolan mahasiswa semester empat. semua mahasiswi pake kerudung. Ya iyalah masa pake helm.

“iya A bentar lagi.” Jawab salah seorang cewek.

Serius, itu Cuma basa basi. Padahal mata kuliah Filsafat Bahasa, aku kebagian hari Jum’at. Itu kan sekedar acting buat ngelatih percakapan dengan orang asing. Hehehe… tapi jangan ampe keseringan. Entar aku di cap sebagai cowok sok akrab. Najis. Gak ada kamusnya kalo aku di panggil kaya gitu. Mending di cap sebagai cowok sok pinter aja sekalian. Kan lebih enak, tinggal ngebuang kata ‘sok’ nya aja. Jadi deh cowok pinter. Preeet.

Lumayan. Minimal orang-orang gak nganggep aku mahasiswa degradasi. Tapi emang sih kalo mau pede-pedean wajah ku gak tua tua amat untuk kategori mahasiswa kelas karyawan. Maklumlah ini kan hari Rabu. Anak anak seangkatanku pada gak punya jadwal. Tapi lihatlah dengan teliti kalo hari Kamis, wuidih… temen-temen seangkatan pasti menuhin semua isi kelas. Nah lho. Ternyata aku gak sendiri kan terdampar di kelas.

Gak lama, aku langsung cabut dari kelas. Berjalan perlahan. Tangga demi tangga aku jilati segemulai mungkin. Suara sepatu Bot terdengar mirip koboi-koboi di iklan Marlboro. Terus rada mampir dulu ke jurusan buat nengok nilai. Barangkali nilai KKN udah keluar. Tapi di jurusan sepi amat. Aku sedikit ubrak abrik draft nilai angkatanku. Sial. Gak ada satupun nilai KKN yang aku lihat.

Ya udah. Dari pada ketemu ama Kajur, trus di Tanya ini Tanya itu kaya di kuis-kuis, mending aku angkat kakiku menuju kantor. Yeah… ini kaya yang udah udah. Setiap hari aku lewati jalan menuju Suaka. Dari mulai melewati Perpus, mesjid ampe Kopma, tetep aja kaya gitu gak ada yang beda.

Di teras mesjid misalnya, tetep banyak orang yang nongkrong. Trus di kopma masih banyak yang numpang duduk di meja, gak tau mereka Cuma numpang baca Koran gratis atau sekedar ngegosip ria. Entahlah.

Label:

Kopi Gratis

Aku udah di Suaka. Tapi gak ada siapa-siapa. Gak lama kemudian, iQmah datang ama Ipeng. Mereka mau pinjem helm tutup. Kayanya mau pada pergi. Emang ada sih helm tapi gak tau punya siapa. Tapi aku yakin itu helm yang di meja Suaka milik iyan.

“ada tuh di meja.” Kataku sambil bawain itu helm.

Ipeng coba liat-liat helm, kaya pilih-plih barang dagangan. Untung gak di tawar. Kalo sampe di tawar, udah deh aku jual itu helm. Haha. Boong. Katanya itu helm gak bisa di tutup. ipeng gak jadi pinjem helm. iQmah akhirnya pinjem punya Indra.

Di luar. Di kursi. Fikri lagi asik-asiknya baca Koran. Aku langsung serobot pinjem korannya. Hari ini, tema yang menarik, tentang para pelacur yang bertobat. Gila. Keren. Rupanya Pikiran Rakyat mantap juga liputannya. Kok aku gak kepikiran. Padahal udah lama banget aku pengen ngangkat tentang kehidupan para pelacur.

Ipeng. Indra. iQmah. Gak lama mereka di Suaka. Mereka langsung cabut. Hilang di telan Bumi. Sekarang aku sendiri lagi. Berteman suara nasyid yang dilantunkan anak UPTQ. Mereka lagi gelar lomba busana muslim antar sekolah yang ada di Bandung. Para pesertanya pada lucu-lucu. Ngegemesin banget. Apalagi orang tuanya. Wuihhhh… kalo gak punya suami, pasti aku culik itu ibu-ibu. Mereka lebih ngegemesin. Terutama buat di cubit-cubit sekeraskerasnya. Duh.

Gak!

Gak mungkin aku sekejam dan sejahat itu. Aku masih punya harga diri. Dari pada rebut istri orang, mending maen rebutan aja sekalian. Lumayan banyak hadiah kalo rebutan di acara panjat pinang. Aslina gariiiiiing.

Gak lama kemudian, munculah dua buah mahluk berseragam salesman. Pakean hitam putih. Femi dan Lumban. Lumban!. Kamana aja lho.

Ya mereka berdua datang tiba-tiba. Femi terlihat cemberut. Sedangkan Lumban ketawa ketiwi. Ada apa ini. Kok kaya ada masalah gitu. Aku gak mau tau. Tapi kenapa mesti pake baju hitam putih segala. Mau ngelamar kerja nih?

Lumban memegang secangkir kopi. Ow ow ow… hatiku mulai deg degan kalo melihat dan menghirup aroma kopi. Rasa resah dan gelisah mulai berkecamuk dalam diri. Lidah sudah menjolor menunggu tawaran dari Lumban. Untung dia berargumen duluan.

“kopi gratis A.” lumban menawarkan.

Kontan saja seluruh urat syaraf yang menempel dalam tubuhku langsung terangsang. Bisikan setan mulai merasuk. “ayo ambil kopi gratis sana.” Begitulah suara samara-samar membisikan pada kedua ekor telingaku.

Gak pikir panjang. Apa lagi sampe 200 meter. Gak. Gak sama sekali. Aku langsung banting badan. Meluncur dengan tanpa menggunakan pesawat.

“mbak, kopi gratis ya.” Kataku pelan tapi pasti.

“ iya sok ambil aja mas.” Jawab si teteh dengan sedikit bibir melebar.

Aku memegang satu cangkir. Tapi dalam hati, bisikan setan itu menghampiri lagi. “ambil dua aja.” Bener juga, aku harus ambil dua cangkir. Dan tangan kiriku memegang satu cangkir lagi. Sekarang ada dua genggaman tangan berisi kopi gratis. Dan langkah mulai rada kaku.

Untuk mengurangi rasa malu, aku rada berbincang bincang ama si teteh. Sambil rada kenalan gitu.

“mbak kalo kopiko tu kantornya dimana ya.” Tanyaku dengan ngeluarin jurus basa basiku.

“di jalan pelajar pejuang mas.” Selorohnya.

“oh…hmm… lain kali kalo aku ada acara, kita boleh kerja sama kan mbak.” Lanjutku.

“bisa mas, tinggal datang aja kekantor.” Timpalnya.

Yes. Sekarang udah cukup waktunya untuk beranjak. Di kiri kananku orang-orang seperti ngeliatin aku. Mungkin mereka menyangka aku orang rakus. Si tukang peminta kopi dua cangkir. Atau mahasiswa si pemburu kopi gratisan. Tapi biarin aku gak peduli.

“oh… ya udah mbak, lain kali aku kesana kalo aku ngadain acara. Makasih ya mbak.” Aku langsung beranjak.

“oh iya sama-sama.” Jawabnya.

Tuh kan, dengan cara basa basi, rasa malu udah bisa dihilangin kan. Hihi. Aku kembali ke Suaka. Tangan masih memegang dua cangkir kopi gratis. Yang satu buat aku sendiri. Yang satunya lagi aku kasih buat Hayati Nufus. Sengaja aku kasih dia. Soalnya, Yati udah menuliskan aku soal tugas sosiologi sastra. Preeet.

Label:

Celana Dalam

Entah dimulai dari mana, aku masih bingung, yang jelas, sekarang aku bangun jam tiga pagi. Mataku yang kanan susah untuk dibuka. Rasa sakit padahal udah hampir usai, tapi segerembolan belek masih menempel. Tapi aku yakin hari ini adalah hari terahirku menyandang predikat cowok bintitan.

Aku masih mikir. Sebelah mana aku harus mulai. Aku bakar dulu racun kecilku. The Jarum Cokelat. Dari dulu sampai sekarang ini racun tetep memakai logo Jarum. Karena kalau pake cap Linggis pasti namanya bukan The Jarum Cokelat, tapi The Linggis Cokelat. Dan mungkin juga di iklannya bukan Nidji, Padi, Gigi dan Nugi yang jadi artis. Kalo enggak grup band The Panas Dalam pasti Budi Anduk. Entahlah. Yang jelas sampai sekarang gak ada rokok yang namanya D’ Linggis Cokelat.

Di computer udah nunjukin jam tiga lebih empat puluh tiga menit. aku berniat menunda tulisanku sampai besok. Karena aku harus nerusin dulu sisa tidurku yang tadi udah kepotong oleh sesuatu.

Ya, ada sesuatu yang telah menyita tidurku malam ini. Sesuatu yang menyenangkan yang membuat celana dalam basah sampai tembus ke celana luar. Tapi sebenarnya sesuatu ini bukan hal yang harus dikonsumsi public. Tapi gak apa-apa, demi membuat tulisan ini lebih delicious, aku akan bagi-bagi sedikit tentang sesuatu itu.

Sesuatu itu adalah hal yang pasti dialami oleh kaum Adam kalo udah menginjak masa kedewasaannya. Sesuatu yang bisa membuat senyum-senyum sendiri kalo udah ngerasainnya. Sesuatu yang bisa dikatakan lucu, karena di dalam sesuatu itu para actor dan artisnya melakukan adegan-adegan yang mirip seperti di VCD terlarang atau file yang di hidden kan seseorang di komputernya.

Sesuatu itu adalah sebuah mimpi. Mimpi yang terjadi pada seorang cowok, yang setiap bulannya bisa sampai tiga kali pertemuan. Terkadang lebih. Mimpi itu tak kenal waktu. Bisa siang bisa juga malam.

Ada yang unik dalam mimpiku tadi. Aku mimpi dengan seseorang wanita. Yang aku kenal pula. Di mimpi itu, pemeran wanita yang aku kenal tadi melakukan pemaksaan. Kekerasan terhadap cowok. Si pemeran wanita tersebut, dalam mimpiku berani membuatku sampai terdiam dan tak berdaya. Preeeet.

Di mimpi itu tak berlangsung lama. Sekitar tujuh menitan. Abis itu aku langsung terbangun. Benar-benar terbangun. Terbangun dalam berbagai konteks.

Computer masih brang bring brong dengan lagu gak karuan. Kayaknya ini lagu hasil pilihan Godi. Aku mengangkat badan dan keluar dari kasur butut itu. Kasur yang sekaligus di jadikan kampas untuk melukis pulau oleh penghuni Suaka. Sekarang udah ada ribuan pulau di kasur itu. Kasur warisan Wicaksono. Dia orang jawa yang mulai betah berkecimpung di Sunda. Entah bener-bener betah atau paksaan kuliah. Yang jelas dia udah mulai menempuh semeseter degradasi.

Di kursi luar, ada sesosok mahluk yang di bungkus dengan sebuah sleeping bag. Awalnya aku nyangka dia Mahluk yang langka, gak taunya, di kursi itu, Godi lagi Molor alias bobo. Tidurnya pulas, kaya bangkai. Dasar bangke. Kayaknya kalo UIN ada yang ngebom juga pasti Godi gak bakal terbangun dari tidurnya. Caduuuuuuk.

Celana dalam masih basah dan lengket. Aku langsung buka dan menggantinya dengan celana pendek. Kebetulan aku bawa celana serep. Sekarang, dengan tanpa celana dalam, aku duduk di depan computer. Masih memikirkan dari mana aku harus mulai menulis. Padahal dari tadi siang banyak hal yang bisa ditulis. Tapi kayaknya sampai satu jam di computer, aku gak menemukannya juga.

Dari pada pusing, mending aku kembali lagi tidur. Lagian besok pagi aku harus latian band. Aku harus ke Cipacing, bertemu teman-teman. Mudah-mudahan Desi jemput aku ke Suaka. Hmmmm…. Ngantuk euy. Aku tidur lagi ah. Pasti besok pagi celana dalamku udah kering.

Label: